Cara Beragama dan Berpolitik dengan Santai di Era Kampret-Cebong

Cara Beragama dan Berpolitik dengan Santai di Era Kampret-Cebong

Wujud agama di era Kampret-Cebong bersatu memang memang menyusahkan

Cara Beragama dan Berpolitik dengan Santai di Era Kampret-Cebong

Katakanlah Anda yakin bahwasannya Anda cantik atau ganteng. Suatu hari ketika melihat cermin, wajah yang terpantul di sana ternyata tidak cantik atau ganteng. Dalam ilmu psikologi, apa yang Anda rasakan dan alami saat menatap cermin itu adalah contoh disonansi kognitif. Cognitive dissonance adalah perasaan tak nyaman yg dirasakan ketika seseorang dihadapkan pada data atau fakta baru yang bertentangan dengan keyakinan atau nilai-nilai awal.

Kita bisa merespons disonansi itu dengan beragama cara. Misalnya mengubah keyakinan: ternyata kita tidak cantik atau ganteng. Atau mengubah definisi cantik atau ganteng sehingga bisa mengakomodasi kualitas wajah yang terlihat di cermin. Atau buru-buru booking tempat di dokter kulit atau bahkan dokter bedah plastik.

Anda bisa juga memecahkan cermin. Pilihan respons yang diambil akan sangat dipengaruhi oleh seberapa besar disonansi kognitif yang dialami. Kalau sejak awal Anda tidak sangat meyakini kecantikan atau kegantengan Anda. Atau sejak awal bagi Anda menjadi cantik atau ganteng itu tidak terlalu penting, Anda mungkin tidak keberatan mengubah keyakinan awal.

Salah satu kasus cognitive dissonance awal yang direkam Leon Festinger, pakar psikologi sosial, adalah mengenai sebuah sekte yang meyakini ramalan bahwa akan ada alien yang datang menyelamatkan manusia dari kehancuran bumi.

Ketika tanggal ramalan itu tiba dan para pengikut sekte telah menunggu di tempat yang ditentukan tetapi tak satu alien pun datang menjemput, mayoritas pengikut sekte tersebut tidak lantas kehilangan iman. Mereka sekadar menganggap bahwa para alien tidak jadi mendarat di bumi demi memberi manusia kesempatan kedua untuk menyelamatkan bumi. Dengan demikian, semangat keagamaan mereka bisa dialihkan menjadi gerakan menjaga lingkungan yang militan.

Mengapa ini terjadi? Mengapa tidak menerima saja bahwa keyakinan mereka salah?

Salah satu sebabnya adalah karena mereka telah berkorban terlalu banyak. Mereka sudah rela meninggalkan keluarga dan harta benda untuk pergi entah ke mana para alien membawa mereka. Pengorbanan yang demikian besar tidak selaras dengan ramalan fiktif atau keyakinan ngawur. Tidak mungkinlah segala pengorbanan macam itu dilakukan hanya untuk dongengan tidak realistis. Begitu nalar gampangnya. Tentu saja seringkali nalar macam ini kerap tidak disadari pelaku.Pokoknya semakin besar kesenjangan, semakin besar ketidaknyamanan yang dirasakan.

Semakin besar hambatan mental untuk mengakui bahwa barangkali keyakinan mereka sendirilah yang sejak awal keliru. Nalar pun berakrobat menciptakan berbagai alasan yang membuat pengorbanan sedemikian besar dapat dibenarkan.

Mudah melihat contoh-contoh disonansi kognitif dalam agama dan politik. Mereka yang sudah mempertaruhkan terlalu banyak hal pada sesuatu, akan menjadi para pendukung paling militan dan paling sulit diajak menerima fakta yang bertentangan dengan keyakinan awal.

Wajar saja misalnya bila para pemeluk baru suatu agama biasanya jauh lebih militan ketimbang mereka yang memeluk agama tersebut sejak lahir. Mereka ini biasanya sudah berkorban terlalu banyak: meninggalkan tradisi, meninggalkan keluarga, kehilangan teman-teman lama, demi memeluk agama baru mereka.

Ya masa sudah susah-susah nelangsa begitu kok ternyata cuma demi keyakinan yang tidak 100% selalu benar dan sempurna. Ya masa sudah capek-capek menyeberang, kok kondisinya sama saja dengan di tempat awal.

Tak jauh beda situasinya di ranah politik. Mereka yang sudah berinvestasi terlalu banyak juga punya risiko mengalami disonansi kognitif hebat. Tak heran banyak akrobat mental yang lucu-lucu bertebaran di lini masa sosial media dalam perdebatan politik.

Oleh karena itu, sangatlah penting beragama dan berpolitik dengan santai tanpa beban. Ikhlas mungkin istilah religius yang paling mendekati. Penting untuk selalu menyisakan ruang bagi keraguan, ironi, dan kontradiksi.

Guru saya dulu mengajarkan, orang yang melakukan ijtihad , upaya keras untuk memutuskan suatu perkara itu pasti mendapat pahala. Bila ijtihadnya benar, pahalanya dua. Bila salah, pahalanya satu. Intinya, salah pun ga dosa kok mas, mbak, bro, sis… yang penting usaha.
Ikut mengampanyekan salah satu paslon ya monggo. Begitu pula mendakwahkan keyakinan agama Anda. Tapi lakukan semua itu dengan santai. Tanpa beban. Tanpa pamrih. Jangan terlalu ngoyo. Nek salah yo wis. Nek kalah yo ben.

Tidak perlu panik kalau ada teman yang mendadak deklarasi golput atau mengaku agnostik. Ini lebih menyehatkan secara mental. Serius. Eh Santai.