Bencana = Auto-Azab? Maaf Sekadar Mengingatkan

Bencana = Auto-Azab? Maaf Sekadar Mengingatkan

Bagaimana bisa Bencana dibilang azab, tidak semudah itu, Ferguso

Bencana = Auto-Azab? Maaf Sekadar Mengingatkan

Sebuah Direct Message (DM) masuk ke akun Instagram saya. Isinya tentang sebuah empati atas Tsunami yang tengah melawat Lampung dan Banten belum lama ini. Sebetulnya pesan itu sederhana. Tapi bagi saya itu menjadi sangat berharga mengingat si pemberi pesan adalah seorang warga negara India beragama Katholik.

Saya mengenalnya saat Agustus 2017 lalu dia berkunjung ke Indonesia untuk kepentingan sebuah even, Asian Youth Day. Pertemuan singkat itu berlanjut di media sosial. Dan ketika dia mendengar Indonesia tengah dilanda bencana, rasa kemanusiaannya tersentil untuk, paling tidak memastikan kabar kawan-kawannya dalam keadaan baik-baik saja. Jujur, saya terharu.

Di titik kesadaran inilah saya merasa gagal paham dengan orang-orang yang ketika mendengar “kata bencana” imajinya langsung auto-azab. Ironisnya, mereka itu dengan sangat percaya diri mengutip ayat-ayat suci atau sabda Nabi yang ditafsir secara serampangan.

Biasanya, klaim atau tudingan tentang bencana sebagai azab Tuhan itu menjamur di sela-sela lini masa media sosial. Bentuknya bisa macam-macam. Ada yang berupa pesan siaran di grup-grup WA, video pendek seorang Ustaz berjenggot tebal yang lagi mendakwahi warganet agar meninggalkan kebathilan, sampai komentar-komentar setamsil “maaf sekadar mengingatkan…”, lalu pada saat yang sama justru bermaksud menghakimi tanpa ampun jutaan nyawa yang telah berpulang. Sama saja.

Memang, telepon pintar dengan segenap kecanggihan perangkatnya dibuat oleh orang pintar yang punya obsesi agar setiap manusia di planet ini berjejaring. Harapannya, kita bisa saling terhubung satu sama lain dengan cepat dan tanpa batas.

Masalahnya, setiap saat kemampuan telepon itu akan semakin pintar. Sedangkan kita? Berapa miliar dari pengguna telepon pintar itu justru semakin (di)bodoh(i).

Konon, seperti dikatakan Kang Hasanudin Abdurakhman (2018), masyarakat kita adalah masyarakat yang percaya, bukan masyarakat yang tahu. Hidup kita pun lebih dituntun oleh kepercayaan, bukan dengan pengetahuan.

Di satu sisi, itu baik untuk membentuk naratif yang, menurut Wilhelm Dilthey adalah pengorganisasian hidup. Lazimnya, manusia adalah makhluk yang suka bercerita dan membangun hidupnya berdasarkan cerita yang dipercayainya. Kita pun menerima dan menyampaikan cerita. Tanpa cerita hidup terasa hampa.

Sebaliknya, dengan cerita kita menyusun dan menghimpun pernak-pernik hidup kita yang berserakan. Kisah tentang kehidupan Nabi adalah salah satunya. Kita mendengar kisah-kisah Nabi dan menceritakannya kepada orang lain. Kita lalu berusaha menjalani kehidupan dan menemui kematian kelak berdasarkan padanya.

Begitu besarnya pengaruh naratif—lebih-lebih berkenaan dengan Nabi—pada pikiran, perasaan, dan perilaku, pada titik tertentu ia akan memberi efek samping: bahwa kita tidak akan segan untuk “berperang” melawan siapapun yang menyampaikan cerita yang tidak kita terima.

Akan tetapi pada titik tertentu, teknologi kepercayaan ini juga tidak baik untuk pesebaran arus informasi. Sebab, bagi orang yang tidak tahu, ia tidak punya kemampuan untuk mencerna informasi. Mereka tidak bisa memilah mana yang benar dan keliru. Mereka hanya memilah berdasar percaya atau tidak percaya. Bila percaya, maka dianut. Lalu informasi yang berdasar pada kepercayaan itu akan diteruskan kepada orang lain. Begitu kira-kira distribusi kabar bohong bekerja.

Maka, tak heran jika sebagian dari kita pun lebih memilih percaya kalau gempa di Lombok beberapa waktu lalu akibat Gubernurnya banting setir ke kubu Jokowi ketimbang menerima alasan adanya peregseran lempeng bumi. Atau, Tsunami yang menyapu Banten dan Lampung tempo hari itu dipercaya gara-gara konser musik daripada mencoba menerima kenyataan adanya fenomena erupsi Gunung Anak Krakatau.

Lalu, apakah ketika Bogor yang diam-diam merupakan basisnya laskar FPI tersapu angin ribut, kita lantas berhak mengatakan itu azab juga? Ah, tidak semudah itu ferguso.

Seyogyanya, media sosial mustinya difungsikan untuk berbagi informasi atau pengetahuan. Soal kepercayaan, biarlah itu menjadi urusan penerus para Nabi. Daripada kita berkutat pada perdebatan-perdebatan nirfaedah, mbok ya mending media sosial dipakai untuk saling tegur sapa, berbagi kabar, dan melempar kebahagiaan.