Ada sebagian kecil kelompok Muslim meyakini bahwa umat Muslim itu harus bersikap keras kepada orang kafir. Rupanya, mereka mendasarkan pemahamannya itu di antaranya berdasarkan surah al-Mumtahanah (60); 4. Allah berfirman:
قَدْ كَانَتْ لَكُمْ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ فِي إِبْرَاهِيمَ وَالَّذِينَ مَعَهُ إِذْ قَالُوا لِقَوْمِهِمْ إِنَّا بُرَآءُ مِنْكُمْ وَمِمَّا تَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ كَفَرْنَا بِكُمْ وَبَدَا بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةُ وَالْبَغْضَاءُ أَبَدًا حَتَّىٰ تُؤْمِنُوا بِاللَّهِ وَحْدَهُ إِلَّا قَوْلَ إِبْرَاهِيمَ لِأَبِيهِ لَأَسْتَغْفِرَنَّ لَكَ وَمَا أَمْلِكُ لَكَ مِنَ اللَّهِ مِنْ شَيْءٍ ۖ رَبَّنَا عَلَيْكَ تَوَكَّلْنَا وَإِلَيْكَ أَنَبْنَا وَإِلَيْكَ الْمَصِيرُ
“Kalian benar-benar telah mendapatkan teladan baik pada diri Ibrahim dan orang-orang yang beriman bersamanya, pada saat berkata kepada kaumnya, “Kami benar-benar putus hubungan dengan kalian dan tuhan-tuhan selain Allah yang kalian sembah. Kami ingkar kepada kalian. Antara kita telah terjadi saling bermusuhan dan saling benci, dan tidak akan hilang kecuali jika kalian beriman kepada Allah semata.” Tetapi perkataan Ibrahim kepada bapaknya, “Aku pasti akan memintakan ampunan untukmu walaupun tidak mempunyai kekuasaan apa-apa atas hal-hal yang akan Allah lakukan,” tidak termasuk dalam hal yang harus diteladani. Sebab, Ibrâhîm mengatakan itu sebelum tahu bahwa ayahnya tetap bersikeras memusuhi Allah. Setelah Ibrâhîm tahu hal itu, ia lepas tangan dari ayahnya. Katakan, wahai orang-orang Mukmin, “Ya Tuhan kami, hanya kepada-Mu kami bersandar, kembali, dan berpulang di akhirat kelak!”
Secara literal, ayat ini memang bermakna demikian, kita sebagai umat Islam diharuskan membenci dan memusuhi orang kafir. Namun demikian, kita perlu menggarisbawahi terkait pemahaman tersebut. Hal ini karena awal-awal surah al-Mumtahanah ini memiliki latar belakang historis, ada sebab mengapa ayat ini diturunkan. Menurut al-Thabari, awal surah al-Mumtahanah ini diturunkan berkaitan dengan salah satu sahabat Nabi yang bernama Hatib bin Abi Balta’ah.
Hatib bin Abi Balta’ah merupakan salah satu sahabat Nabi yang ikut berkontribusi dan menjadi bagian kemenangan perang Badar. Allah Swt. memberikan apresiasi kepada Nabi dan para sahabat yang ikut serta dalam perang tersebut dengan sebuah kemenangan sebagaimana disebutkan dalam surah Ali Imran (3); 123. Apresiasi tersebut diberikan di antaranya disebabkan oleh keadaan umat Muslim yang pasrah dan berserah diri kepada Allah Swt saat menghadapi musuh Islam.
Namun siapa yang dapat menyangka bahwa Hatib bin Abi Balta’ah ternyata membocorkan rahasia umat Islam yang ingin melakukan pembebasan Mekah dari kezaliman kaum kafir Quraisy. Hatib menitipkan sebuah surat untuk keluarganya di Mekah bahwa Nabi dan umat Muslim akan melakukan penaklukan kota Mekah. Ia titipkan surat tersebut kepada seorang wanita musyrik yang datang dari Mekah ke Madinah untuk meminta sumbangan. Namanya Sarah, budak milik Abu Amr bin Shaifi bin Hasyim bin Abdu Manaf. Ia meminta sumbangan tersebut karena semua keluarganya telah meninggal dikalahkan umat Islam pada saat perang Badar. Atas perintah Nabi, keluarga moyang Nabi Bani ‘Abdil Muthallib memberikan bantuan kepadanya.
Sebelum berangkat melakukan pembebasan Mekah, Nabi diberitahu oleh Jibril bahwa Hatib melakukan pengkhianatan. Tentu Nabi Saw. dan para sahabat lainnya geram. Namun Nabi Saw. bisa menahan emosinya dan mencoba klarifikasi terlebih dulu pada Hatib. Hal ini berbeda dengan Umar yang tidak sanggup menahan amarahnya, dan sudah siap mengangkat pedang untuk menebas kepala Hatib. Jiwa besar Nabi menenangkan Umar untuk tidak melakukan tindakan gegabah itu.
Akhirnya Hatib pun mengakui perbuatannya dan merasa menyesal telah melakukan hal itu. Namun ada alasan mendasar mengapa Hatib membocorkan berita penting itu kepada musuh. Saat itu, Hatib diancam kafir Quraisy yang akan menyakiti para keluarganya yang masih tinggal di Mekah, tidak melakukan hijrah ke Madinah. Diancam demikian, Hatib pun merasa takut akan keselamatan keluarganya, dan terpaksa melakukan pengkhianatan. Hebatnya, Nabi Saw. langsung memaafkan begitu saja perbuatan Hatib setelah mendengar permohonan maaf dan klarifikasi yang dilakukan Hatib. Toh akhirnya pembebasan Mekah berakhir manis dan umat Islam mengalahkan kezaliman yang dilakukan kafir Quraisy.
Nah, konteks ayat di atas hingga ayat-ayat berikutnya berkaitan dengan larangan menjadikan orang-orang kafir Quraisy Mekah sebagai orang yang patut dipercayai. Hal ini karena kafir Quraisy sudah terlalu benci kepada Nabi dan para sahabatnya sehingga mereka terusir dari negerinya sendiri dan terpaksa hijrah ke Madinah. Artinya, perintah membenci orang kafir Quraisy itu terpaksa dilakukan karena memang mereka menindas umat Muslim untuk menjalankan ibadahnya.
Seperti tercantum dalam surah al-Mumtahanah; 4, Nabi Ibrahim pun diperintahkan oleh Allah Swt. untuk memusuhi orang kafir pada masanya yang menghalang-halangi Nabi Ibrahim As. Karena mereka memusuhi dan mencegah-cegah, tentu Allah mengizinkannya untuk berekasi.
Atas dasar itu semua, ayat-ayat seperti ini yang berkaitan dengan jihad, memusuhi orang kafir, dan lain sebagainya itu tidak bisa dilakukan seenaknya saja. Biasanya ayat seperti itu tidak bisa diamalkan secara tekstual di Indonesia. Hal ini karena umat Islam itu bebas melakukan ibadahnya. Apalagi, dari presiden dan kebanyakan menterinya itu Muslim. Selain itu, Nabi juga mengecam pelaku yang menyakiti Non-Muslim yang memang tidak menyakiti umat Islam. Nabi bersabda:
“Siapa yang membunuh kafir mu’ahad, maka dia tidak akan mencium bau surga” (HR Bukhari).
al-Jaziri dalam Nihayah fi Gharib Hadis mengatakan yang dimaksud dengan mu’ahad di sini adalah orang yang memiliki perjanjian dengan orang Islam untuk berhenti berperang selama masa yang ditentukan dan termasuk juga di dalam kategori mu’ahid kafir zimi.