Benarkah Ulama Wajib Jadi Oposisi? Sebuah Jawaban untuk Haikal Hassan

Benarkah Ulama Wajib Jadi Oposisi? Sebuah Jawaban untuk Haikal Hassan

Benarkah Ulama Wajib Jadi Oposisi? Sebuah Jawaban untuk Haikal Hassan

“Ulama itu pasti oposisi, ketika dia tidak oposisi, berarti dia tidak ulama.”

Begitulah potongan ungkapan Haikal Hassan saat berada di ILC (Indonesian Lawyers Club) tanggal 30 Juli 2019 kemarin. Ungkapan itu ia ucapkan dengan meledak-ledak dan meyakinkan disertai beberapa dalil sejarahnya. Lalu benarkah ulama wajib jadi oposisi dan ulama yang bukan oposisi tidak ulama?

Ulama dan umara merupakan pasangan pemuka masyarakat yang utama, di mana eksistensinya sangat mendominasi. Ulama merupakan kosa kata bahasa Arab, bentuk jamak dari kata ‘alim yang artinya adalah orang yang berpengetahuan, orang yang pandai. Sedangkan dalam bahasa Indonesia, kata ulama menjadi bentuk tunggal yang artinya orang yang ahli ilmu dalam agama Islam.

Umara, merupakan bentuk jamak dari amir yang mempunyai arti pemimpin atau penguasa. Dalam Alquran sering disebut dengan ulul amri yang artinya orang yang mempunyai pengaruh atau orang yang memangku urusan rakyat.

Filsuf muslim mengatakan bahwa salah satu faktor pendukung tercapainya negara yang baldatun thayyibatun wa rabbun ghafuradalah apabila ada kerjasama yang baik antara ulama dan umara. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Abu Nu’aim al- Ashbihany (w. 430 H) dalam kitab Hilyah al-Awliya juga dikatakan:

اثنان من الناس إذا صلحا صلح الناس، وإذا فسدا فسد الناس: العلماء، والأمراء

“Dua golongan manusia jika keduanya baik maka akan baiklah manusia, dan manakala keduanya rusak maka niscaya rusaklah manusia; yaitu ulama dan umara”.

Akan tetapi ada banyak periwayatan hadis yang berisikan seruan kepada ulama dan umat agar membatasi diri dalam berhubungan dengan penguasa (ulul amri) di antaranya:

إن في جهنم واد تستعيذ منه جهنم كل يوم سبعين مرة أعدها الله للقراء المرائين بأعمالهم وإن أبغض الخلق الى الله عز و جل عالم يزور السلطان أو العمال

“Sesungguhnya di neraka Jahannam ada sebuah lembah yang setiap harinya lembah tersebut meminta perlindungan tujuh puluh kali. Allah mempersiapkan lembah tersebut untuk para qurra’ yang memamerkan amalnya. Dan sesungguhnya makhluk Allah yang paling dibenci-Nya adalah ulama yang mendatangi sultan”.

Setelah melakukan takhrij terhadap hadis tersebut, penulis menemukan bahwa hadis tentang ikhtilath antara ulama dan umara tersebar di enam kitab hadis (al mashadir al ashliyyah). Dengan rincian, satu periwayatan ada di Sunan Ibn Majah karya Ibn Majah, tiga periwayatan ada di kitab al-Kamil fi Dhu’afa al-Rijal karya Ibn ‘Adiy al-Jurjani,  periwayatan ada pada kitab Mu’jam al-Awsath karya Imam Thabrani, dua periwayatan ada di ad-Du’a karya Imam Thabrani, satu periwayatan ada di al-Fawaid karya Tamam bin Muhammad ar-Razy, dan satu periwayatan ada di kitab Adh-Dhu’afakarya al-‘Uqayli.

Pada tahapan selanjutnya, penulis meneliti setiap rawi yang ada pada jalur periwayatan, kajian ini mencakup biografi singkat perawi, otentisitas perawi, dan ketersambungan antar perawi.Kesimpulan dari penelitian ini yaitu bahwa semua periwayatan berstatus lemah dan tidak bisa mengangkat status hadis menjadi hasan lighoirihi. Bahkan jika dilihat dari sebab kelemahannya, dengan adanya perawi yang dicap sebagai pemalsu hadis, menjadikan status hadis ini matruk (semi palsu) bahkan maudhu’ (palsu) dan tidak bisa dijadikan hujjah.

Kendati hadis ini dhaif, namun dari sisi matannya bisa dikaji lebih dalam lagi, bahkan patut dipertimbangkan. Saat ini, banyak sekali ulama yang menjadi politisi dan berbaur dengan umara. Hal ini berbanding lurus dengan meningkatnya korupsi baik yang dilakukan oleh ulama sendiri atau bukan.

Fenomena ikhtilath ulama dengan umara tidak bisa digeneralisir sesuai dengan teks hadis di atas bahwa ulama yang mendatangi umara adalah makhluk yang paling dibenci Allah, karena setelah menilik syarh hadis tersebut dijelaskan, bahwa yang dimaksud ulama yang dibenci Allah adalah ketika mendatangi ulama dengan tujuan mendapatkan kedudukan, mencari ketenaran dan mencari penghasilan hidup.

Oleh karena itu, ketika ada ulama yang mendatangi umara dengan keikhlasan hatinya, dengan tujuan mengabdi pada negara, berbakti pada umat maka ulama tersebut tidak termasuk golongan ulama yang dikatakan dalam hadis di atas.

Wallahu a’lam bishowab.

 

Tulisan ini ditulis oleh Afaf Nazrotul Uyun yang sebelumnya dimuat di majalahnabawi.com dengan melalaui beberapa tambahan dan editing dari redaksi.