Ada yang bilang people power berlangsung dan terjadi kericuhan semalam. Beberapa waktu sebelumnya, ada pihak yang merasa ‘kedaulatan rakyat’ terancam. Sebaliknya ada pula yang bilang, “Keadaan baik-baik saja kok. Ngapain people power?”
Rakyat pun bimbang, mana yang mesti dipegang. Dalam situasi keruh kayak gini, baiknya kita tinjau people power itu dengan kepala dingin alias akal sehat. Apa yang disebut people power dalam sejarah Indonesia adalah gerakan rakyat sekitar tahun 1998 untuk menjatuhkan pemerintahan Orde Baru yang otoriter.
Di belahan dunia yang lain, people power juga diarahkan untuk melawan rezim. Sebut saja people power di Filipina (1986) atau Mesir (2011) , semua bertujuan mengganti pemerintah diktator yang sedang berkuasa.
Nah, kalo gerakan yang sama diserukan di Indonesia sekarang ini, artinya ada keinginan menurunkan pemerintah diktator. Tapi, emangnya benar saat ini negara Indonesia diperintah secara otoriter?
Untuk mengecek apakah Indonesia sekarang ini ada dalam rezim diktator, cara paling gampang adalah membandingkannya dengan ciri-ciri demokrasi. Kalo ciri-ciri demokrasi nggak ada di Indonesia, artinya Indonesia sedang diperintah rezim diktator.
Demokrasi sendiri ada macam-macam cirinya. Tiap negara demokrasi bisa punya ciri sendiri. Tapi menurut filsafat politik, ada dua unsur minimal yang harus dipenuhi supaya suatu negara bisa dibilang demokratis.
Pertama, ada kebebasan berpendapat dan berorganisasi. Di negara otoritarian, nggak ada unsur ini. Sedikit aja mengkritik pemerintah, besoknya langsung ditangkap tanpa proses hukum yang jelas. Sering juga terjadi, tiba-tiba si pengkritik hilang tanpa jejak. Kejadian kayak gini pernah terjadi di Indonesia waktu zaman Soeharto berkuasa. Kalau konteks sekarang, Korea Utara adalah contoh nyatanya.
Kedua, ada pemilu yang rutin dan pembatasan masa berkuasa. Di negara otoritarian, biasanya tidak ada pemilu. Memang, mungkin aja diadakan pemilu. Tapi, pemenangnya sudah pasti, 4L (lu lagi, lu lagi). Si diktator biasanya menang mutlak.
Lagi-lagi era Orde Baru adalah contoh nyatanya. Ada pemilu sih, rutin 5 tahun sekali. Tapi yang menang selalu Pak Harto dan partainya. Jadi, ada atau nggak ada pemilu sebetulnya sama aja.
Coba lihat Indonesia sekarang. Apa dua unsur minimal itu terpenuhi? Banyaknya orang yang mengkritik pemerintah dan sampai sekarang masih bisa terus mengkritik berarti ada kebebasan berpendapat.
Kalau di zaman Orde Baru, tokoh oposisi yang sekarang ini gemar mengkritik mungkin sudah hilang entah ke mana.
Lalu, sejak reformasi, setiap 5 tahun ada pemilu dan siapa pemenangnya tidak ada yang tahu. Makanya mereka yang bertarung dalam pemilu harus kampanye mati-matian supaya dikenal dan dipilih rakyat. Presiden juga cuma bisa berkuasa paling lama 10 tahun alias 2 periode jabatan.
Jadi, sebenernya Indonesia sekarang ini sudah demokratis. Paling nggak, unsur minimal negara demokrasi sudah terpenuhi di negeri kita. Indonesia saat ini tidak diperintah secara diktator. Nah, kalo gitu, people power sebenarnya nggak relevan dong untuk situasi Indonesia sekarang ini?
Jawaban saya tegas, nggak relevan. Sebaliknya, harus dikritisi, apa maksud beberapa elite politik omong people power? Apakah mereka sedang mengatasnamakan people untuk kepentingan politiknya? Siapa people itu sesungguhnya?
Seluruh rakyat Indonesia atau ‘hanya’ sebagian rakyat saja yang pandangan politiknya sejalan dengan mereka? Apa mereka rela memecah belah bangsa cuma demi ‘kesempatan dalam kesempitan’?
So, menurut saya, ada tiga kemungkinan orang yang pingin people power pada situasi sekarang ini. Pertama, orang yang suka bercanda. Mungkin orang itu sedang melawak waktu omong people power. Kedua, orang yang gagal move on dari masa lalu. Mungkin orang itu mantan aktivis era 98 yang masih “terjebak nostalgia”. Ketiga, orang yang memang mau memecah belah. Jenis yang ini nggak boleh dibiarkan.
Tapi, pemerintah pun mesti hati-hati dalam bertindak. Meskipun saat ini terbukti demokratis, selalu ada kemungkinan jatuh dalam kediktatoran. Jangan sampai karena ingin mengatasi kekacauan, pemerintah mengabaikan dua unsur minimal demokrasi lalu berubah jadi otoriter.
Bagi publik pun harus bisa memilah. Berunjuk rasa atau semacamnya itu hak, tapi tetap dalam koridor demokrasi. People power tidak masalah, asal tetap konstitusional.
Lalu, apakah yang terjadi semalam dan mungkin akan terus berlangsung 22 Mei dan beberapa hari ke depan adalah people power? Saya hanya ingin mengutip kata Gus Dur, yang lebih penting dari politik adalah kemanusiaan. Jangan ada lagi darah dan air mata jatuh hanya karena beda politik
Akhirnya, janganlah kita gampang memprovokasi atau mudah diprovokasi dengan pelbagai isu. Apalagi di bulan suci Ramadhan yang penuh berkah ini. Yuk, kita akhiri propaganda tanpa alasan dan bangun kembali persatuan dan keutuhan.