Benarkah Teologi Asy’ariyyah itu Anti Sains? (Bag-II)

Benarkah Teologi Asy’ariyyah itu Anti Sains? (Bag-II)

Benarkah Teologi Asy’ariyyah itu Anti Sains? (Bag-II)

Al-Ghazali seperti telah disebut dalam tulisan sebelumnya mewakili aliran al-Asy’ariyyah pada umumnya yang menolak hukum kausalitas atau hukum sebab akibat. Pemikiran beliau tentang hal ini tertuang secara sistematis dan runut dalam karya polemisnya yang amat terkenal, yakni Tahafut al-Falasifah.

Baiklah untuk menegaskan kembali corak anti kausalitas dalam pemikiran al-Ghazali ini kita sajikan kutipan dari kitab Tahafut al-Falasifah yang cukup mewakili keyakinan para teolog Islam baik Muktazilah maupun Asy’ariyyah:

 الاحتراق في القطن مثلاً مع ملاقاة النار، فإنا نجوز وقوع الملاقاة بينهما دون الاحتراق ونجوز حدوث انقلاب القطن رماداً محترقاً دون ملاقاة النار

“Dalam peristiwa terbakarnya kapas, misalnya, ketika tersentuh oleh api, kami meyakini bahwa terjadinya persentuhan itu tidak akan membuat kapas menjadi terbakar. Kami mungkinkan pula bahwa kapas bisa berubah menjadi abu tanpa perlu tersentuh oleh api…”

Lalu al-Ghazali mengandaikan lawan polemisnya menyanggah pandangannya demikian:

“Jika anda bertanya: ‘pandangan yang serba tidak pasti ini tentu akan menimbulkan hil-hil yang mustahal. Sebab, jika hukum sebab-akibat ini ditolak secara mentah-mentah dan kita kembalikan semua runtutan peristiwa ini kepada kehendak Tuhan, sementara kehendak Tuhan sendiri tidak pasti dan bermacam-macam, tentu  di antara kita bisa jadi di depannya tiba-tiba langsung muncul binatang buas, api yang menyala-nyala, gunung-gunung yang tinggi, musuh-musuh yang siap membunuh kita dengan senjata api dan sementara itu, kita tidak bisa melihatnya karena Allah sendiri tidak menciptakan penglihatan untuk kita. Lebih jauh lagi, bisa jadi buku yang kita letakkan di rumah kita akan berubah menjadi anjing. Bisa jadi abu yang kita tinggalkan di rumah akan berubah menjadi minyak misik. Bisa jadi batu yang kita taruh di rumah akan berubah menjadi emas dan emas menjadi batu….’”

Terhadap pertanyaan-pertanyaan ini, al-Ghazali dengan menggunakan metode dialektiknya (tariqah jadaliyyah) menyanggahnya demikian:

“Jika telah ditetapkan bahwa sesuatu yang terjadi itu tidak pasti hukumnya, karena Allah menciptakan bagi kita pengetahuan bahwa semua yang tidak pasti bisa terjadi, tentu runtutan-runtutan peristiwa mustahil ini bisa saja terjadi dan kami tidak meragukan kemustahilan-kemustahilan seperti yang Anda jelaskan tadi (maksudnya buku bisa jadi anjing dan seterusnya). Dan tentu kami tidak mempercayai runtutan-runtutan peristiwa ini sebagai sebab-akibat yang pasti. Kami hanya meyakini bahwa itu semua peristiwa itu tidak pasti, maksudnya, peristiwa itu mungkin terjadi dan mungkin pula tidak terjadi. Jadi runtutan peristiwa-peristiwa yang kita lihat ini (peristiwa api dapat membakar kertas misalnya) bisa dikatakan hanyalah kebiasaan yang kita lihat yang terus menerus terjadi sehingga dengan sendirinya terpatri secara mendalam dalam pikiran kita. Jadi semua itu hanya kebiasaan kita saja yang melihatnya seperti itu. ”

Jadi kata al-Ghazali yang mewakili pandangan aliran Asy’ariyyah ini, hukum sebab akibat itu hanyalah urutan peristiwa yang biasa dan sering kita lihat sehingga kita menganggap hukum sebab-akibat ini benar-benar terjadi padahal tidaklah demikian. Kalau kita menyaksikan kapas menjadi abu karena terbakar oleh api bukan berarti kapas yang jadi abu tersebut disebabkan oleh api yang membakarnya. Al-Ghazali menegaskan bahwa kita tidak bisa membuktikan keberadaan hukum sebab-akibat atau hukum kausalitas.

Hal demikian karena kita hanya terbiasa melihat peristiwa A mengakibatkan munculnya peristiwa B, dan ketika pada kesempatan lain kita menyaksikan peristiwa A, secara taken for granted kita bisa menebak munculnya peristiwa B. Dalam kacamata al-Ghazali, kita tidak boleh mengandaikan bahwa peristiwa A merupakan sebab bagi munculnya peristiwa B. Oleh karena itu dalam pandangan yang serba memutlakan kehendak Tuhan ini, yang hanya kita saksikan ialah soal kebiasaan.

Melalui pandangan ini, al-Ghazali mengingatkan kita kepada prinsip serba mungkin, prinsip ketidakpastian, yang dalam bahasa Arabnya disebut prinsip at-tajwiz. Prinsip inilah yang menjadi basis epistemologis bagi semua pemikiran teologi di kalangan Muktazilah maupun Asy’ariyyah. Prinsip ini pula yang menolak hukum alam dan hukum kausalitas dengan pengertian filosofisnya dan prinsip ini pula yang menciptakan hukum kebiasaan. Kalau kita pinjam istilah Ibnu Maymun dalam Dilalat al-Ha’irin, prinsip ini bisa juga dinamakan sebagai Umdat Ilmul Kalam.

Dulunya prinsip ini pernah dirintis oleh oleh Abu-l Hudzail al-Allaf (w. 230 H)