Apa dampak paling menyebalkan dari berkembangnya Islam yang dihayati sebatas identitas dan simbol-simbol?
Sekelompok orang yang merasa paling saleh dan ahli surga.
Beberapa tahun terakhir masyarakat Indonesia tampak bergairah dalam memahami dan mengekspresikan agamanya. Sebagian orang tak canggung memakai busana ala penduduk desa di pelosok Afghanistan dan beralasan bahwa itu adalah sunnah.
Sebagian yang lain mencoba peruntungan dengan mendirikan usaha berbasis syariah, seperti agen travel, event organizer, katering, sampai kolam renang. Ada juga sekelompok orang yang menuding pemerintah saat ini gagal menyejahterakan umat, dan sebagai solusi, khilafah tak bisa lagi ditawar-tawar.
Bermula dari Kemalasan
Kesadaran masyarakat untuk memahami ajaran agamanya tentu baik, tapi hal itu akan semakin baik jika informasi yang mereka dapatkan dari ceramah ustadz-ustadz di Youtube, pesan berantai di messanger, atau status dan twit teman-teman mereka tentang Islam dicek dan ricek terlebih dahulu kebenarannya.
Di zaman serba online seperti sekarang, semua orang bisa membuat konten keislaman yang menarik untuk disebarkan. Kemalasan mencari informasi pembanding akan membuat kita mudah salah paham.
Satu di antara kesalahpahaman yang rawan menjangkiti teman-teman kita yang belajar Islam secara mandiri (instan) adalah perasaan bahwa dirinya yang paling benar, sementara yang lain salah.
Hanya karena pergaulan mereka di dunia maya sebatas kuota internetnya, mereka memandang rendah orang lain di dunia nyata yang punya pendapat berbeda, menganggap sesat dan dengan nyinyir mengharapkan hidayah Allah untuk mereka, atau mencurigai mereka sebagai antek asing yang mempunyai misi menghancurkan Islam dari dalam.
Mempelajari Islam secara instan tak hanya bisa dilakukan di dunia maya. Hadir dalam pengajian-pengajian juga bisa dikategorikan belajar instan, jika pengetahuan yang kita dapatkan baru sebatas menambah wawasan, bukan menghadirkan perspektif atau sudut pandang yang sejiwa dengan prinsip-prinsip agama. Meski lamanya belajar tak memberi jaminan, mereka yang bertahun-tahun menekuni cabang-cabang ilmu agama umumnya lebih berpeluang memiliki perspektif yang sesuai dengan prinsip-prinsip tersebut.
Disalahpahami, Lalu Diperalat
Saat ini, Islam tak ubahnya magnet yang punya daya tarik kuat di hampir semua lini kehidupan. Kita melihat pernak-pernik ala Islam bertebaran di media, entah dalam bentuk iklan, film, hingga musik.
Sayangnya, Islam di sini tak lebih sekadar nama, cap, atau status, bukan substansi. Sebagian orang menyebut fenomena tersebut sebagai tanda-tanda kebangkitan Islam. Nyatanya, itu hanyalah gejala laten yang berulang terjadi dalam sejarah umat Islam di mana pun, yakni Islam yang dipaksa menjadi ‘penyedap’.
Untuk apa? Tentu saja untuk menarik perhatian, agar kepentingan kelompok tertentu tercapai. Bukan rahasia kalau sejumlah oknum, mulai toko online sampai buzzer politisi, kerap membagi konten keislaman demi menjaga engagement atau menggiring opini follower-nya.
Penutup tulisan seperti “Sebarkan jika Anda memang orang Islam!” atau “Bagikan jika Anda tak ingin mendapat musibah!” adalah contoh paling banal dari hal itu. Mereka yang sudah mengantisipasi tuduhan ini dengan enteng menjawab, “Ini, kan, bagian dari dakwah juga.”
Maka, yang tampak di permukaan adalah kehidupan ala Islam yang semarak, meriah, dan ‘kaffah’. Orang-orang bertutur dalam bahasa Arab seadanya: Akhi, ukhti, afwan, manhaj; kampanye tutup aurat dengan mengatakan bahwa “wanita yang mengumbar auratnya sama dengan makanan yang tak ditutup rapat sehingga dikerubuti lalat”; anak-anak TK yang diperintahkan memakai kostum hitam-hitam dan menenteng senapan laras panjang; atau berita hoax yang ditambahi caption berupa kalimat thayyibah, agar terkesan sahih.
Siapa yang bertanggung jawab sekaligus berperan serta dalam menyebarkan model penghayatan Islam seperti ini? Tentu saja bukan kyai pesantren atau santri-santrinya tapi mereka yang pernah belajar alif-ba’-ta’ tapi sering bolos karena padatnya jadwal ekskul dan les, lalu saat kuliah bergabung dengan organisasi-organisasi Islam yang memanfaatkan militansi masa muda mereka, mencekoki mereka dengan doktrin-doktrin keagamaan yang membungkam, sebelum menerjunkan mereka di jalan-jalan untuk berdemo menuntut formalisasi syariah.
Orang-orang inilah, yang mengira Islam tak ubahnya kunci jawaban bagi semua teka-teki dari zaman Adam hingga kiamat, yang memiliki kecenderungan menjadi ‘wakil Tuhan’ di bumi.
Di benak mereka, Islam adalah satu-satunya yang benar. Karena satu-satunya yang benar itu adalah apa yang sejalan dengan perspektifnya, maka Islam adalah apa yang cocok dengan isi kepalanya. Ketika mereka melihat ekspresi Islam yang berbeda, telunjuk mereka pun teracung dan mulut-mulut mereka mengumpat, “Bid’ah!” “Sesat!” “Kafir!”
Wallahu A’lam.