Benarkah Rasulullah Membantu Pembangunan Gereja di Madinah?

Benarkah Rasulullah Membantu Pembangunan Gereja di Madinah?

Benarkah Rasulullah Membantu Pembangunan Gereja di Madinah?

Kristen Najran merupakan salah satu sekte Kristen yang hidup di Jazirah Arab. Kristen ini dalam berbagai literatur tafsir, hadis dan sejarah sering disebut karena kritik-kritik yang disampaikan Al-Qur’an banyak ditujukan kepada mereka dibanding sekte-sekte Kristen lainnya.

Meski bahasa yang digunakan Al-Qur’an tidak langsung menohok kepada sekte Kristen ini dan cenderung dilihat sebagai kritik secara keseluruhan terhadap semua aliran Kristen, namun pembacaan terhadap asbabun nuzul dalam Jami’ al-Bayan fi Tafsir ayin min Ayil Quran karya Ibnu Jarir at-Tabari memberikan suatu kesimpulan bahwa kebanyakan kritik Al-Qur’an ditujukan kepada sekte Kristen Najran ini.

Lalu apa sebenarnya keyakinan sekte Kristen  yang dikritik oleh Al-Qur’an ini?

Dalam surat al-Maidah ayat 72 disebutkan bahwa Al-Qur’an sangat pedas mengkritik keyakinan Kristen Najran yang menyatakan bahwa Allah itu salah satu dari yang tiga. Dalam bahasa Al-Qur’an, salah satu dari yang tiga ini diungkapkan dengan frase tsalitsu tsalatsah. Banyak literatur tafsir moderen dan klasik menafsirkan bahwa ayat yang mengandung frase tsalitsu tsalatsah ialah sebagai kritik Al-Qur’an terhadap doktrin trinitas. Padahal jika dilihat secara kebahasaan dan istilah, pandangan seperti ini bisa saja keliru.

Tsalitsu tsalasah jika dilihat secara susunan gramatikal merupakan frase idafah yang mungkin diartikan sebagai ats-tsalits min tsalatsah (yang ketiga dari tiga). Ini artinya secara istilah tsalitsu tsalatsah dapat didefinisikan sebagai keyakinan sebagian umat kristiani yang menyatakan bahwa Yesus itu Tuhan dalam urutan pertama, Bunda Maria itu Tuhan dalam urutan kedua dan Allah itu Tuhan dalam urutan ketiga. Keyakinan ini mirip dengan keyakinan kaum pagan yang menyakini tiga dewa: Latta, Uzza dan Manat. Inilah doktrin Kristen Najran yang dikritik keras oleh Al-Qur’an. Namun apakah doktrin tsalitsu tsalatsah ini mirip dengan doktrin trinitas?

Kita coba tilik kembali kata trinitas ini dari segi bahasa dan istilah. Jika dilihat dari segi bahasa, kata trinitas ini berasal dari Yunani yang terdiri dari dua kata: tri yang berarti tiga dan unitas yang berarti satu atau esa. Jadi trinitas secara bahasa dapat diartikan sebagai tiga dalam yang Esa. Apa itu tiga dalam yang Esa? Yang dimaksud tiga di sini ialah apa yang disebut dalam bahasa Yunani sebagai hipostasis yang diterjemahkan dalam bahasa Arab sebagai na’at. Secara literal trinitas dalam bahasa Arab dapat diterjemahkan tsalatsah li-wahid/tsalatsah fi wahid dan secara lebih gamblang lagi diterjemahkan tsalatsah nu’ut li wahid yang artinya tiga sifat dalam Yang Esa.

Tiga sifat inilah yang kemudian terkenal dalam tradisi Kristen sebagai trinitas, yakni keyakinan bahwa Allah itu Bapa, Putera, Roh Kudus. Bapa merupakan metafor bagi sifat wujud, Putera merupakan metafor bagi sifat kalam/ilmu dan Roh Kudus merupakan metafor bagi sifat hayat. Demikian seperti yang dijelaskan oleh as-Syahrastani dalam al-Milal wa an-Nihal dan at-Tabari dalam Jami al-Bayan.

Sampai di sini jelaslah bahwa tsalitsu tsalathah yang dikritik Al-Qur’an tidak identik dengan doktrin trinitas. Dalam doktrin tsalitsu tsalatsah, Allah diyakini sebagai Tuhan dalam urutan ketiga setelah Yesus dan Bunda Maria dan dalam doktrin trinitas, Allah diyakini sebagai Bapa, Putera dan Roh Kudus yang masing-masingnya merupakan metafor bagi sifat Allah yang tiga: wujud, kalam dan hayat. Sifat kalam Allah ini kemudian mewujud nyata dalam bentuk manusia bernama Yesus Kristus. Proses ini hampir mirip dengan keyakinan umat Islam dimana kalam Allah mewujud nyata dalam bentuk kitab suci Al-Qur’an.

Sampai di sini kita dapat melihat bahwa Kristen Najran yang berkeyakinan tsalitsu tsalatsah ini  terpengaruh oleh keyakinan paganisme yang tersebar di semua penjuru Jazirah Arab. Namun terlepas dari konsepsi sekte Kristen Najran  tentang Allah yang keliru dan dikritik keras oleh Al-Qur’an ini, dalam sejarahnya kita lihat bahwa ketika menyambut mereka di Mesjid Nabawi Nabi Muhammad SAW masih tetap membiarkan mereka beribadah menurut keyakinan tsalitsu tsalatsah di Mesjid  Nabawi. Dan bahkan dalam perjanjian yang tercatat dalam beberapa literature sejarah seperti Tabaqat al-Kubra karya Ibnu Sa’ad Nabi SAW memberikan kebebasan penuh kepada sekte Kristen Najran ini dan kesamaan dan kesetaraan mereka di hadapan hukum (alaihim ma alal muslimin wa lahum ma lil muslimin).

Lebih dari itu, jika diperlukan, negara Madinah yang dirintis Nabi dan para khalifah berkewajiban membantu Kristen Najran dalam pembangunan gereja jika memang diperlukan. Perjanjian Nabi dengan Kristen Najran ini sebenarnya dilakukan untuk menjaga kesatuan umat Arab saat itu.

Meski secara keyakinan berbeda dengan amat mendasar, dalam perjanjian tersebut disebut bahwa jika memang diperlukan, tenaga kaum muslimin bisa dikerahkan untuk membantu pembangunan gereja. Hal demikian seperti yang dapat kita lihat pada kutipan berikut ini:

ولهم إن احتاجوا في مرمّة بيعهم وصوامعهم أو شيئ من مصالح أمور دينهم، إلى رفد – مساعدة – من المسلمين وتقوية لهم على مرمتها، أن يرفدوا على ذلك ويعاونوا، ولا يكون ذلك دينا عليهم بل تقوية لهم على مصلحة دينهم، ووفاء بعهد رسول الله وموهبة لهم ومنة لله ورسوله عليهم

“Dan ketika membangun gereja dan tempat peribadatan atau hal-hal yang berkaitan dengan kebebasan pelaksanaan ritual keagamaan memerlukan bantuan umat Islam untuk memperkuat persatuan, kaum Kristen wajib dibantu oleh umat Islam. Bantuan ini bukanlah hutang yang harus dibayar melainkan harus dianggap sebagai usaha memperkuat kepentingan agama dan sekaligus sebagai usaha menepati janji Rasul yang merupakan karunia Allah dan Rasulnya bagi mereka.”

Kutipan ini memperjelas bahwa posisi Nabi Muhammad SAW sebagai kepala Negara Madinah memiliki kewajiban untuk mengayomi semua elemen masyarakat agar terbentuk kesatuan dan persatuan antara berbagai elemennya. Perjanjian Nabi dengan kaum Kristen Najran ini tidak ada kaitannya dengan persoalan akidah.

Secara akidah, kita lihat bahwa Al-Qur’an sangat tegas bertentangan dengan keyakinan Kristen Najran yang mirip ajaran orang musyrik namun dalam konteks sosial dan politik, yakni tujuan untuk menyatukan umat, Nabi bahkan memberikan kebebasan beragama dan semua hal-hal yang berkaitan tentang itu seperti pembangunan gereja-gereja. Dalam perjanjian yang dikutip di atas, kita lihat bahwa Nabi bahkan menawarkan bantuan umat Islam jika dalam pembangunan gereja tenaga umat Islam dibutuhkan.

Jika sikap Nabi Muhammad SAW sangatlah toleran terhadap Kristen Najran yang keyakinannya tentang relasi Yesus dengan Allah terangkum dalam doktrin tsalitsu tsalatsah (Allah itu yang ketiga dari tiga), doktrin yang mirip dengan keyakinan kaum pagan, maka tentu Nabi akan lebih toleran lagi sikapnya dengan sekte Kristen lainnya yang meyakini doktrin trinitas (Allah itu Bapa, Putera, Roh Kudus). Semua sekte Kristen yang berbeda-beda keyakinan tersebut tetap  dianggap sebagai ahli kitab dalam Al-Qur’an.

Namun yang perlu dicatat di sini, toleransi Nabi ini bukan kepada akidah tapi lebih kepada usaha menjalin hubungan sosial yang baik agar terbentuk nasionalisme yang tinggi di kalangan elemen-elemen negara.