Benarkah Rasul Melarang Umatnya Bertanya?

Benarkah Rasul Melarang Umatnya Bertanya?

Benarkah Rasul Melarang Umatnya Bertanya?

Dalam kegiatan belajar, sering bertanya memang prilaku yang amat dianjurkan. Sebab, banyaknya pertanyaan menunjukkan bahwa si penanya memiliki semangat untuk memahami, serta keinginan memperoleh pengetahuan yang lebih banyak daripada yang sudah disampaikan. Sering bertanya juga dilakukan oleh para sahabat kepada Nabi Muhammad salallahualaihi wasallam.

Di zaman Nabi Muhammad masih hidup, banyak sahabat bertanya kepada beliau tentang berbagai hal. Nabi meresponnya dengan baik. Bahkan pertanyaan-pertanyaan tersebut terdokumentasikan dalam al-Qur’an. Namun, dalam salah satu kesempatan Nabi melarang umatnya untuk terlalu banyak bertanya. Lalu, banyak bertanya seperti apa yang dilarang dan diperbolehkan?

Larangan banyak bertanya termaktub salah satunya dalam hadis berikut ini:

مَا نَهَيْتُكُمْ عَنْهُ فَاجْتَنِبُوْهُ، وَمَا أَمَرْتُكُمْ بِهِ فَأْتُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ، فَإِنَّمَا أَهْلَكَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ كَثْرَةُ مَسَائِلِهِمْ وَاخْتِلَافُهُمْ عَلَى أَنْبِيَائِهِمْ

“Apa yang aku larang, maka jauhilah. Apa yang aku perintahkan, maka lakukanlah semampu kalian. Sungguh yang menghancurkan kaum sebelum kalian adalah banyaknya pertanyaan mereka dan perselisihan mereka pada Nabi-Nabi mereka.” (HR: Bukhari dan Muslim)

Imam an-Nawawi dalam Syarah Shahih Muslim menjelaskan, hadis di atas memiliki latar belakang kejadian yang penting untuk diketahui. Yaitu, suatu kali Rasulullah menyatakan bahwa Allah telah mewajibkan untuk berhaji dan Rasulullah memerintahkan umatnya untuk berhaji. Lalu ada seseorang yang saat itu hadir, bertanya apakah haji tersebut dilakukan setiap tahun. Rasulullah tidak menjawab pertanyaan itu hingga orang tersebut mengulanginya tiga kali. Hal itu menunjukkan Rasulullah berkeberatan menjawabnya. Lalu Rasulullah bersabda:

“Andai aku menjawab ‘ya’, pasti akan diwajibkan. Dan kalian tidak akan mampu melaksanakannya”.

Rasulullah kemudian bersabda: “Tinggalkan apa yang tidak aku bahas dengan kalian. Sesungguhnya kaum sebelum kalian mengalami kerusakan sebab terlalu banyak bertanya dan berselisih dengan Nabi-Nabi mereka”.

Keterangan di atas menunjukkan larangan menanyakan sesuatu yang memang tidak dijelaskan secara detail. Hal itu agar memberi kemudahan pengamalnya untuk tidak terkungkung dengan aturan-aturan detail sehingga justru mempersulitnya. Nabi dengan sikap diam beliau sudah memberi isyarat agar tidak menanyakan hal itu. Tapi, si penanya tetap bersikeras menanyakannya. Pertanyaan-pertanyaan tak perlu seperti inilah yang dilarang oleh Nabi untuk ditanyakan.

Ulama kemudian berselisih pendapat mengenai apakah larangan banyak bertanya itu hanya berlaku di masa Nabi masih hidup, atau juga setelahnya? Mengingat bahwa yang dikhawatirkan oleh Nabi adalah munculnya hukum baru yang justru mempersulit umat Islam. Kebanyakan keterangan yang dikutip dari ulama salaf menyatakan bahwa hadis di atas juga berlaku setelah Nabi wafat. Meski tidak sampai ke hukum haram, bisa saja banyak bertanya dinilai makruh. Maksudnya, banyak bertanya tentang hal-hal yang dinilai mempersulit si penanya dan tidak memberi dampak positif.

Lalu, seperti apakah pertanyaan yang dinilai mempersulit si penanya dan tidak memberi dampak positif? Tentu hal ini bergantung dengan hal yang ditanyakan serta keadaan si penanya. Contoh pertanyaan yang dinilai mempersulit serta tidak memberi dampak positif berkaitan dengan hal yang ditanyakan, adalah seperti menanyakan pada ulama mengenai: nanti aku di surga atau neraka, ya? Kiamat itu kapan? Dan pertanyaan-pertanyaan tentang hal ghaib lain yang hanya Allah yang tahu. Atau pertanyaan yang sifatnya hanya memicu perdebatan saja tanpa memberi tambahan pengetahuan yang berarti.

Sedang contoh pertanyaan yang mempersulit serta tak memberi dampak positif berkaitan dengan keadaan si penanya, adalah seperti menanyakan hal rumit mengenai permasalahan agama padahal pengetahuan tentang ibadah-ibadah pokok saja, si penanya belum tahu. Misalnya rukun syarat shalat saja belum tahu sudah menanyakan hukum qunut dalam madzhab lain. Atau menanyakan tentang detail dalil serta proses pengambilan hukum dalam ajaran Islam, padahal si penanya sama sekali tidak punya keahlian atau pengetahuan dalam bidang tersebut. Dan lebih bermanfaat baginya untuk giat beribadah, daripada membuang-buang waktu menanyakan sesuatu yang tidak terlalu bermanfaat baginya.