Puasa adalah penebus dosa masa lalu. Begitu sabda Rasulullah SAW itu berbunyi. Banyak orang yang fokus pada poin ampunan dosa ini. Sedangkan poin sebelum itu tentang keimanan dan berharap pahala hanya karena Allah diabaikan begitu saja. Sehingga karena itu, banyak orang yang berpuasa yang penting tidak makan, tidak minum dan tidak berhubungan suami istri. Perbuatan-perbuatan maksiat kurang dikekang dan kurang usaha untuk dijauhi.
Padahal yang terpenting adalah poin keimanan dan menggantungkan pahala hanya kepada-Nya. Keimanan berarti mengerjakan seluruh perintah Allah dan Rasul-Nya dan menjauhi seluruh larangan-Nya. Sedangkan yang kedua mencakup nilai keikhlasan dan niat karena Allah. Poin kedua ini adalah pangkal dari segala amal peribadatan umat Islam. Sampai-sampai pentingnya niat itu disebut lebih baik dari amal perbuatannya, niatul mu’min khairun min ‘amalihi.
Bisa kita saksikan banyak orang menggebu-gebu dan semangat berpuasa di awal-awal. Selanjutnya puasanya lembek bahkan banyak yang tumbang. Lebih jelas lagi pemandangan ini terjadi pada shalat tarawih atau qiyamullail. Miris dan ironis. Di awal-awal, shaf di banyak masjid semakin banyak, ada yang penuh bahkan meluber. Tetapi semakin lama shaf itu semakin sedikit dan berkurang. Fenomena yang jadi rahasia umum yang sering disinggung banyak dai dan penceramah. Tetapi fenomena ini tidak tampak tahun karena pandemi. Mirisnya, di sebagian tempat, terkadang waktu tarawih atau qiyamullail malah jadi waktu main gaplek domino, remi atau lainnya. Ini belum termasuk mereka yang qiyamullailnya secepat kilat?
Bagaimana mungkin ampunan diperoleh bila qiyamullail ditinggalkan? Masih mending tarawih secepat kilat karena masih disebut shalat meski itu tampak seperti sia-sia dan tiada guna. Terburu-buru bagian dari perbuatan setan (al-‘ijlatu min al-syaithan). Barangkali tarawih super cepat juga karena tipu daya setan. Mungkin ini berlebihan. Tetapi semoga saja tidak. Selain puasa, qiyamullail menjadi amalan penting sebagai penebus dosa. Sebagaimana disebutkan dalam sanda Nabi SAW qiyamullail yang dikerjakan karena iman dan berharap pahala karena Allah, dosanya yang terdahulu diampuni. (HR. Al-Bukhari)
Amalan penghapus dosa yang terakhir adalah menghidupkan malam lailatul qadar. Hal ini sebagaimana disampaikan Rasulullah SAW bahwa orang yang qiyamullail pada malam lailatul qadar, dosanya yang telah berlalu diampuni. (HR. Al-Bukhari). Puasa dan qiyamullail tidak maksimal dikerjakan, bagaimana mungkin bisa maksimal memburu malam lailatul qadar? Lebih jauh lagi bagi mereka yang meninggalkan puasa dan qiyamullail. Bagaimana mungkin mereka akan memburu malam lailatul qadar? Bagaimana juga dosa-dosa akan diampuni? Ampunan dosa selaras dengan amal usaha. Proses dan usaha yang gigih dan kuat, ditopang oleh iman dan ketulusan, maka sangat mudah bagi Allah untuk menurunkan ampunannya.
Rasulullah SAW menegaskan bahwa orang yang mendapati bulan Ramadhan tapi ia tidak diampuni, maka neraka tempatnya. Begitulah riwayat Ibnu Syahin dalam kitab Fadha’il Syahri. Artinya, sungguh sangat keterlaluan kalau ada orang yang semasa hidupnya pernah bertemu Ramadhan tapi tidak mendapatkan ampunan dariNya. Betapa ruginya orang yang berdosa tapi dosanya tidak terhapus di bulan ini. Haruskah kita masuk neraka karena membiarkan Ramadhan berlalu begitu saja? Untuk itu, perbanyak istighfar dan bertaubat kepadaNya. Tinggalkan segala perbuatan maksiat. Sucikan diri dengan ibadah yang giat.
Maka di bulan Ramadhan ini, mencari ampunan di tengah dosa yang bergelimang, adalah dengan memaksimalkan puasa, qiyamullail dan malam lailatul qadar. Ketiganya adalah paket superĀ hebat dan lomplit. Sinyalnya kuat di hadapan Tuhan. Kalau hanya mengandalkan salah satunya saja, loadingnya lama, sinyalnya lemot dan banyak hambatan.
Maka dari itu, agar dosa-dosa rontok dan diampuni, kata kuncinya tiga tadi, puasa, qiyamullail dan menghidupkan malam lailatul qadar. Bila semua ini dilaksanakan dengan spirit keimanan dan ketulusan yang tinggi, dosa di masa lalu akan hangus dan sirna sebagaimana disampaikan Rasulullah SAW. Tetapi semuanya adalah prerogatif Allah SWT. Manusia hanya berbuat Allah yang memutuskan. Kita hanya berharap semoga seluruh amal ibadah kita diterima oleh-Nya.