Poligami adalah salah satu permasalahan yang selalu menimbulkan pro dan kontra sejak dahulu hingga dewasa ini. Di antara yang pro mengatakan bahwa poligami merupakan hal diperbolehkan dalam Islam. Sedangkan di antara yang kontra mengatakan bahwa poligami merupakan bentuk tindakan diskriminatif terhadap kaum perempuan. Kemudian muncullah pertanyaan tentang bagaimana al-Qur’an memandang poligami? Berikut penjelasannya:
Kata poligami berasal dari dua kata dalam bahasa Yunani yaitu polus yang berarti banyak dan gomus yang berarti perkawinan. Dalam bahasa Arab, poligami disebut dengan ta’addud az-zawjat yang diartikan sebagai “seorang laki-laki yang mempunyai lebih dari satu istri”. Adapun Musda Mulia mendefinisikan poligami sebagai sebuah ikatan pernikahan yang mana salah satu pihak, dalam hal ini suami menikahi beberapa istri secara bersamaan.
Sederhananya, poligami adalah pernikahan yang dilakukan antara seorang laki-laki dengan beberapa perempuan secara bersamaan.
Di dalam al-Qur’an, ayat yang seringkali dijadikan sebagai legitimasi atas diperbolehkannya praktek poligami adalah Q.S al-Nisa’[4]: 3, sebagaimana berikut:
وَإِنْ خِفْتُمْ أَلا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَى فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلاثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ذَلِكَ أَدْنَى أَلا تَعُولُوا
Artinya:
“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. kemudian jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya”. (Q.S al-Nisa’[4]: 3).
Mari kita lihat bagaimana konteks turunnya ayat ini: diriwayatkan dari Urwah bin Zubair, bahwasanya ia bertanya tentang ayat ini kepada bibinya, Aisyah Ummul Mukminin, Aisyah menjawab “Wahai anak saudaraku, anak yatim perempuan ini berada di dalam asuhan walinya yang berserikat dengannya di dalam hartanya. Lalu si wali tertarik dengan harta dan kecantikannya, ia hendak menikahinya tanpa membayar maharnya secara adil. Ia tidak memberinya mahar seperti yang ia berikan kepada perempuan-perempuan seperti dirinya. Lalu orang-orang dilarang melakukan tindakan semacam itu, dan mereka diperintahkan untuk menikahi perempuan-perempuan (lain) yang disukainya, dua, tiga, atau empat.
Pembolehan poligami pada ayat ini tidak serta merta tanpa alasan begitu saja. Melainkan sebagai jalan keluar bagi setiap orang yang tidak mampu berlaku adil terhadap anak-anak yatim yang diasuhnya. Pada waktu itu, menikahi perempuan yatim yang diasuhnya sudah menjadi kebiasaan orang Arab dengan tujuan untuk memakan harta anak yatim tersebut dengan tanpa memberikan maskawin.
Ketika ayat ini turun, di Madinah sedang terjadi perang Uhud yang mengakibatkan setidaknya 70 syuhada gugur. Jumlah ini cukup besar jika diukur dari keseluruhan jumlah laki-laki pada waktu itu yang hanya berjumlah 700 orang. Secara tidak langsung, wafatnya mereka meninggalkan banyak janda dan juga anak-anak yatim. Sedangkan keadaan mereka tidaklah sama, janda-jandanya ada yang tua dan ada yang muda, ada juga yang kaya dan ada yang miskin.
Pada waktu itu, laki-laki mempunyai peran yang cukup penting sebagai tumpuan bagi perempuan dalam hal apapun, baik ekonomi, sosial, psikologis maupun politik, sehingga muncullah persoalan yang berkaitan dengan pemeliharaan, perlindungan dan keamanan serta praktik kehidupan. Secara psiko-sosial kehidupan janda muda dan yatim yang kaya tentunya menjadi incaran orang-orang yang bermaksud jahat. Oleh karenanya, keadilan dalam ayat tersebut sangatlah ditekankan. Sehingga para janda tersebut tidak menjadi korban serta dimanfaatkan oleh orang-orang yang bermaksud jahat.
Menurut Hamka, ayat tersebut lebih menekankan kepada pemeliharaan anak yatimnya, bukan kepada poligaminya. Adapun menurut Sayyid Qutub, poligami pada ayat tersebut merupakan suatu perbuatan yang termasuk dalam rukhsah, karena Islam tidak pernah menciptakan sistem poligami melainkan hanya membatasinya. Sedangkan syarat agar mendapatkan rukhsah adalah apabila dalam keadaan darurat dan benar-benar mendesak. Sebagaimana pandangan Quraish Shihab yang mengatakan bahwa poligami itu ibarat pintu darurat pada pesawat yang hanya bisa dibuka dalam keadaan darurat saja.
Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa poligami diperbolehkan dalam dua keadaan. Pertama, ketika seseorang tidak mampu berlaku adil terhadap anak-anak yatim yang diasuhnya. Kedua, ketika dalam keadaan darurat, misalnya dalam rangka pemeliharaan anak yatim.
Akan tetapi, jika ditarik dalam konteks keindonesiaan, agaknya poligami dewasa ini kurang selaras dengan spirit yang terkandung dalam Q.S an-Nisa ayat 3. Mengapa demikian? Sebab mayoritas orang-orang yang melakukan praktik poligami adalah dalam rangka memenuhi kebutuhan biologisnya saja bukan dalam keadaan yang benar-benar darurat. Buktinya, istri kedua, ketiga, maupun keempat biasanya lebih cantik, lebih muda, dan lebih segalanya dibandingkan dengan istri sebelumnya.