K.H. Abdurrahman Wahid memperkenalkan istilah “Islam Pribumi”. Saya melihat gagasan itu semakin relevan bagi Indonesia saat ini. Terdapat banyak kearifan dari Islam pribumi yang lahir dari kehidupan Umat Islam di masa lampau yang sejalan dan relevan dengan ajaran Islam saat ini. Gagasan Pribumisasi Islam tidak lain dari “Islam Wasathiyah”, atau Islam yang moderat, Islam yang mengakar pada tradisi pendudukan Nusantara yang majemuk, terbuka, saling berinteraksi membangun konfigurasi bangsa Indonesia.
Di antara ciri dari konsep pribumisasi Islam dan menjadi gagasan yang dikembangkan dalam Islam Wasathiyah adalah pengakuan atas peran perempuan di ruang publik. Para ulama telah menimbang sumbangan perempuan yang mereka lihat dalam kehidupan sehari-hari. Mereka menyaksikan bagaimana suami-istri dalam keluaga-keluarga Muslim bergotong royong membangun keluarga. Para Kiai dan Ulama juga melihat bagaimana keluarga muslim di Nusantara bekerja di ruang dimestik dan di ruang publik secara timbal balik hampir tanpa sekat pemisah.
Dalam amatan saya, ini jelas berbeda dengan tradisi di tempat-tempat lain. Kalau menyaksikan aktivitas pasar-pasar di Timur Tengah, kita akan melihat pasar-pasar itu dianggap sebagai ruangnya kaum lelaki. Sementara di Indonesia kehidupan di pasar, di dunia perdagangan diisi oleh perempuan baik penjual atau pembeli. Di masa lalu, hal yang di negara mayoritas Islam lain masih dilarang seperti perempuan sebagai hakim agama, di Indonesia sudah ada hakim perempuan berkat kebijakan Mentri Agama K. H. Wahid Hasyim sejak tahun 50-an. (Meuleman, 1992). Atas dasar itulah saya dulu memilih kuliah di Fakultas Syariah IAIN Yogyakarta. Saya ingin bekerja sebagai Hakim Agama.
Berkat pemikiran para ulama lokal, lahir fiqh khas Indonesia yang menempatkan konsep suami-istri secara setara, sederajat dan seimbang. Memang upaya itu belum optimal tapi rintisannya telah dilakukan oleh para Ulama Nusantara sejak masa lampau. Hal itu tidak hanya berhenti sebagai wacana tetapi diturunkan ke dalam konsep “Hukum Keluarga Islam” Indonesia. Misalnya dalam mengatur pembagian harta gono gini, nafkah istri, hak istri untuk bekerja, bahkan hak gugat cerai dari istri, dan seterusnya. Itu semua pada dasarnya berangkat dari konsep yang mengakui peran dan sumbangan perempuan di dalam keluarga -keluarga Islam di Nusantara.
Dalam umumnya kajian tentang keluarga Jawa oleh para peneliti Barat, sering digambarkan istri sebagai konco wingking, teman suami di bagian belakang. Tapi di pengalaman saya, gambaran itu tidak sepenuhnya tepat. Ibu saya, adalah ibu yang bekerja. Mertua saya, Nyai Solehah Wahid adalah aktivis partai yang sangat disegani. Dalam kata lain, kajian itu bias struktur keluarga priyayi Jawa Abangan. Analisis semacam itu harus dikoreksi sebab secara de facto tak semua perempuan Jawa atau perempuan di lingkungan Islam tradisional diperlakukan sebagai konco wingking. Meskipun tidak banyak, saat ini ada ibu Nyai yang berperan sebagai “ kepala Keluarga” pencari nafkah, berjualan batik atau mengelola warung-warung untuk santrinya.
Ketika di Jombang saya aktif mengajar, menjadi dosen sambil mengurus keluarga. Setelah pindah ke Jakarta, saya tidak berpangku tangan bahkan ketika Gus Dur menjadi ketua PBNU. Saya bekerja menjadi wartawan, bahkan saya tetap melanjutkan kuliah di Pusat Kajian Wanita dan Gender di UI setelah mengalami musibah.
Saya kemudian mendirikan LSM Puan Amal Hayati yang memberi perhatian kepada isu kekerasan terhadap perempuan. Saya pimpin sendiri kajian kitab kuning karena saya merasa perlu untuk membaca ulang khazanah intelektual yang ada dalam tradisi pesantren dengan referensi yang diperoleh dari bangku kuliah dan bacaan-bacaan saya. Kegiatan itu bahkan tidak berhenti ketika saya mendapingi Bapak sebagai Kepala Negara. Saya tetap bekerja menyelesaikan naskah kajian kitab kuning menjadi buku “Kembang Setaman Perkawinan, analisis kritis atas Kitab Uqudul al- Lujain” (Penerbit Kompas, 2005).
Setelah kerusuhan Mei 98, dan Komnas Perempuan berdiri, saya juga aktif di dalamnya terutama untuk memberi perhatian pada kekerasan terhadap perempuan dengan basis prasangka gender yang dikontruksikan oleh pandangan keagamaan yang sempit. Tahun 2019 saya menerima gelar doktor kehormatan dari UIN Yogyakarta atas perhatian yang saya curahkan kepada isu pluralisme, sesuatu yang saya dalami terutama yang terkait dengan peran dan posisi perempuan yang saya wujudkan dalam berbagai kegiatan, antara lain Saur Keliling sebagai praktik kerukunan antar umat beragama.
“Change to Challange” sebagai tema perayaan Hari Perempuan Internasional 8 Maret tahun ini, dalam pengalaman saya adalah sebuah tema penting. Perempuan harus “berani menerima tantangan” dua arah; melawan keterbatasan-keterbatasan dirinya sendiri dengan terus belajar, membaca, bergaul secara luas, juga melawan berbagai hambatan dari luar seperti praktik diskriminasi yang menghalangi hak-hak perempuan, termasuk hak untuk bekerja.
Tantangan itu juga berlaku untuk para ibu Nyai di pesantren. Mereka harus mandiri. Sebab tak sedikit ibu Nyai yang semasa gadisnya menempuh pendidikan tinggi bahkan sampai ke luar negeri, sangat mandiri, namun begitu menikah dengan seorang kyai, mereka menempatkan diri di belakang kyai dan menyerahkan otoritasnya kepada suaminya. Mereka menjadi tergantung kepada suami dan lingkungan yang memanjakannya sehingga tak lagi ada kemauan untuk belajar.
Mereka menikmati peran “konco wingkingnya” meskipun telah kehilangan kesempatannya sebagai seorang perempuan yang telah mendapatkan peluang besar untuk menjadi pemimpin yang punya otoritas keilmuan, bukan hanya sekedar pendamping atau konco wingking kiai. Karenanya Change to Chalenge juga harus terjadi bagi ibu-ibu nyai di lingkungan pesantren.
Kita harus berani melawan tradisi yang tidak ramah kepada perempuan agar terus maju sebab Islam Nusantara adalah Islam yang sejatinya menerima keragaman aktivitas perempuan di dalam dan di luar rumah di luar dan di dalam pesantren.[]