Benarkah Orang yang Bersyukur Akan Semakin Sukses?

Benarkah Orang yang Bersyukur Akan Semakin Sukses?

Benarkah Orang yang Bersyukur Akan Semakin Sukses?

Kita dengar ayat ini sering dibacakan (QS Ibrahim:7): “Sungguh jikalau kamu bersyukur niscaya akan Kami tambahkan (nikmat) untukmu.” Namun benarkah demikian?

Ibn Katsir menyodorkan kisah nyata implementasi ayat di atas: diriwayatkan oleh Imam Ahmad ada seorang pengemis yang diberi sebutir kurma oleh Nabi, namun pengemis tersebut menolak karena merasa pemberian itu hanya sebutir biji kurma. Datang pengemis lain, Nabi berikan sebutir biji kurma. Terdengar ucapan terima kasih dan rasa syukur mendapat pemberian dari Nabi meski hanya sebutir kurma. Mendengar rasa syukur pengemis kedua ini, maka Nabi tambahkan 40 dirham untuknya.

Orang yang bersyukur adalah orang yang tahu berterima kasih. Bukan sekedar banyak atau sedikitnya rejeki yang kita peroleh, tapi renungkan sejenak: yang memberi kita rejeki itu adalah Sang Maha Agung. Ini saja sudah pantas membuat kita bersyukur karena sedikit atau banyak kita masih diperhatikan dan diberi rejeki oleh Allah swt. Alhamdulillah

Orang yang bersyukur akan jauh lebih produktif. Kenapa?

Karena mereka tahu memanfaatkan resources dan peluang yang ada. Orang yang selalu mengeluh akan menghabiskan waktunya menyesali diri. Berlama-lama dalam nestapa membuat kita tidak siap menangkap peluang berikutnya. Orang yang bersyukur akan memanfaatlkan apa yang dimiliki saat ini, sekecil apapun itu, sebagai bekal untuk terus maju.

Orang yang bersyukur itu lebih bahagia dan optimis. Sementara orang yang pesimis akan sibuk meratapi kegagalan dan nyinyir akan kesuksesan orang lain, orang yang pandai bersyukur emosinya akan lebih stabil, sigap mencari solusi, melokalisir persoalan bukan melebarkannya kemana-mana, dan taktis mengatur strategi. Dengan segala keterbatasannya, orang yang bersyukur akan membuat skala prioritas.

Siapapun tidak akan suka dengan orang yang selalu mengeluh, dan kalau dia punya problem seolah hanya dia satu-satunya di dunia orang yang punya masalah, dan semua orang harus memperhatikan masalahnya. Orang seperti ini tidak akan produktif berkarya, dan tidak akan bertambah nikmat dari Allah. Ayat di atas itu sangat nyata dan membumi.

Allah berfirman dalam QS al-baqarah: 152

“Ingatlah kepadaKu, niscaya Aku ingat kepadamu, bersyukurlah kepadaKu, dan jangan kufur (dari nikmatKu).”

Ayat ini begitu padat-bergizi menggabungkan tiga konsep sekaligus: dzikir, syukur dan kufur. Mengingat Allah (berdzikir) akan membawa kita kepada rasa syukur, sebaliknya orang yang lalai dari mengingat Allah, dimana setiap punya masalah dia menjadi kufur nikmat. Dia jadi lupa akan berbagai nikmat yang sudah Allah berikan sebelumnya.

Konsep syukur yang begitu dahsyat di atas, sayangnya begitu tiba ditengah-tengah kita menjadi dipalingkan maknanya. “Syukurin loe!” walhasil kata “syukur” berubah menjadi negatif, seolah bersyukur itu sama dengan mengejek kegagalan orang lain. Kita seolah mensyukuri kegagalan orang lain.

Mungkin ini sebabnya kita sulit menjadi bangsa yang maju karena kita keliru menerapkan makna syukur.

 

Tabik,

Nadirsyah Hosen,  Rais Syuriah PCI Nahdlatul Ulama Australia-New Zealand dan dosen senior Monash Law School