Bagaimana seharusnya menjelaskan karakteristik NU sebagai salah satu gerakan Islam tradisional? Benarkah orientasi di kalangan tradisional NU lebih tampak terbelakang dan cenderung menyukai kemapanan dalam pemahami masyarakat dan khazanah pemikiran Islam? Lantas, apakah kalangan tradisionalis ini menolak modernitas dan cara berpikir rasional dalam memahami kehidupan?
Menurut Gus Dur (1997), para tradisionalis ini sering dituduh mengabaikan masalah duniawi dalam praktik ritual mistik Islam. Aktivitas mereka dalam perkumpulan tarekat tampak abai terhadap kehidupan duniawi; sebaliknya, mereka hanya berorientasi pada kehabagiaan di akhirat kelak. Dengan pandangan dunia tersebut, para tradisionalis ini sering dicap sebagai kelompok yang pasif dan acuh terhadap tantangan dan dinamika modernitas.
Selain itu, ada pula yang beranggapan bahwa keteguhan kalangan tradisonalis NU dalam memegang prinsip hukum Islam yang ortodok, seperti mengikuti aliran Sunni atau aliran-aliran hukum Islam yang lainnya, telah mengantarkan NU pada penolakan yang keras terhadap modernitas. Yang lebih memprihatinkan, kelompok tradisonalis NU juga dianggap menganut paham fatalistik dengan menyerahkan segala urusan pada kehendak Tuhan dan tidak menerima pandangan tentang kebebasan manusia.
Tampaknya, tuduhan-tuduhan di atas salah alamat dan cenderung melihat NU secara parsial, serta tidak memahami basis gerakan kultural NU yang begitu kompleks, seperti bagaimana kalangan tradisionalis ini menyerap dan berhubungan dengan perubahan sosial dan kemampuan mereka dalam menyesuaikan diri terhadap berbagai bidang kehidupan.
Harus diakui bahwa gerakan tradisional NU sangat berseberangan dengan kekakuan yang terdapat dalam pemikiran dan gerakan purifikasi dalam dunia Islam. Ajaran dan amaliah NU justru menunjukkan kelenturan, sebagaimana ajaran Sunni yang menjadi pegangan kalangan tradisionalis dengan menunjukkan kedalaman pemahaman NU dalam mempertahankan tradisi yang dimilikinya ketika berhadapan dengan berbagai perubahan.
Salah satu alasan mengapa kalangan tradisionalis NU ini dianggap terbelakang adalah karena kurangnya perhatian yang serius terhadap NU. Padahal, bila kita mencermati dengan seksama, NU memiliki peranan yang siginifikan dan tidak bisa diabaikan dalam berbagai perubahan sosial dan politik di negeri ini.
Meski saat ini studi tentang NU telah melimpah, khususnya terkait dengan persentuhan NU dengan modernitas, tetapi dalam berbagai hal NU tetap dianggap terlalu menggaungkan watak tradisionalnya dalam menyikapi realitas.
Konteks modernitas atau modernisme dalam pengertian di sini bukanlah suatu mazhab pemikiran mutakhir yang bersifat paten atau tetap yang sangat kental dengan nuansa kemajuan. Dalam ilmu sosial sendiri, wacana tentang modernisme telah begitu berkembang dan banyak mengalami pergeseran makna, terutama menyangkut gagasan utama modernisme yang sepaket dengan tujuan-tujuannya.
Sekarang ini, gagasan modernisme tak lagi mewah dan dipuja layaknya Tuhan yang dapat menyelamatkan umat manusia dari keterbelakangan. Para filosof yang membangkitkan semangat modernisme pun sudah tidak lagi dianggap juru selamat manusia. Pandangan semacam ini muncul lantaran modernisme gagal mewujudkan cita-cita ideal kemajuan. Mahalan, modernisme justru banyak melahirkan bencana yang memilukan. Dengan kata lain, modernisme tak lagi menjadi primadona dalam memberikan solusi bagi dunia dan umat manusia.
Di samping itu, bila ada yang beranggapan bahwa tradisionalisme mewakili suatu kemuduran di dalam komunitas masyarakat, maka ada pula yang beranggapan bahwa tradisionalisme tak lagi identik dengan kekolotan, kaku, konservatif dan dekaden. Karenanya, para penganut setia jalan tradisionalis sudah tidak lagi dianggap sebagai penghambat kemajuan. Pada sisi inilah, kita selayaknya melihat NU sebagai gerakan Islam tradisional, bahwa mereka tidak benar-benar tradisionalis dalam arti dekaden.
Jalinan kuat antara NU sebagai lembaga tradisional dan modernisasi sebagai watak gerakan zaman tampak terlihat ketika Muktamar NU tahun 1984, yakni ketika para pembesar NU membahas masalah apakah NU harus menerima Pancasila sebagai basis bernegara atau menjadikan Islam sebagai asas tunggal. Ketika terjalin kesepakatan bahwa Pancasila tidak bertentangan dengan Islam, maka mereka menyimpulkan bahwa ideologi Pancasila sangat layak dijadikan ideologi negara.
Pada titik ini, kesepakatan dan kesepahaman antar ulama dalam menjembatani antara Islam dan negara sudah sangat modern dan progresif. Mereka lalu menempatkan Islam pada tataran keyakinan. Harus diakui juga bahwa keputusan ini terbilang sangat unik dan justru menunjukkan bahwa cara pandang NU terhadap perubahan zaman, khususnya dalam konteks ideologi politik, sangat modern dan maju.
Dalam perkembangannya, NU secara terus-menerus telah mengidentifikasi dirinya sendiri-melalui para anggotanya-untuk selalu mentransformasikan gagasan-gagasan reformatif dan progresif dalam perkembangan zaman, khususnya dalam konteks keindonesiaan. Akhirnya NU dianggap sebagai organisasi dan gerakan Islam tradisionalis yang tidak serta-merta menerima pandangan yang taken for granted.
Dengan demikian, kalangan tradisionalis NU sama sekali tidak bertentangan dengan kecenderungan modernitas, keduanya tidak hanya menjalin komunikasi yang baik, tetapi ada semacam saling keterbukaan antara keduanya untuk membentuk identitas baru sebagai bagian dari jalan tengah NU dalam menyikapi perkembangan zaman. Modernisasi dalam pengertian demokrasi, pluralitas, dan hak asasi manusia, menjadi sesuatu yang diterima oleh kalangan tradisionalis ini tanpa meninggalkan identitas mereka secara moral.
Kita juga perlu memahami bahwa peranan NU di negeri ini tidaklah sedikit. Mereka telah banyak membawa perubahan-perubahan yang dinamis dalam sikapnya terhadap dunia, khususnya di kalangan umat Islam. Pendek kata, mereka mudah beradaptasi dengan berbagai tantangan modern dan sekaligus merumuskan nilai-nilai instrumental dalam menghadapi tentangan zaman.
Sementara itu, belakangan ini tampak ada sekelompok muslim anti Pancasila yang ingin menformalkan ajaran-ajaran Islam ke dalam kehidupan nasional atau menjadikan Islam sebagai basis ideologi negara, baik dalam konteks peraturan perundang-undangan atau mengganti sistem haluan negara. Mereka mendorong adanya “Islamisasi negara” dengan secara terang-terangan menuduh kalangan tradisionalis tidak setia pada Islam atau malah meninggalkan Islam.
Dapat dikatakan bahwa kelompok muslim yang anti Pancasila ini sesungguhnya telah terjebak pada tradisionalisme kaku yang konservatif, gaya ortodoksi mereka justru mengakibatkan keterbelakangan dan tidak mampu menghadapi tantangan zaman. Akibatnya, Islam berubah menjadi semacam ideologi politik yang begitu menakutkan bagi sebagian besar umat Islam.
Berbeda dengan NU, kalangan tradisionalis ini justru menunjukkan kemampuannya untuk merespons perubahan-perubahan modernisasi yang secara langsung maupun tidak, bertitik tolak pada ajaran inti NU dalam menahan derasnya pengaruh modernisme murni ala Barat. Dalam hal ini, penerimaan NU terhadap modernitas bukan berarti hanya setengah-setengah, justru sikap penerimaan yang hati-hati inilah yang membuat NU dapat mendialogkan antara gagasan tradisioanalis dan modernis dengan menghilangkan pandangan-pandangan yang telah usah dan keliru.
Rohmatul Izad. Alumni Pascasarjana Ilmu Filsafat UGM dan Ketua Pusat Studi Islam Pesantren Baitul Hikmah Krapyak Yogyakarta.