Nabi Muhammad SAW menganjurkan umatnya untuk ziarah kubur karena beberapa tujuan, di antaranya agar manusia mengingat akhirat dan menjadikannya agar tidak tergila-gila dengan dunia. Karena pada hakikatnya, harta dan jabatan tidak akan dibawa mati. Yang dibawa hanyalah amal kebaikan semata. Dari sini pentingnya untuk ziarah kubur lebih-lebih kepada orang tua yang telah mendahuluinya.
Di masyarakat kita sering kita temui pertanyaan-pertanyaan seputar orang yang telah meninggal, apakah orang yang telah meninggal mendengar atau mengetahui orang yang menziarahinya?
Syekh Husen bin Ibrahim al-Magrabi dalam Kitab Qurratul Ain bi Fatawa Ulama al-haramain mengutip pendapat Izzuddin bin Abdussalam yang bunyinya sebagai berikut:
ﻗﺎﻝ اﻟﺸﻴﺦ ﻋﺰ اﻟﺪﻳﻦ ﺑﻦ ﻋﺒﺪ اﻟﺴﻼﻡ: اﻟﻈﺎﻫﺮ ﺃﻥ اﻟﻤﻴﺖ ﻳﻌﺮﻑ ﺯاﺋﺮﻩ، ﻷﻧﺎ ﺃﻣﺮﻧﺎ ﺑﺎﻟﺴﻼﻡ ﻋﻠﻴﻪ، ﻭاﻟﺸﺮﻉ ﻻ ﻳﺄﻣﺮ ﺑﺨﻄﺎﺏ ﻣﻦ ﻻ ﻳﺴﻤﻊ، ﻭﻟﻤﺎ ﻭﻓﺪ ﺭﺳﻮﻝ اﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ اﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻗﻠﻴﺐ ﺑﺪﺭ ﻗﺎﻝ: “ﻣﺎ ﺃﻧﺘﻢ ﺑﺄﺳﻤﻊ ﻣﻨﻬﻢ ﻟﻤﺎ ﺃﻗﻮﻝ” ﻭﻗﺪ ﺫﻫﺐ ﺑﻌﺾ اﻟﻌﻠﻤﺎء ﺇﻟﻰ ﺃﻥ ﺃﺭﻭاﺡ اﻟﻤﻮﺗﻰ ﺑﺄﻓﻨﻴﺔ اﻟﻘﺒﻮﺭ ﻭاﻟﻮﻗﻮﻑ ﻋﻨﺪ ﺭﺃﺱ اﻟﻤﻴﺖ ﻭاﻻﺳﺘﻐﻔﺎﺭ ﻟﻪ ﻣﺸﺮﻭﻉ
Syekh Izzuddin bin Abdussalam berkata, pendapat yang Jelas menyatakan bahwa mayat mengetahui orang yang menziarahinya. Alasannya, kami diperintahkan untuk mengucapkan salam kepada ahli kubur. Padahal Syariat Islam tak menganjurkan untuk berbicara dengan orang yang sudah tidak mendengar. Ketika Rasulullah menziarahi kuburan sahabat yang tewas saat perang badar, beliau berkata, “Tidaklah kalian lebih mendengar dari mereka apa yang aku ucapkan.” Dari penjelasan ini sebagian ulama berpendapat ruh-ruh ahli kubur walau sudah terkubur, kita masih dianjurkan untuk mendoakan dan memintakan ampunan untuk mereka terutama saat di sisi makamnya.
Dari penjelasan ini dapat dipahami bahwa orang yang yang telah meninggal dunia mengetahui orang yang menziarahinya terbukti saat berziarah dianjurkan mengucapkan salam kepada mereka, walaupun kita tak pernah mendengar jawaban dari mereka. Seumpama terdengar jawaban mereka niscaya kita akan lari terbirit-birit karena akan kaget keheranan.