Salah satu permasalahan yang selalu muncul dalam diskursus pemikiran Islam, khusus hukum Islam adalah terkait dengan penggunaan jilbab. Jilbab di sini yang dimaksud jika dikaitkan dengan fenomena yang terjadi dalam masyarakat muslim Indonesia adalah kerudung, yaitu penutup kepala bagi seorang perempuan muslimah.
Tentu saja jika membahas hal ini, tidak bisa lepas dari seputar pembahasan terkait dengan batasan-batasan aurat yang wajib ditutupi bagi seorang perempuan. Di mana, terkait batasan-batasan aurat perempuan para ulama mempunyai pendapat yang beragam, bahkan berbeda satu sama lainnya. Begitu juga terkait dengan pemaknaan ayat yang menjelaskan tentang jilbab yaitu Al-Ahzab ayat 59, terdapat perbedaan antara satu ulama dengan ulama yang lainnya. Di mana perbedaan tersebut juga didasari dengan argumentasi keilmuan, sehingga untuk membantahnya juga dengan etika keilmuan.
Namun tulisan ini tidak akan membahas terkait perbedaan penafsiran para ulama terkait hal tersebut, karena sudah banyak sekali yang membahasnya. Di mana jika dilihat, titik perbedaan yang terjadi antara para ulama adalah terkait dengan batasan aurat perempuan. Yang kemudian berimplikasi pada hukum penggunaan pakaian yang digunakan untuk menutupi aurat perempuan tersebut atau dalam istilah yang banyak digunakan yaitu jilbab.
Cakupan yang begitu luas terkait jilbab inilah, yang kemudian menjadi bahan perdebatan, diskusi, hingga tolok ukur dalam menilai keimanan dan keislaman seseorang. Permasalahan tentang jilbab ini, khususnya di Indonesia akhir-akhir ini kembali mencuat setelah Ibu Shinta Nuriyah istri almarhum KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) menyatakan bahwa jilbab tidak wajib bagi seorang muslimah.
Jika dilihat pernyataannya di video yang ada dalam channel youtube Dedy Corbuzer, jilbab yang dimaksud oleh istri Gus Dur tersebut adalah penutup kepala bagi seorang muslimah (kerudung). Sehingga untuk membahas hukum terkait hal tersebut, perlu disepakati terlebih dahulu tentang batasan-batasan aurat dalam diri perempuan. Terkait hal ini, yang hukumnya wajib adalah menutup aurat. Sedangkan batasan-batasan aurat tersebut, banyak ragam perbedaan antar para ulama. Begitu juga pakaian untuk menutupinya, juga banyak macamnya.
Walaupun bukan masalah legal formal tentang wajib atau tidaknya jilbab bagi perempuan muslim, namun pada realitanya aturan wajib inilah yang mendasari berbagai persepsi di dalam masyarakat dan juga mengkonstruksi menjadi sebuah symbol keimanan dan keislaman seorang perempuan. Sehingga yang muncul kemudian adalah anggapan bahwa muslimah yang tidak menggunakan jilbab itu belum menjalankan agama secara benar, atau keislamannya dan keimanannya diragukan karena tidak menggunakan jilbab (bahasa ekstrimya tidak taat kepada perintah agama). Sehingga jilbab kemudian menjadi symbol religious atau tidaknya dalam diri seorang perempuan muslim.
Akan tetapi, penggunaan jilbab sebagai tolok ukur keimanan dan keislaman seorang perempuan muslim dalam realitanya tidak seideal dan seanggun apa yang digambarkan dan dikonstruksikan sebagai seorang muslimah yang taat.
Jika kita flashback ke belakang misalnya, pada tahun 2018 M ketika terjadi bom di Surabaya yang dilakukan oleh satu keluarga, di mana sang perempuan menggunakan jilbab. Tentu jika penggunaan jilbab dijadikan tolok ukur keimanan dan keislaman seseorang, masak iya orang Islam yang beriman tega membunuh sesamanya. Dan tentu saja banyak berbagai kasus lainnya, mulai dari yang korupsi dan lain sebagainya yang melibatkan perempuan berjilbab. Di sisi lain, banyak juga perempuan muslim yang berjilbab mempunyai akhlak dan perbuatan yang baik, serta berbagai prestasi yang menakjubkan.
Begitu juga dengan perempuan muslim yang tidak menggunakan jilbab, mereka bukan berarti seorang muslimah yang tidak taat atau tidak beriman. Karena mengukur keislaman dan keimanan seseorang tidak bisa dilihat dari tampilan luarnya saja, bisa jadi mereka yang tidak berjilbab banyak beribadah dan memohon ampunan kepada sang pencipta. Di sisi lain, perempuan muslim yang tidak berjilbab juga banyak yang sebagaimana diungkapkan oleh sebagian kalangan. Dalam artian, kita tidak bisa memukul rata untuk menilai sebuah sesuatu apalagi hanya dari tampilan luarnya saja.
Sehingga pakaian atau tampilan luar, baik itu perempuan yang berjilbab ataupun perempuan yang tidak berjilbab tidak bisa menjadi tolok ukur untuk menilai keislaman dan keimanan seorang perempuan. Adapun jika permasalahan ini kemudian ditarik ke sebuah pembahasan bahwa perempuan yang tidak berjilbab akan mengundang hawa nafsu laki-laki untuk berbuat perbuatan tercela kepada perempuan, maka hal tersebut dikembalikan ke pribadi masing-masing. Karena lelaki yang baik tentu selalu menjaga akhlaknya dan hawa nafsunya, begitu juga dengan perempuan yang baik.
Oleh karena itulah, jilbab tidak bisa dijadikan sebagai tolok ukur menilai keislaman dan keimanan seorang perempuan. Karena pola penggunaan jilbab itu fleksibel yaitu sesuai kebutuhan dan kenyaman dalam diri perempuan masing-masing. Adapun persoalan modelnya juga tergantung, karena itu bagian dari seni dan lifestyle serta kebutuhan pribadi masing-masing. Sebab di setiap zaman dan tempat mempunyai budaya dan tradisi yang berbeda-beda, sehingga setiap orang punya cara tersendiri untuk menutup auratnya. Dan yang penting untuk diutarakan bahwasanya menutup aurat bagi perempuan itu wajib.