Benarkah Jenazah Orang Musyrik Tak Perlu Dikuburkan?

Benarkah Jenazah Orang Musyrik Tak Perlu Dikuburkan?

Benarkah Jenazah Orang Musyrik Tak Perlu Dikuburkan?

Mungkin Anda pernah melihat aksi kekerasan kelompok Islamic State atau yang menyebut kelompoknya dengan Daulah Islamiyyah yang disebarkan di media sosial di internet. Aksi kekerasan mereka bukan hanya dilakukan kepada orang yang masih hidup, akan tetapi juga terhadap orang yang sudah mati. Mereka beranggapan bahwa pelaku syirik atau musyrik, terutama syirik akbar, seperti menyekutukan Allah, itu jenazahnya tidak perlu dimuliakan.

“Pelaku syirik akbar itu kalau mati tidak perlu dimandikan, dikafani, ataupun dikuburkan. Buang saja ke laut, puncak gunung, atau tempat terpencil lainnya, karena orang musyrik itu najis,” kurang lebih begitu doktrin yang diajarkan kelompok mereka. Karena itu, tidak heran jika kita melihat di media sosial, kepala jasad orang yang sudah meninggal di wilayah Islamic State itu ditendang-tendang bagaikan bola. Doktrin di atas didasarkan pada firman Allah berikut:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّمَا الْمُشْرِكُونَ نَجَسٌ

Wahai orang-orang Mukmin, sesungguhnya jiwa orang-orang musyrik itu, akibat kesyirikan mereka, adalah najis, dan akidah mereka pun sesat. …. (QS at-Taubah (9); 28)

Ayat ini turun berkaitan dengan larangan kepada orang musyrik untuk memasuki Masjidil Haram. Menurut Thahir bin ‘Asyur dalam at-Tahrir wa at-Tanwir, pelarangan tersebut berlaku sejak tahun sembilan hijriah. Setelah tahun sembilan hijriah itu, orang-orang musyrik tidak diperbolehkan melakukan ritual haji atau memasuki wilayah Masjidil Haram. Namun demikian, orang musyrik tidak dilarang memasuki masjid manapun. Imam al-Syafi’i dalam al-Um berpendapat bahwa orang musyrik diperbolehkan memasuki masjid manapun selain Masjidil Haram. Imam al-Syafi’i memperkuat pendapatnya tersebut dengan riwayat berikut:

عَنْ عُثْمَانَ بْنِ أَبِي سُلَيْمَانَ أَنَّ مُشْرِكِي قُرَيْشٍ حِينَ أَتَوْا الْمَدِينَةَ فِي فِدَاءِ أَسْرَاهُمْ كَانُوا يَبِيتُونَ فِي الْمَسْجِدِ. مِنْهُمْ جُبَيْرُ بْنُ مُطْعِمٍ، قَالَ جُبَيْرٌ: فَكُنْت أَسْمَعُ قِرَاءَةَ النَّبِيِّ  صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

Diriwayatkan dari Ustman bin Abi Sulaiman bahwa saat musyrik Quraisy ingin menebus tawanan perang dari kalangan mereka yang berada di bawah kekuasaan umat Muslim di Madinah, mereka menginap di masjid. Sebelum masuk Islam, Jubair bin Muth’im pun termasuk dalam rombongan tersebut. Kata Jubair, “Aku sampai mendengar bacaan Alquran Nabi Saw.”

Sementara itu, Imam at-Thabari menyebutkan beberapa riwayat, yang dimaksud najis dalam ayat tersebut adalah najis secara lahiriah. Kenajisan tersebut dikarenakan orang musyrik itu pasti junub. Pendapat ini disampaikan oleh Qatadah dan Ma’mar. Bahkan ada yang berpendapat, bila memegang orang musyrik maka wajib wudhu. Bukankah najis dan junub itu dua hal yang berbeda? Apabila kita terkena najis maka kita diwajibkan membersihkan najis tersebut hingga hilang, dan apabila kita junub kita diperintahkan untuk mandi.

Bagaimana mungkin kemusyrikan itu najis secara lahiriah, sementara Nabi sendiri menerima orang musyrik Quraisy masuk ke dalam masjid? Bukankah mengotori masjid itu tidak diperbolehkan? Oleh karena itu, pendapat ini dibantah oleh pendapat lain. Di antaranya pendapat Ibnu ‘Abbas yang mengatakan bahwa najis yang dimaksud di dalam ayat tersebut adalah kemusyrikan itu sendiri, sehingga ketika orang musyrik masuk Islam, dia diwajibkan untuk mandi sebagai simbol dari kesucian akidahnya, bukan karena najis secara lahiriah.

Dari penjelasan di atas tentu kita dapat menyimpulkan bahwa ayat di atas tidak berkaitan sama sekali dengan cara penguburan orang musyrik dengan cara tidak dimuliakan, yaitu dibuang ke laut, atas gunung, atau ke hutan. Selain itu, banyak riwayat yang menyebutkan bahwa memandikan, mengkafani, dan menguburkan orang di luar agama Islam itu diperbolehkan, apalagi masih kerabat sendiri. Yang tidak boleh itu hanya mensalatkannya saja.

Imam al-Baihaqi dalam as-Sunan al-Kubra mencantumkan pendapat Ibnu ‘Abbas mengenai bolehnya memandikan, mengkafani, memberi minyak wangi, dan menguburkan orang musyrik atau non-Muslim sebagaimana dalam riwayat berikut:

عَنْ سَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ قَالَ: جَاءَ رَجُلٌ إِلَى ابْنِ عَبَّاسٍ، فَقَالَ: إِنَّ أَبِي مَاتَ نَصْرَانِيًّا، فَقَالَ: ” اغْسِلْهُ، وَكَفِّنْهِ، وَحَنِّطْهُ، ثُمَّ ادْفِنْهُ

Diriwayatkan dari Sa’id bin Jubair yang menceritakan bahwa ada seorang lelaki datang bertanya pada Ibnu ‘Abbas, “Bapakku meninggal dalam keadaan Nasrani?” “Mandikan, kafankan, beri minyak wangi, dan kuburlah dia,” jawab Ibnu ‘Abbas.

Atsar dari Ibnu ‘Abbas ini menunjukkan tentang kebolehan memuliakan jenazah orang yang tidak beragama Islam. Jika ada pendapat yang lebih manusiawi terkait mengurusi jenazah, mengapa kita memilih pendapat yang tidak manusiawi bukan?!