Benarkah Janda Tidak Perlu Wali untuk Menikah? Catatan untuk Ustadz Evie Effendi

Benarkah Janda Tidak Perlu Wali untuk Menikah? Catatan untuk Ustadz Evie Effendi

Benarkah Janda Tidak Perlu Wali untuk Menikah? Catatan untuk Ustadz Evie Effendi
Evie Effendi berpose di pelataran Masjid Al Ukhuwah, Bandung, Senin (25/6/2018) Beritagar.id / Aditya Herlambang

Belakangan ini viral petikan ceramah seorang dai yang sering tampil di televisi yang menyebutkan bahwa hadis laa nikaaha illa bi waliyyin itu tidak qath’i dan keutamaannya adalah seorang janda menikahkan dirinya yang penting ada saksi.

Tentu saja bagi umat muslim Indonesia yang mayoritas bermadzhab Syafi’i, ceramah tersebut mengundang kontroversi apalagi diselingi guyonan –yang bagi penulis tidak lucu- bahwa janda mau nikah tidak perlu wali karena walikota sedang nyalon.

Dalam pemaparan kali ini, penulis akan menitikberatkan persoalan pada apakah hadis laa nikaaha illa bi waliyyin itu benar tidak qath’i? Benarkah bahwa keutamaannya janda nikah tidak perlu wali dan bagaimana sebenarnya para imam madzhab berpendapat tentang status nikahnya janda tanpa wali.

Status Hadis laa nikaaha illa bi waliyyin

Sebenarnya, yang lazim dalam ilmu hadis adalah istilah seperti hasan, sahih, dhaif, dan lain sebagainya. Istilah qath’i agaknya kurang pas bila disematkan pada status hadis. Hal ini mengingat bahwa yang dimaksudkan sebagai qath’i ialah dilalah (penunjukan makna sebuah dalil) yang memiliki makna tunggal sehingga tidak memiliki celah penafsiran berbeda, seperti misalkan dalil hadis Nabi SAW: “Salatlah kalian semua sebagaimana kalian melihat aku salat”.

Penunjukan makna hadis tersebut tidak memiliki ruang penafsiran berbeda karena berupa perintah yang mutlak dan tidak ada dalil lain yang membantahnya. Berbeda misalnya dengan dalil iddahnya wanita yang dicerai suaminya selama tsalatsata quru’.

Kata quru’ dalam dalil tersebut ambigu, bisa ke makna suci, bisa juga ke makna haidl, oleh karena itu dalil tersebut membuka ruang penafsiran yang berbeda.

Kembali lagi kepada persoalan hadis laa nikaaha illa bi waliyyin di atas, secara ilmu hadis, hadis tersebut digolongkan sebagai hadis sahih yang tercantum dalam beberapa kitab kumpulan hadis sahih seperti musnad Ibnu Hanbal, Sunan Ibnu Majah, Sunan Turmudzi dan lainnya. Sebagaimana kita tahu, hadis sahih, sangat bisa dijadikan sebagai rujukan hukum.

Benarkah Janda Lebih Utama Menikah Tanpa Wali?

Jika melihat pada bab nikah di kitab-kitab fikih, bisa kita pahami bahwa ada perbedaan antara wanita perawan dengan janda dalam bab nikah, yakni diamnya perawan merupakan tanda persetujuan dan seorang wali berhak memaksa dia menikah dengan lelaki yang setara dengannya, sedangkan seorang janda, ia berhak bersuara dalam urusan pernikahannya dan seorang wali tidak boleh memaksakan pernikahannya. Namun apakah berarti lebih utama bagi janda untuk menikah tanpa wali?

Barangkali, hanya barangkali, sang dai dalam persoalan ini mengutip sebuah hadis yang tertera dalam kitab al-Muaththa’ karya Imam Malik riwayat Muhammad bin Hasan Asy-Sayibani, hal. 177:

أَخْبَرَنَا مَالِكٌ، أَخْبَرَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ الْقَاسِمِ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ، وَمُجَمِّعٍ ابْنَيْ يَزِيدَ بْنِ جَارِيَةَ الأَنْصَارِيِّ، عَنْ خَنْسَاءَ ابْنَةِ خِذَامٍ، أَنَّ «أَبَاهَا زَوَّجَهَا وَهِيَ ثَيِّبٌ، فَكَرِهَتْ ذَلِكَ، فَجَاءَتْ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَرَدَّ نِكَاحَهُ» ، قَالَ مُحَمَّدٌ: لا يَنْبَغِي أَنْ تُنْكَحَ الثَّيِّبُ، وَلا الْبِكْرُ إِذَا بَلَغَتْ إِلا بِإِذْنِهِمَا فَأَمَّا إِذْنُ الْبِكْرِ فَصَمْتُهَا، وَأَمَّا إِذْنُ الثَّيِّبِ فَرِضَاهَا بِلِسَانِهَا، زَوَّجَهَا وَالِدُهَا أَوْ غَيْرُهُ، وَهُوَ قَوْلُ أَبِي حَنِيفَةَ وَالْعَامَّةِ مِنْ فُقَهَائِنَا

Artinya:

“Bercerita padaku Malik, bercerita padaku Abdurrahman bin Qasim, dari Ayahnya, dari Abdurrahman, dan Mujammi’ Putra Yazid bin Jariyah al-Anshari, dari Hunsa putri Khidam: “Bahwasanya ayahnya menikahkannya saat janda, ia tidak suka akan hal itu, maka datanglah Nabi SAW, kemudian beliau membatalkan pernikahannya”. Muhammad berkata: “Tidak layak menikahkan janda, juga perawan jika sudah baligh kecuali atas seizin mereka. Adapun izinnya perawan adalah diamnya, dan izinnya janda menggunakan lisannya, yang menikahkannya adalah orangtuanya atau (wali) yang lainnya. Demikianlah pendapat Abu Hanifah dan Kebanyakan ulama kita (Madzhab Maliki).

Dari pemaparan diatas bisa kita ketahui bahwa memang Nabi pernah membatalkan pernikahan seorang janda yang dinikahkan oleh ayahnya. Namun harus diingat bahwa pembatalan tersebut akibat adanya tidakan pemaksaan dari ayah tanpa seizin janda tersebut. Bukan berarti yang utama adalah dia menikah tanpa wali.

Bagaimana Pendapat Para Imam Madzhab Tentang Pernikahan Janda tanpa Wali?

Dalam kitab Al-Fiqhu ‘ala Madzahibul Arba’ah juz IV, hal. 46 disebutkan:

قد عرفت مما ذكرناه أن الشافعية والمالكية اصطلحوا على عد الولي ركنا من أركان النكاح لا يتحقق عقد النكاح بدونه واصطلح الحنابلة و الحنفية على عده شرطا لا ركنا وقصروا الركن على الإيجاب والقبول إلا أن الحنفية قالوا : أنه شرط لصحة زواج الصغير والصغيرة والمجنون والمجنونة ولو كبارا أما البالغة العاقلة سواء كانت بكرا أو ثيبا فليس لأحد عليها ولاية النكاح بل لها أن تباشر عقد زواجها ممن تحب بشرط أن يكون كفأ وإلا كان للولي حق الاعتراض وفسخ العقد

Artinya:

“Telah engkau ketahui dari penjelasan kami bahwa kalangan Syafi’iyyah dan Malikiyyah mengartikan keberadaan seorang wali dalam pernikahan merupakan bagian dari rukun-rukun nikah dalam arti tidak akan terjadi pernikahan tanpa seorang wali, sedangkan kalangan Hanabilah dan Hanafiyyah mengartikan keberadaan seorang wali dalam pernikahan menjadi syarat dalam pernikahan sedang rukun nikah hanya sebatas ‘ijab dan qabul’, kalangan Hanafiyyah menilai wali menjadi syarat sahnya pernikahan seorang bocah laki-laki ataupun perempuan dan orang gila laki-laki ataupun perempuan meskipun ia telah dewasa. Sedang untuk wanita dewasa yang normal akalnya baik masih gadis ataupun janda maka tidak ada seorangpun berhak menjadi perwalian atas nikahnya, dia bisa menjalani pernikahan dengan lelaki yang ia cintai bila memang sepadan dengannya. Bila tidak, seorang wali berhak menentang dan menfasakh (merusak) pernikahannya”.

Dari pemaparan di atas bisa kita pahami bahwa menurut yang memperbolehkan pernikahan janda tanpa wali ialah madzhab Hanafiyyah, mengingat madzhab tersebut tidak menjadikan keberadaan wali sebagai rukun nikah. Namun demikian, bukan berarti wali tidak terlibat sama sekali dalam hal ini, terbukti bahwa wali bisa menggagalkan pernikahan tersebut jika sang janda menikah dengan lelaki yang tidak setara dengannya.

Demikian, semoga bermanfaat dan bisa menjadi bahan pembelajaran kita bersama. Wallahu a’lam bi shawab.