Banyaknya konflik yang diakibatkan oleh sentimen keagamaan menjadikan kesadaran keberagaman semakin berkurang. Salah satu penyebabnya ialah banyaknya kelompok-kelompok agama yang dengan mudah melarang tindakan orang lain yang tidak sesuai dengan harapan mereka. Terlebih lagi, adanya tindakan mengkafirkan satu sama lain membuat pihak lain merasa teraganggu dengan adanya anggapan semacam itu.
Dari permasalahan inilah urgensi membahas pluralisme sebagai suatu disiplin ilmu yang menegaskan bahwa tidak ada klaim kebenaran satu agama. Pluralisme, sebagaimana yang dikaji oleh para ahli, memilki akar sejarah yang cukup panjang dalam agama Kristen dan dari sinilah para pemikir muslim juga ikut andil dalam merumuskan pluralisme, terutama dalam Islam sendiri.
Dalam Islam, pembahasan pluralisme agama sangat penting guna memperoleh kejelasan apakah Islam itu memiliki pandangan tentang agama lain, dan cara Islam bernegoisasi dengan agama lain itu seperti apa. Mengingat bahwa Al-Qur’an dan sunnah Nabi adalah sebagai sumber utama, maka akan ditunjukkan beberapa ayat dan sunnah Nabi mengenai pluralisme, dengan kata lain pendekatan yang digunakan secara normatif dan historis.
Secara umum, surat Al-Qur’an yang biasanya dipakai untuk melihat bahwa Islam itu mau hidup dengan agama lain ialah pada surat Al-Kafirun, lakum dinukum waliyadin, kurang lebih artinya bagimu agamamu, bagiku agamaku. Dari ayat ini, Islam mengakui keberadaan agama lain. Pengakuan keberadaan agama lain tidak cukup untuk bersikap toleransi, pengakuan ini juga harus didasarkan pada pemahaman tentang agama lain. Dengan adanya saling memahami antar agama, menurut Gus Dur, maka keberagaman bisa diterima tanpa ada perbedaan.
Budhy Munawwar Rahman, dalam bukunya Reorientasi Pembaruan Islam menyatakan, bahwa pengertian pluralisme ialah keterlibatan aktif dalam keragaman dan perbedaannya untuk membangun peradaban bersama. Kedua, pluralisme dengan pengertian itu berarti mengandaikan penerimaan toleransi aktif terhadap yang lain. Ketiga, berdasarkan pengertian kedua, maka pluralisme bukan relativisme.
Dasar teologis dalam Islam tentang pluralisme ialah, bahwa Islam adalah penerus agama (millah) Ibrahim, konsekuensinya umat muslim harus menerima agama Nasrani dan Yahudi, dan perlunya menjalin hubungan baik dengan kedua agama tersebut. Hal ini didukung oleh doktrin dalam Islam yang menyatakan bahwa umat muslim mengimani semua nabi terdahulu yang diutus oleh Tuhan kepada umatnya, sebagaimana dicantumkan dalam (QS. 17:15). Al-Qur’an sendiri menganjurkan untuk hidup berdampingan secara damai dengan agama lain (QS. 109:1-6), melindungi tempat ibadat semua agama (QS. 22:40), bertindak adil terhadap non-muslim (QS. 60:80).
Al-Qur’an juga menjelaskan untuk tidak memaksakan agama Islam kepada orang lain seperti yang dijelaskan dalam Q.S. Al-Baqarah:256. Seorang muslim tidak boleh memaksakan kehendak mereka ketika mengajak orang lain untuk masuk Islam. “Tidak ada paksaan dalam agama” dalam penakwilan al-Razi memiliki tiga pendapat. Pertama, Tuhan telah menggaris bawahi sebuah landasan, bahwa keimanan tidak dibangun di atas paksaan, melainkan atas dasar pengetahuan dan pertimbangan matang untuk memilih agama tertentu. kedua, larangan paksaan dalam agama terkait dengan kesepakatan yang dilakukan oleh orang-orang muslim dengan orang-orang non-muslim yang disebut ahlu kitab. Ketiga, ayat tersebut ditujukan kepada orang-orang yang memeluk Islam setelah peperangan.
Pendapat pertama al-Razi atas penakwilan Q.S. Al-Baqarah:256 sangat penting untuk dijadikan rujukan dalam persolan keimanan. Zuhairi Misrawi dalam bukunya Al-Qur’an Kitab Toleransi mengatakan, bahwa keberimanan seseorang tidak hanya dimiliki oleh orang muslim saja, melainkan juga pemeluk agama lain. Oleh karena itu, diperlukan penghargaan yang setinggi-tingginya terhadap keragaman dalam keberimanan. Sebab, Tuhan sendiri yang menjadikan kita beragam sehingga seluruh mahluk-Nya harus bisa menjaga dengan baik, tanpa paksaan dan kekerasan.
Secara historis, keberadaan agama Islam di Madinah juga sudah menunjukkan sikap toleran. Hal ini dibuktikan dengan Piagam Madinah yang pada zaman itu, menurut Robert N. Bellah, sistem yang paling modern. Secara garis besar, Piagam Madinah mendudukkan ahlu kitab pada tatanan masyarakat sederajat dengan kaum Muslim. Bahkan, Nabi juga tidak menerapkan hukuman dalam Islam terhadap ahlu kitab. Sebab, menurut Nabi, mereka sudah memiliki peraturan sendiri ketika berbuat salah. Jadi, dalam permasalahan yang menyangkut keagamaan, Nabi menganjurkan untuk ditindak sesuai ajaran dalam agamanya. Berbeda jika hal itu menyangkut status sebagai warga negara, para ahlu kitab akan menanyakan langsung kepada Nabi terkait permasalahannya.
Dua argumen di atas, meminjam Istilah Amin Abdullah, baik secara normatif maupun historis, Islam sudah menunjukkan sikap pluralismenya-dengan pengertian pluralismenya Budhy Munawar. Dengan dasar ini juga, Islam tidak membolehkan adanya paksaan dalam hal keberimanan. Tuhan memang sudah menciptakan kita berbeda-beda, jika Tuhan berkehendak untuk menyatukan, maka semua manusia niscaya akan bersatu. Namun Tuhan tidak melakukan itu. Maka dari itu, kita sebagai mahluk-Nya seharusnya tidak melakukan tindakan-tindakan yang sifatnya memaksa keberimanan seseorang. Sebab, itu akan menyalahkan narasi yang sudah dibangun Tuhan sendiri dan kita sebagai manusia harus mampu menjaga perbedaan keberimanan yang ada di bumi. Wallahhua’lam.
Muhammad Mujibuddin, Penulis adalah pegiat di Islami Institut Yogyakarta.