Benarkah Islam Hancur Tanpa Negara Islam?

Benarkah Islam Hancur Tanpa Negara Islam?

Benarkah Islam Hancur Tanpa Negara Islam?

Salah satu dalil yang sering digunakan untuk mendirikan negara Islam sebagai prioritas utama ialah hadith Nabi yang diriwayatkan oleh Ahmad bin Hanbal dalam al-Musnad-nya:

لَيُنْقَضَنَّ عُرَى اْلإِسْلاَمِ عُرْوَةً عُرْوَةً فَكُلَّمَا انْتَقَضَتْ عُرْوَةٌ تَشَبَّثَ النَّاسُ بِالَّتِي تَلِيهَا وَأَوَّلُهُنَّ نَقْضًاالْحُكْمُ وَآخِرُهُنَّ الصَّلاَةُ

 “Pilar-pilar Islam akan hancur satu demi satu, setiap kali satu pilar hancur dan rusak, manusia akan berpegang sekuat-kuatnya dengan pilar berikutnya. Pilar  yang hancur pertama kali adalah pemerintahan, dan pilar yang hancur terakhir adalah shalat”.

Hadis ini termasuk ke dalam hadis yang memprediksikan sesuatu yang akan terjadi di masa mendatang. Atau sebut saja hadis ini ialah hadis akhir zaman (asyrat as-sa’ah). Melalui hadis ini, mereka mengatakan bahwa negara Islam harus didirikan agar umat Islam tidak lupa dengan shalatnya.

Jadi mereka memahami bahwa agar shalat tidak dilupakan atau hancur,  maka agenda pendirian negara Islam harus segera diutamakan. Karena jika tidak segera didirikan, umat Islam dengan sendirinya akan meninggalkan shalat. Untuk mengantisipasi hal tersebut, maka, bagi mereka, negara  Islam harus ditegakkan segera. Jika menilik lagi secara cermat, hadis ini tidak sedang berbicara mengenai keharusan mendirikan negara. Hal demikian dapat ditinjau dari dua poin berikut:

Pertama, secara logis, jika kita memahami secara benar redaksi hadis di atas,  ada dua hal yang perlu diperhatikan, pertama, suatu pilar atau bangunan  akan cepat hancur dan rusak kalau pilar atau bangunan tersebut lemah dan keropos. kedua, sebaliknya, suatu pilar atau bangunan akan lama hancurnya jika pilar atau bangunan tersebut sangat kuat dan kokoh.

Kalau kita perhatikan hadis dari sudut pandang ini, maka, ternyata hadis ini mengisyaratkan bahwa pemerintahan atau negaralah yang pertama kali hancur dalam sejarah Islam dan itu artinya negara atau pemerintahan merupakan pilar yang sangat-sangat lemah dan mudah dihancurkan. Sementara itu, shalat ialah pilar yang terakhir kali hancurnya. Hal demikian mengindikasikan bahwa shalat merupakan pilar yang terkuat dan terkokoh karena tak lengkang oleh waktu.

Kedua, sejarah mencatat bahwa meskipun negara atau pemerintahannya korup atau dihancurkan oleh musuh (dulu dihancurkan oleh bangsa Tatar misalnya) tetap saja Islam terus eksis dan berkembang dan aturan-aturannya selalu menjadi pegangan bagi tiap muslim sampai sekarang. Jika pun dalam  prediksi Nabi di atas dikatakan bahwa negara atau pemerintahan merupakan pilar yang pertama kali hilang atau hancur dalam sejarah Islam, tak berarti bahwa perkembangan Islam akan terhenti dengan sendirinya.

Hadis di atas justru mengisyaratkan bahwa Islam akan tetap maju meski tanpa negara yang menopangnya. Melalui penjelasan kaidah fikih dan pemahaman terhadap hadis riwayat Abu Umamah di atas, pertanyaan yang muncul selanjutnya ialah apakah negara Indonesia layak dianggap telah melaksanakan syariat Islam atau layak disebut negara Islam (dar al-Islam)? Bagi pendukung negara Islam jelas jawabannya belum atau bahkan tidak sama sekali. Tapi sekali lagi, jawaban ini pun masih mengandung celah untuk disanggah.

Pertama, taruhlah jika sebutan untuk negara Indonesia yang berdasar Pancasila dan UUD 45  ini tidaklah islami karena tidak menerapkan Islam dan bahkan mengadopsi sistem demokrasi yang ‘kufur’, taruhlah demikian halnya, maka perlu juga bagi yang menganut keyakinan demikian mempertimbangkan beberapa pendapat di kalangan ulama seperti al-Qaffal, Ibnu Hajar al-Asqalani, al-Mawardi dan lain-lain ketika mereka mensyaratkan hal-hal tertentu mengenai islami atau tidak islaminya suatu negara.

Misalnya, Ibnu Hajar al-Asqalani dalam Fath al-Bari mengatakan, bahwa jika umat Islam hidup sebagai umat yang minoritas dalam suatu negara, sementara itu mereka bebas melaksankan syiar-syiar islam seperti shalat, puasa, zakat dan haji dan berbagai ritual lainnya, layaklah negara tersebut, meski dipimpin oleh kepala negara yang non-muslim, disebut sebagai dar al-Islam. Kalau pandangan ini diterima, Indonesia jelas layak disebut sebagai dar al-Islam. Pasalnya, syiar-syiar keagamaan Islam di negara kita sangatlah ditoleransi bahkan dibebaskan. Semua kegiatannya dari yang bersifat politik sampai ke kebudayaan dibebaskan tanpa ada larangan.

Kedua, jikalah pandangan Ibnu Hajar al-Asqalani ini ditolak, Indonesia masih tetap disebut  Islami. Kenapa demikian? Nilai-nilai universal dalam Islam terkandung dalam setiap sila dalam Pancasila dan UUD 45. Meski hukum-hukum parsialnya seperti potong tangan bagi pencuri, hukuman rajam bagi pembunuh dan pezina tidak diterapkan, paling tidak dengan dikenakannya hukuman penjara terhadap mereka, Indonesia sudah dikatakan melaksanakan ajaran Islam meski levelnya sangat rendah (taruhlah jika pandangan tekstualis-formalis diterima).

Dalam hadis Nabi sendiri dikatakan bahwa keimanan dan keislaman seseorang itu mengalami pasang surut, mengalami fluktuasi, bisa bertambah atau berkurang. Jika hadis ini berlaku bagi tiap individu muslim, kenapa juga tidak berlaku kepada negara Indonesia? Keislaman dan keberimanan Indonesia juga layak disifati mengalami pasang surut, taruhlah  Indonesia berkurang secara keimanannya dalam soal penerapan rajam, potong tangan namun tetap saja Indonesia masih Islami karena para pelaku tersebut tetap diberi hukuman (ma la yudraku kulluhu la yutraku kulluhu).

Selain itu, umat Islam di Indonesia bebas pergi haji dan diurus oleh negara, mesjid ada di mana-mana, bahkan satu desa ada yang memiliki tiga sampai empat masjid. Umat Islam juga bebas menyampaikan pendapat, mengkritik pemerintah , mendirikan partai-partai. Kalau kita bandingkan dengan kerajaan yang sebutlah Islami, Arab Saudi, meski syiar-syiar agama kentara di negara ini dan hukuman rajam dan potong tangan diterapkan, namun umat Islam dibungkam untuk tidak mengkritik pemerintah dan dilarang mendirikan partai. Arab Saudi juga terkenai hadis Nabi terkait bertambah dan berkurangnya iman.

Jadi sudahlah kita sebagai umat Islam tak perlu repot-repot mengganti Pancasila dan UUD 45 dengan negara Islam/khilafah yang berdasarkan kepada syariat Islam. Seharusnya agenda utama kita penguatan  umat dengan pemberdayaan pendidikan, terutama ilmu pengetahuan dan teknologi dan memproduksi ijtihad-ijtihad baru yang sesuai dengan prinsip umum syariat Islam. Penguasaan teknologi dan pengetahuan oleh Barat telah menjadikan dunia ini tercabik-cabik. Kalau sedari dulu umat Islam menguasai teknologi dan pengetahuan, dunia tak akan rusak seperti ini tapi sayangnya….?