Bukan rahasia lagi, alangkah mesranya hubungan Aisyah dan Rasul SAW. Tak terhitung banyaknya kisah-kisah romantis yang kita dengar antara dua insan mulia ini, yang hampir semuanya dituturkan oleh Aisyah sendiri.
Lomba lari berdua, saling bermanja di pangkuan, minum dari gelas yang sama, bahkan sengaja menempelkan bibir di bekas bibir pasangannya adalah sebagian kecil dari kisah kasih Rasulullah dengan sang istri, yang terekam dalam hadis-hadis riwayat Aisyah. Persis seperti yang digambarkan dalam lirik lagu Aisyah yang viral itu.
Viralnya kemesraan rumah tangga Rasulullah tak lepas dari peran Aisyah sebagai perawi hadis-hadis nabawi. Beliaulah yang menceritakan kisah-kisah itu, hingga menjadi buah bibir tiada henti dari masa ke masa.
Yang jadi pertanyaan, adakah kisah-kisah romantis ini sengaja dituturkan Ummul Mukminin Aisyah, semata-mata untuk pamer kemesraannya dengan sang Nabi?
Atau jangan-jangan ketika mendengar bahwa Nabi pernah mandi berdua dengan Aisyah, orang akan berpikir, betapa tak tahu malu-nya istri Rasulullah ini, sampai-sampai hal seintim itu pun diceritakannya kepada publik.
Benarkah demikian?
Jawabannya tentu saja tidak. Jika kita membaca secara utuh hadis-hadis yang menyiratkan keromantisan Nabi dengan istrinya, akan kita dapati bahwa sebenarnya bukan keromantisan itu sendiri yang ingin diungkap oleh Aisyah RA. Ada motif utama yang melatari periwayatan hadis-hadis itu, yang lebih agung dari sekedar pamer kemesraan.
Kisah-kisah intim Aisyah dengan sang Nabi, sebagian besar diriwayatkan dalam rangka menjelaskan persoalan-persoalan fikih. Kisah tentang Nabi yang menempelkan mulutnya di gelas bekas mulut Aisyah, misalnya. Bunyi hadis ini secara utuh diriwayatkan oleh Imam Muslim seperti ini:
“Pernah aku minum saat aku sedang haid, lalu kuserahkan sisanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau pun meletakkan mulutnya di tempat bekas mulutku, kemudian minum. Aku juga pernah menggigit daging saat sedang haid, lalu kuberikan daging itu kepada Nabi SAW. Beliau pun meletakkannya mulutnya di tempat bekas mulutku.” (H.R. Muslim).
Silakan anda perhatikan dua kali penegasan “saat aku sedang haid” dalam hadis di atas. Kalaulah tujuan Ibunda Aisyah sekedar ingin pamer kemesraan dengan Nabi, tentu tak perlu beliau menjelaskan hal itu, apalagi sampai dua kali. Penekanan pada kalimat “saat aku sedang haid” merupakan bukti bahwa motif utama periwayatan hadis ini adalah untuk menjelaskan persoalan fikih, bahwa perempuan yang sedang haid itu tidak najis, sehingga boleh kita makan dan minum bersamanya.
Simak pula kisah tentang Rasulullah yang berbaring di pangkuan Aisyah. Secara utuh kisah ini dituturkan Aisyah sebagai berikut:
“Pernah Rasulullah SAW berbaring di pangkuanku, saat aku sedang haid, lalu beliau membaca Al-Qur`an.” (H.R. Muslim).
Sekali lagi perhatikan ungkapan “saat aku sedang haid” dalam hadis ini juga. Ini pun satu bukti bahwa tujuan utama periwayatan hadis ini adalah untuk menjelaskan bahwa perempuan haid itu tidak najis, sehigga tak mengapa suami berbaring di pangkuannya, bahkan sambil membaca ayat-ayat Al-Qur`an.
Tidak jauh berbeda apa yang dituturkan tentang Aisyah yang menyisir rambut Rasul. Kisah ini dituturkan Ibunda Aisyah dengan narasi sebagai berikut:
“Pernah (sewaktu iktikaf di dalam masjid), Rasulullah SAW mendekatkan kepalanya kepadaku sementara aku berada di dalam ruanganku, lalu aku menyisir rambutnya, padahal saat itu aku sedang haid.” (H.R. Muslim)
Hadis ini pun menitikberatkan pada poin yang kurang lebih sama, yaitu bahwa perempuan yang haid itu tidak najis, dan bahwa dalam batas tertentu, orang yang iktikaf boleh berinteraksi dengan istrinya, asalkan tetap berada di dalam masjid. Aisyah dan rasul
Demikianlah, kemesraan dalam rumah tangga Nabi tidak diriwayatkan semata-mata untuk membuat baper pendengarnya. Terlebih jika hal itu menyangkut hubungan intim, tak mungkin semua itu diceritakan oleh Ummahatul Mukminin sekedar karena keinginan untuk pamer. Pastilah ada alasan yang begitu pentingnya, hingga rahasia-rahasia di balik dinding kamar mereka, terpaksa dipublikasikan juga.
Inilah pentingnya orang membaca dan memahami teks dalil secara utuh. Dengan begitu, kita akan mengerti bahwa bukan romantisme yang hendak ditonjolkan Aisyah RA dalam hadis-hadisnya, namun pelajaran dan fikih yang terkandung di dalamnya.
Wallahu a’lam bish showab.