Benarkah Bencana Alam Akibat Perbuatan Seseorang?

Benarkah Bencana Alam Akibat Perbuatan Seseorang?

Bencana alam bukanlah akibat seseorang, lalu bagaimana?

Benarkah Bencana Alam Akibat Perbuatan Seseorang?
Kondisi pantai di Kota Palu pascatsunami. Pict by @Sutopo_PN

Dua hari yang lalu, tepatnya pada tanggal 28 September 2018, Kota Palu, Donggala dan sekitarnya mengalami bencana alam berupa gempa bumi dan tsunami. Sudah sepatutnya sebagai sesama anak bangsa, kita turut membantu meringankan beban saudara kita dan mendoakan agar semua orang diberi ketabahan dan segera pulih dari keterpurukan. Bagi orang-orang yang wafat, semoga diberi predikat Syahid di sisi Allah swt.

Namun sayang, akibat suhu politik yang kian memanas menjelang pemilu, belakangan beredar viral video ceramah yang mengaitkan bencana di Palu dengan perbuatan seseorang. Bukan saja menciderai orang-orang yang terdampak bencana, statement itu adalah bentuk kebencian lewat bahasa agama dan bersifat kontra produktif. Pertanyaannya, benarkah bencana Alam itu adalah akibat dari prilaku seseorang?

Penulis sepenuhnya sadar bahwa di dalam al-Quran terdapat banyak ayat yang mengisahkan perbuatan dzalim umat terdahulu yang kemudian ditimpa bencana. Penulis dapat menyebutkan beberapa contoh seperti bencana banjir yang menimpa kaum Nabi Nuh (Q.S. al-Mukminun : 27), bencana hujan batu yang menimpa umat Nabi Luth (Q.S. Al-A’râf : 84), bencana gempa bumi yang menimpa umat Nabi Musa (Q.S. al-A’raf :155), dan bencana angin topan yang menimpa tentara gabungan yang menyerang Madinah pada waktu perang Khandaq (Q.S. alAhzab :9).

Perlu diingat bahwa kisah bencana dalam al-Quran di atas, sepenuhnya menimpa orang-orang yang membangkang terhadap peringatan dan ajaran Rasul mereka. Sedangkan yang ditimpa musibah di Palu, sebagian besar adalah umat Muslim yang taat, yang ketika bencana sebagian mereka sedang melaksanakan ibadah di Masjid.

Patutkah kita menghakimi mereka dengan prasangka buruk? Lebih buruk lagi, kita membawa nama Allah swt atas prasangka buruk tersebut. Sungguh penulis tidak membayangkan hati yang penuh kebencian ini.

Padahal dalam al-Quran Allah swt berfirman dalam Q.S al-Hujurat: 12:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ رَحِيمٌ

“Wahai orang-orang yang beriman! Jauhilah banyak berprasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah di antara kalian menggunjing sebagian yang lain. Apakah ada di antara kalian yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Tentu kamu merasa jijik. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat, Maha Penyayang.”

Ibnu Asyur dalam al-Tahrir wa al-Tanwir menjelaskan bahwa ayat ini merupakan peringatan untuk umat Muslim agar tidak berburuk sangka, karena di zaman jahiliyah buruk sangka bisa menyulut peperangan.

Hal ini selaras dengan fenomena saat ini, dimana buruk sangka sudah tidak tampak buruk lagi bahkan sering dilontarkan oleh para ahli agama di mimbar ceramah. Semoga kita semua terlindungi dari sifat berburuk sangka. Wallahu A’lam bi al-shawab.

Selengkapnya, klik di sini