Benarkah Belajar Ilmu Agama Lebih Baik dari pada Belajar Ilmu Umum?

Benarkah Belajar Ilmu Agama Lebih Baik dari pada Belajar Ilmu Umum?

Beberapa orang menyarankan agar putra-putrinya belajar ilmu agama saja dari pada belajar ilmu umum.

Benarkah Belajar Ilmu Agama Lebih Baik dari pada Belajar Ilmu Umum?
Tren Tahfidz Al-Qur`an di Indonesia seringkali belum dibarengi dengan tren Tajwid. (Foto: Elik – Islamidotco)

Thalab al-‘ilm farīdhah alā kulli muslim. Menuntut ilmu merupakan kewajiban setiap muslim. Begitulah yang disabdakan oleh Nabi kita Muhammad SAW. Kita bisa lihat betapa Nabi SAW memberikan penekanan pada setiap muslim untuk mencari ilmu. Mencari ilmu dalam hal ini bisa jadi ilmu agama ataupun ilmu umum.

Uthlub al-‘ilm min al-mahdi ilā al-lahdi. Tuntutlah ilmu mulai dari buaian sampai liang lahat. Kata sebuah hadis lain (walaupun hadis ini masih diperselisihkan keabsahannya oleh para ulama, red.) Jadi sudah jelas: mencari ilmu merupakan hal yang penting dan wajib dilakukan setiap muslim, dari sejak masih kecil sampai menjelang ajal.

Tapi, sebenarnya, ilmu seperti apa yang dimaksud oleh Nabi? Apakah yang dimaksud adalah ilmu-ilmu agama saja, seperti ilmu fikih, aqidah, tajwid, dan lainnya? Atau juga mencakup ilmu-ilmu umum seperti geografi, sosiologi, ekonomi, dan lain-lainnya?

Sebenarnya, Islam tidak mengenal pemisahan antara kedua jenis ilmu tersebut. Kenapa? Karena dalam Islam, seluruh ilmu berasal dari Allah SWT, selaku pencipta dan pemilik ilmu. Salah satu nama Allah adalah al-‘Alīm, yang berarti Yang Maha Berilmu/Mengetahui. Allamal insān mā lam yalam. Ia mengajarkan manusia apa-apa yang tidak diketahuinya. Wa allama Ādam al-asmā’ kullahā tsumma aradhahum alal malāikah… Allah lah yang mengajarkan Adam nama-nama seluruhnya.

Kemudian Allah memanggil para malaikat dan menanyakan apakah mereka bisa menyebutkan nama-nama tersebut. Ternyata para malaikat tidak bisa, sementara Adam bisa, dan karena itulah Allah memuliakan Adam atas malaikat dan menjadikannya khalifah di muka bumi.

Bahkan, Allah memerintahkan malaikat untuk bersujud kepada Adam atas dasar kemuliaan itu. Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa yang dimaksud dengan ‘nama-nama’ ialah pengetahuan mengenai benda-benda.

Jadi, seluruh ilmu, pada dasarnya berasal dari Allah SWT. Tapi, kenapa saat ini seakan-akan terdapat pemisahan antara ilmu umum dan ilmu agama? Sebelumnya, kita bahas dulu konsep sumber pengetahuan dalam Islam. Dalam Islam, selain wahyu, akal juga diterima sebagai sumber pengetahuan.

Banyak sekali ungkapan-ungkapan dalam Alquran dan hadis menyerukan manusia agar menggunakan akal. Misalkan, ungkapan seperti afalā taqilūn, apakah kalian tidak berpikir, laāyāt liqaum yaqilūn, sungguh terdapat tanda-tanda bagi orang yang berpikir, dan sebagainya.

Dalam hadis, terdapat sebuah ungkapan, lā dīna liman lā aqla lahu, tidak ada agama bagi orang yang tidak punya akal. Dalam literatur Islam klasik, manusia disebut sebagai hayawān nātiq, makhluk yang berbicara, berbicara di sini, maksudnya, adalah berpikir.

Kemudian dibuatlah kategorisasi atas ilmu-ilmu. Ilmu-ilmu yang bersumber dari wahyu disebut sebagai ulūm asy-syariyyah, ilmu-ilmu syariat, sementara ilmu-ilmu yang berasal dari akal disebut sebagai ulūm al-aqliyyah, ilmu-ilmu rasional.

Ilmu-ilmu syariat meliputi ilmu akidah, fikih, qiraah, nahwu, sharaf, tasawuf, dan ta’bir ar-ru’ya (tafsir mimpi). Sementara ilmu-ilmu rasional terdiri atas ilmu filsafat, logika (mantiq), sejarah, geografi, botani, fisika, matematika, dan lain-lainnya. Klasifikasi seperti ini dibuat oleh, antara lain, Ibnu Khaldun, Imam Al-Ghazali, dan ulama lainnya.

Perbedaan antara kedua jenis ilmu tersebut adalah sumber keduanya berasal. Ilmu-ilmu syariat bersumber dari Alquran dan hadis serta bertujuan untuk memahami ajaran agama sebagaimana termaktub dalam kedua sumber tersebut. Di sini, peran akal adalah sebagai alat untuk memahami Alquran dan hadis.

Sementara itu, ilmu-ilmu rasional menjadikan akal (dan bukti empiris) sebagai sumber utamanya, dan bertujuan untuk menyingkap dan memahami cara kerja alam ciptaan Allah. Jika ilmu-ilmu syariat hanya bisa didapatkan dari umat Islam, maka ilmu-ilmu rasional bisa didapatkan dari mana pun, karena sumbernya, yakni akal, merupakan anugerah Allah yang diberikan kepada seluruh umat manusia tanpa memandang asal-usul dan agamanya.

Sejarah mencatat bahwa ilmu-ilmu rasional dalam Islam mengambil inspirasi dari pemikiran India, Persia, filsafat Helenistik (Yunani), dan lain sebagainya.

Lalu, kenapa mesti ada ilmu-ilmu rasional? Dalam Al-Quran disebutkan bahwa tanda-tandanya tersebar di penjuru alam. Yang disebut sebagai ayat-ayat (tanda-tanda), bukan hanya yang terdapat pada Al-Quran, melainkan juga terdapat pada alam, dalam bentuk berbagai fenomena alam. Jadi ada ayat-ayat qur’aniyah, ada ayat-ayat kauniyah (alam). Tugas kita sebagai muslim adalah membaca tanda-tanda keberadaan Allah dalam kedua jenis ayat-ayat tersebut.

Sayangnya, situasi sekarang cenderung menempatkan kedua jenis ilmu tersebut pada posisi yang bertentangan. Seakan-akan antara ilmu-ilmu syariat dan rasional saling menegasikan satu sama lain. Padahal, dalam Islam, tidak ada pertentangan antara wahyu dan akal. Bagaimana mungkin keduanya, yang sama-sama berasal dari Allah, bertentangan satu sama lain?

Jawabnya, menurut hemat penulis, karena ilmu-ilmu rasional yang kita dapatkan sekarang ini sebagian besarnya berasal dari Barat. Barat memiliki sejarah pertentangan antara akal (pengetahuan) dan agama (Gereja Katolik Roma). Para ilmuwan, seperti Galileo, mendapat tekanan dari Gereja karena pernyataannya dianggap melawan ajaran agama. Akibatnya, akal di Barat berusaha melepaskan diri dari agama, yang akhirnya dimenangkan oleh akal (ilmu pengetahuan). Mulai dari situ, ilmu pengetahuan di Barat kehilangan agamanya, dan keduanya berjalan pada jalan yang terpisah.

Sementara Barat melakukan ekspansi kolonialisme ke berbagai penjuru dunia. Hingga tersebarlah pandangan Barat tersebut ke wilayah-wilayah jajahannya tersebut, termasuk Indonesia. Agama kemudian perlahan-lahan dilihat sebagai sesuatu yang terbelakang, yang tidak masuk akal, yang semestinya ditinggalkan. Agama adalah peninggalan masa lalu.

Jika kita melihat ke dalam Islam, semestinya tidak ada pemisahan seperti itu. Ilmu pengetahuan dan agama berjalan beriringan. Atau, seperti kata Ibnu Rusyd, filsuf muslim dari Spanyol,  “(agama dan filsafat itu) bagaikan saudara sepersusuan.” Ibnu Rusyd merupakan komentator karya-karya Aristoteles, yang tulisannya tersebar ke Eropa dan turut serta memicu kebangkitan intelektual di sana, sampai memunculkan aliran tersendiri yang disebut Averroism (Ibnu Rusyd-isme).

Jika kita ingin kembali sepenuhnya kepada makna ilmu dalam Islam, maka salah satu hal yang harus dilakukan adalah menghancurkan tembok yang telah memisahkan antara ilmu pengetahuan dan agama. Pemisahan keduanya telah menghasilkan ilmu pengetahuan yang tidak membawa kita lebih dekat kepada Tuhan dan agama.

Wallāhu a’lam.