Tugas peradaban saat ini ialah mencari formula baru untuk menyebarluaskan ideologi kemanusiaan. Mendaulat agama kemanusiaan pada hari ini semakin dibutuhkan. Sebab, narasi agama anti kemanusiaan terlampau sering dihembuskan dan terkadang solusi yang ditawarkan cenderung terlampau tak masuk akal. Misal, Ali A. Rizvi yang menawarkan untuk menghapus semua ayat-ayat dalam Al-Quran yang melegitimasi penghilangan nyawa manusia.
Komunitas manusia pada mulanya berkembang menjadi sebuah masyarakat, mereka saling membagi budaya dan tradisi yang berbeda untuk satu visi yang sama. Demi mencapai masyarakat yang stabil, komunitas manusia mengembangkan konsensus-konsensus tentang visi terpadu baik dari kebaikan bersama maupun bagi kebaikan pribadi yang telah disepakati, yang tak lain ialah “kemanusiaan”.
Jika pada mulanya masyarakat global terus bergerak ke arah “kemanusiaan”, maka tak pelak akan terwujud suatu “Imagined Communities”. Namun kita tidak boleh terhenti pada narasi masa lalu, sebagaimana pendapat Quraish Shihab, bahwa kita tidak boleh hanya mencari perbedaan dalam skala global. Namun juga harus toleran dan bahkan menghargai perbedaan manusia di masa mendatang.
Lantas, di manakah letak posisi Agama? Agama, sejatinya mendukung masyarakat global untuk mengaktualisasi kedua ide tersebut –toleransi, menghargai perbedaan, dan agama sejatinya juga berkontribusi secara adil menggabungkan antara asas prinsip kemanusiaan (Human Rights) dan tanggung jawab manusia.
Meskipun faktanya masih banyak kejadian atau hal buruk atas nama agama. Namun agama pada dirinya tetaplah menjadi sebuah visi yang sama bagi masyarakat global untuk manusia. Sebab memang sudah jelas dinyatakan bahwa Agama hanyalah untuk Manusia yang nilainya bersifat Ilahiah, tetapi praktiknya berdimensi sosial.
Di Amerika Serikat, ada fobia tertentu tentang membiarkan agama ke dalam ruang publik. Problemnya ada pada dualisme kebutuhan antara hukum dan tuntutan sosial.
Meskipun demikian, Deklarasi tentang Hak Asasi Manusia pada 10 Desember 1948 di PBB sejatinya telah mensejajarkan rasa kemanusiaan internasional, disebutkan dalam article 1: All human beings are born free and equal in dignity and rights. They are endowed with reason and conscience and should act towards one another in a spirit of brotherhood.
Konsekuensinya ialah asas-asas tersebut juga berguna untuk meyakinkan para kelompok skeptis yang hingga kini mempertanyakan kaitan dan relevansi agama dengan Hak Asasi Manusia. Penggunaan istilah “HAM” di sini berfungsi untuk menunjuk suatu hal yang dilaksanakan berlandaskan hukum.
Pembicaraan baru tentang penyebaran Hak Asasi Manusia ini, di mulai pada akhir Perang Dunia ke2, Bangsa Sekutu yang menang akan menyatakan bahwa “Kemenangan atas musuh mereka adalah untuk melestarikan hak asasi manusia dan menegakkan Keadilan di tanah mereka sendiri dan juga di tanah lain”.
Setelah pembantaian yang mengerikan dan pelanggaran HAM selama masa Perang Dunia kedua, Amerika Serikat menjadi salah satu pemimpin dalam menempatkan bahasa HAM dalam piagam PBB, dalam mukadimah ditegaskan “iman yang fundamental adalah HAM, martabat dan martabat manusia, di Persamaan HAM antara laki-laki dan perempuan”, dan “Untuk mencapai kerja sama internasional dalam menyelesaikan Masalah internasional tentang ekonomi, sosial, budaya atau kemanusiaan.”
Sampai di sini saya percaya bahwa untuk menjadi religius tidaklah cukup hanya dengan mengulang-ulang sejarah yang berkutat pada perpecahan dan peperangan antar umat beragama. Poin ini mengisyaratkan kita bahwa untuk menjadi benar-benar religius kita memerlukan seperangkat moral kemanusiaan sehingga dengan begitu agama juga mampu mengawal laju moralitas.
Saya tidak bermaksud mendebatkan bahwa hanya ada satu agama yang benar. Tetapi, untuk melawan kebiadaban terhadap kemanusiaan, kita perlu mendaulat satu moralitas global yang tidak bisa ditolerir ketiadaannya, yakni dengan mendulat “agama” kemanusiaan.
Kesamaan dan universalitas pada “agama” dalam memandang hak-hak manusia menjadi motor penggerak bagaimana prinsip kemanusiaan (Humanity) telah menyatukan kita seutuhnya.
Mulai saat ini agama dituntut untuk menjadi kekuatan universal dalam rangka mewujudkan keadilan global –model yang dikembangkan oleh Gandhi dan Marthin Luther King– dan, bukan sebaliknya, yakni sebagai kekuatan yang memecah belah.
Agama dapat didefinisikan sebagai sistem kepercayaan, praktik, institusi dan hubungan yang digunakan oleh masyarakat yang beragam untuk mengidentifikasi dan membedakan dirinya dari masyarakat lain.
Tampilan utama agama –di Indonesia khususnya– agaknya memiliki pengertian khusus. Namun, yang dimaksudkan disini adalah eksklusivitas masyarakat beragama yang diekspresikan. Di mana altar keyakinan menjadi basis terdalam pada praktik keagamaannya. Jadi, jika agama ingin berkontribusi pada kepentingan-kepentingan “kebaikan global” ia tidak dapat memaksakan seluruh dogma-dogma yang ada dalam dirinya.
Para pemeluk masing-masing dari tradisi keagamaan secara alami percaya bahwa pandangan dunia religius mereka adalah benar. Namun, terlepas dari sejarahnya, komitmen religius sering dikaitkan sebagai eksklusivitas agama. “kebenaran dogmatik” tersebut membuat setiap agama menjadi khas, lain dan berbeda, untuk itu agama menjadi eksklusif. Agama membentuk masyarakat yang bersifat eksklusif, sementara Hak Asasi Manusia membentuk masyarakat yang bersifat inklusif.
Banyak orang tampaknya percaya bahwa banyaknya agama saat ini akan menyebabkan banyaknya konflik di dunia, terutama sejak akhir perang dingin. Namun, dalam pemeriksaan lebih dekat, tampaknya jumlah konflik dari jenis yang sekarang ini sering diberi label “etnis” daripada “agama” hal tersebut telah berkembang sejak tahun 1950an.
Akhirnya, jika diurai ke belakang sepertinya banyak konflik yang telah terdeteksi pada periode Perang Dingin, tapi pada saat itu mereka biasanya ditafsirkan dalam kerangka ideologis antara Timur-Barat, ketimbang antar agama.
Waallahu a’lam bishoawab.