
Tirto.id telah mengutip survei dari Snapcart. Survei tersebut melibatkan 3.611 responden di Indonesia pada bulan April 2025. Hasilnya, 39% responden menganggap bahwa butuh biaya mahal untuk pergi ke psikolog sedangkan menggunakan AI (artificial intelligence/kecerdasan buatan) untuk permasalahan mentalnya gratis.
Hasil lainnya adalah 27% responden menganggap bahwa AI lebih dapat menyimpan rahasia dibanding manusia atau psikolog; 11% responden menganggap bahwa AI bisa mengatasi masalah, sedangkan psikolog cenderung membantu pemulihan kesehatan mental; serta 10% responden menganggap AI lebih netral sedangkan beberapa psikolog terkadang menghakimi orang yang mengalami masalah. Lebih lanjut, Snapcart pun juga menjelaskan bahwa AI tidak bisa menggantikan peran psikolog dalam hal dukungan emosional. AI sebatas menjadi tempat pelampiasan emosi saja.
Tulisan ini bukan dimaksudkan untuk membantah atau menerima karena pada dasarnya sebagai seorang psikolog, saya pun mengakui beberapa poin hasil survei tersebut. Namun, poin-poin itu juga perlu diluruskan agar masyarakat lebih melek dalam kesehatan mental.
Pertama, soal biaya mahal untuk ke psikolog. Perbandingan biaya ke psikolog dengan AI jelas tidak sebanding. AI merupakan suatu teknologi yang memungkinkan untuk gratis. Andaikan berbayar, AI memang tidak bisa semahal psikolog. Akan tetapi, yang menjadi poin penting yang hendaknya disadari oleh masyarakat adalah tidak ada kata “mahal” untuk kesehatan, termasuk kesehatan mental.
Banyak masyarakat Indonesia yang dengan rela mengeluarkan banyak uang untuk memperjuangkan kesehatan fisiknya, namun berpikir berkali-kali mengeluarkan banyak uang untuk kesehatan mentalnya. Ini mengindikasikan bahwa ada ketidakseimbangan masyarakat di dalam memahami kesehatan fisik dan psikologis. Padahal, keduanya adalah aspek yang sama-sama penting di dalam menunjang kehidupan yang sejahtera. Artinya, keduanya perlu diperjuangkan, berapapun biayanya.
Di sisi lain, mahalnya biaya ke psikolog juga bisa diatasi dengan BPJS karena layanan ke klink jiwa, baik ke psikiater maupun psikolog, bisa ditanggung oleh BPJS. Hal ini pernah saya lakukan ketika saya mengalami depresi pada rentang tahun 2022. Meski saya psikolog, saya tetap mengakses bantuan profesional, baik psikiater maupun psikolog. Saya memperoleh layanan obat medis oleh psikiater dan konseling oleh psikolog dengan menggunakan BPJS di rumah sakit.
Persepsi mahalnya biaya ke psikolog ini juga diperoleh masyarakat karena masyarakat menganggap jika psikolog maka tidak mendapatkan obat. Pemahaman ini perlu diluruskan karena psikolog tidak berwenang memberikan obat. Adapun yang berwenang memberikan obat adalah psikiater, seorang dokter spesialis kejiwaan.
Keduanya memiliki fokus yang sama, namun dengan metode yang berbeda. Jika psikiater mengupayakan kesehatan psikologis dengan obat-obatan agar pengaruh hormonal dan saraf terhadap kondisi psikologis bisa ditekan, maka psikolog mengupayakannya dengan memperbaiki pola pikir, pengelolaan emosi, cara klien merespons masalah, serta membangun keterampilan dan kepribadian klien.
Kedua, AI dianggap lebih dapat menjaga kerahasiaan dibandingkan psikolog. Pertanyaannya, siapa yang bisa menjamin AI menjaga kerahasiaan. AI adalah bagian dari teknologi yang meskipun ada mekanisme untuk mejaga kerahasiaan data, tetap saja ada kemungkinan data yang bocor. Di sisi lain, poin ini juga menjadi refleksi bagi kalangan psikolog untuk benar-benar menegakkan etika profesi.
Sebagai suatu profesi, psikolog diwajibkan menjaga kerahasiaan. Akan tetapi, menjaga kerahasiaan ini juga memiliki beberapa kelonggaran. Misalkan, seorang psikolog diperbolehkan berdiskusi dengan rekan sejawatnya jika mengalami kesulitan dalam mendampingi seorang klien dengan tetap menjaga kerahasiaan identitas klien tersebut. Sikap semacam ini diperlukan agar seorang psikolog dapat memiliki banyak pandangan untuk membantu kliennya. Meskipun demikian, selama seorang psikolog mampu mendampingi klien secara mandiri dengan optimal, maka diskusi semacam itu tidak diperlukan.
Ketiga, AI dianggap lebih bisa mengatasi masalah sedangkan psikolog membantu pemulihan kesehatan mental. AI merupakan suatu teknologi yang salah satunya sumbernya berasal dari database. Maka, AI bisa memberikan alternatif solusi yang berasal dari database tanpa mempertimbangkan kontekstualisasi alternatif solusi terhadap masalah yang dialami.
Hal yang perlu dipahami juga oleh masyarakat bahwa mengatasi kedua aspek tersebut berkaitan. Mengatasi masalah artinya seseorang harus belajar tentang keterampilan berpikir, meregulasi emosi, dan berperilaku merespons masalah. Keterampilan-keterampilan semacam ini tidak dapat didampingi oleh AI. AI sebatas memberikan alternatif solusi. Namun, psikolog bisa melakukan lebih dalam dan lebih jauh dari itu.
Psikolog bisa membantu mengidentifikasi masalah secara presisi dengan berbagai teknik dan metode. Selain itu, psikolog juga membantu mengidentifikasi sumber daya yang dimiliki oleh klien, membantu menyusun alternatif solusi yang lebih kontekstual, serta melatih klien untuk meningkatkan keterampilan yang diperlukan dengan berbagai macam metode.
Keempat, AI dianggap lebih netral dibanding psikolog yang terkadang menghakimi. Ini sangat wajar mengingat AI adalah suatu teknologi yang tidak memiliki perasaan dan emosi serta tidak memiliki batasan nilai. Dalam menjalani pendidikan profesi, psikolog pun diajarkan untuk tidak menghakimi dan lebih banyak mendengarkan. Menasehati adalah suatu sikap yang diperbolehkan sepanjang diperlukan tetapi hendaknya dilakukan bukan dalam bentuk menggurui dan menghakimi.
Salah seorang tokoh paradigma humanistik, yaitu Carl Rogers, menekankan prinsip penghargaan dan penerimaan tanpa syarat. Prinsip ini kemudian dikembangkan secara luas dalam praktik konseling dan psikoterapi. Salah seorang tokoh psikologi dan konseling Islam, Goolam Hussein Rassool, juga menekankan bahwa konseling dan psikoterapi Islam didasarkan pada penghargaan positif tanpa syarat. Prinsip ini dikembangkan dari nilai husnuzan (berprasangka baik) bahwa Tuhan memberikan kesempatan seseorang untuk lebih baik dan seseorang juga berpotensi memiliki niat untuk lebih baik.
Penghargaan positif tanpa syarat ini bukan berarti mengakui dan membenarkan kesalahan atau perilaku abnormal yang dilakukan oleh klien. Prinsip ini lebih sebagai metode agar klien merasa dihargai dan nyaman sehingga psikolog dengan mudah mengarahkan klien ke arah yang lebih sehat dan baik. Saya sendiri beberapa kali mendapatkan cerita dari mahasiswa saya bahwa beberapa psikolog yang ditemuinya justru menghakiminya. Ini menjadi refleksi penting bagi psikolog agar lebih bersikap profesional di dalam merespons klien.
Dalam konteks asesmen, AI tidak dapat memberikan asesmen secara holistik terhadap seseorang untuk membantu mengidentifikasi masalah atau gangguan pada klien. Sedangkan, psikolog memiliki keterampilan ini. Tepat atau tidaknya dalam mendiagnosis berdampak pada ketepatan metode konseling dan psikoterapi. Ini artinya, jika AI tidak dapat melakukan asesmen secara tepat, maka alternatif solusi yang diberikannya pun juga rentan kurang tepat. Namun, karena masyarakat sudah terlanjur percaya pada AI, maka alternatif solusi itu pun akan dilakukan yang justru rentan memperparah kondisi klien.
AI juga tidak memiliki aspek emosi, sedangkan psikolog dididik untuk mendengarkan aktif dan memberikan ruang emosi yang nyaman bagi klien. Ruang emosi ini menjadi elemen penting bagi klien untuk mengeluarkan emosi negatifnya sebagai salah satu langkah menuju kesehatan mental. Ekspresi yang ditampilkan oleh psikolog sebagai wujud refleksi dari klien akan ditangkap oleh klien sehingga klien merasa dipahami di saat ia merasa sendiri dan tidak ada yang memahami.
Ke depan, pihak otoritas yang menaungi psikolog seperti HIMPSI ataupun pihak lain yang berkaitan, perlu menyusun dan mengembangkan suatu instrumen guna mengukur kinerja dan keterampilan psikolog selama melayani klien yang diisi oleh klien. Instrumen ini berguna sebagai parameter kualitas psikolog dan bisa menjadi catatan penting aspek apa yang perlu diperbaiki oleh seorang psikolog dalam memberikan pelayanan.