Belajar Toleransi kepada Parmalim, Kepercayaan Lokal Asli Tanah Batak

Belajar Toleransi kepada Parmalim, Kepercayaan Lokal Asli Tanah Batak

Parmalim meyakini bahwa Tuhan telah menakdirkan banyak agama di dunia. Oleh karena itu, antar pemeluk agama seyogyanya tetap saling menyayangi sebagai sesama manusia.

Belajar Toleransi kepada Parmalim, Kepercayaan Lokal Asli Tanah Batak
Parmalim atau Penghayat Ugamo Malim sedang beribadah. Foto: Naufal/Islamidotco

Sejumlah pemotor mendorong kendaraan mereka yang mogok usai nekat menerobos genangan air. Sore itu, Kota Tangerang memang sedang diguyur hujan lebat. Sejumlah ruas jalan tergenang luapan air selokan.

Di salah satu sudut Perumahan Wisma Harapan, Kelurahan Gembor, Kecamatan Periuk, sekelompok orang sedang menunggu hujan reda. Mereka menunggu di dalam sebuah bangunan dua lantai yang sederhana.

“Silahkan masuk. Basah kalau di luar,” pinta seseorang yang keluar dari bangunan itu saat saya masih melepas jas hujan.

Ini adalah kali kedua saya berkunjung ke tempat ini. Meskipun nampak seperti rumah biasa, tempat ini sejatinya adalah tempat ibadah Parmalim. Pada kunjungan saya yang pertama dua pekan sebelumnya, saya berkesempatan untuk menyaksikan prosesi ibadah mereka.

“Dulu kita ada tempat di Jakarta. Jadi setelah kita banyak pindah ke Tangerang, pimpinan kita memberi izin untuk membuka cabang di Tangerang. Itu sejak tahun 2001 hingga sekarang,” jelas Jamona Sinaga, Pimpinan Cabang Punguan Parmalim Tangerang.

Cabang Punguan Parmalim Tangerang ini adalah satu dari dua Cabang Punguan Parmalim yang ada di wilayah Jabodetabek. Satu cabang lainnya berlokasi di Depok.

Untuk diketahui, Parmalim adalah sebutan untuk Penghayat Kepercayaan Ugamo Malim yang merupakan agama atau kepercayaan asli Suku Batak Toba.

“Pusatnya ada di Desa Hutatinggi, Kecamatan Laguboti, Kabupaten Toba, Provinsi Sumatera Utara. Pimpinan kami (bernama) Raja Monang Naipospos,” lanjut Sinaga.

Membina Kerukunan dengan Umat Lain

Pada kesempatan pertama berkunjung ke tempat ibadah Parmalim Tangerang, saya sempat berbincang dengan salah seorang Jemaat. Ia bilang, tempat tersebut sering dikunjungi oleh komunitas dari beragam latar belakang.

“Pada prinsipnya, kalau kita ada kesetaraan. Artinya, ketika mereka berkunjung, nggak mungkin kita tolak,” ujar Boike Sitorus, Sekretaris DPD Punguan Parmalim Tangerang.

Alasan kedua, Boike melanjutkan, keterbukaan Parmalim Tangerang untuk menerima kunjungan ini juga didasari atas keresahan mereka melihat banyaknya misinformasi terkait Parmalim. Pasalnya, misinformasi tersebut memunculkan stigma negatif yang disematkan kepada mereka.

“Stigma-stigma negatif bisa berkurang dengan melihat langsung,” ungkapnya.

Selain itu, dalam konteks masyarakat Indonesia yang majemuk, Boike berharap kunjungan-kunjungan ke tempat ibadah Parmalim menjadi salah satu sarana untuk merawat kemajemukan tersebut.

“Dengan menerima komunitas lain, muda-mudi kami juga kami minta untuk aktif di organisasi-organisasi lintas agama untuk mengenal agama lain, kami berharap kegiatan seperti ini bisa merawat kemajemukan kita, merawat Kebhinnekaan kita,” bebernya.

Sementara itu, terkait interaksi dengan warga sekitar, Sinaga yang sehari-hari tinggal di rumah yang dijadikan tempat ibadah itu mengatakan bahwa tidak pernah ada gesekan di antara mereka.

“Interaksi kita dengan warga sekitar hingga saat ini baik-baik saja. Tidak ada yang komplain. Pergaulan kita dengan tetangga baik-baik saja,” terang Sinaga.

Itu semua berkat rasa saling pengertian antara satu sama lain. Warga menjalin kerukunan dengan cara menyediakan fasilitas yang mendukung kegiatan Parmalim. Sebaliknya, Parmalim menjalin kerukunan dengan membantu warga semampu mereka.

“Itu lahan, fasilitas umum dari RT ini. jadi setiap Sabtu kami dikasih parkir di situ. itu bentuk dukungan dari warga di sekitar sini. Kami juga berprinsip bahwa kami juga harus bisa memberi manfaat bagi warga di sini,” tutur Boike.

Sikap toleran dalam diri Parmalim ini, misalnya, saya jumpai saat melihat prosesi ibadah mereka. Sebagai informasi, mereka beribadah pada Sabtu yang dimulai 11.00 hingga sekitar 13.00 WIB.

Saat itu, prosesi ibadah mereka masih berjalan. Memasuki waktu Dluhur bagi umat Islam, terdengar suara azan dari Toa masjid terdekat. Bahkan, volume suara azan terdengar lebih kencang dibanding suara pimpinan Parmalim yang sedang memandu jemaat membaca doa-doa.

“Kami beribadah, orang itu juga beribadah. Kalau memang caranya seperti itu ya kami tidak boleh melarang. Kalau memang begitu adanya, harus pakai Toa, kami harus menerima,” kata Sinaga.

Boike menimpali, “Kalau ditanya apakah itu mengganggu ibadah kami, terus terang tidak. Karena kami memang khusyuk, fokus. Artinya, apapun gangguannya, termasuk suara, masing-masing individu ini bersembah sujud kepada Tuhan.”

Tanamkan Toleransi Sejak Dini

Penghayat Parmalim yang tergabung bersama Cabang Punguan Parmalim Tangerang hanya sedikit. Berdasarkan penuturan Sinaga, jumlah mereka hanya 31 keluarga yang tersebar di seluruh wilayah Jabodetabek.

Jumlah yang sedikit ini menjadi tantangan tersendiri, khususnya bagi anak-anak Parmalim. Mereka akan berhadapan dengan fakta bahwa tidak banyak teman yang memiliki latar belakang kepercayaan yang sama dengan dirinya, khususnya saat berada di sekolah.

“Saya menyampaikan ke anak-anak ini yang pertama mereka harus menyadari kalau mereka beda dari yang lain,” papar Boike.

Kondisi di perantauan berbeda dengan kondisi di kampung halaman. Boike mencontohkan, saat di kampung, mereka mungkin masih bisa menjumpai 5-10 teman sesama Parmalim di sekolah. Namun, saat di perantauan, bisa jadi mereka menjadi satu-satunya Parmalim di sekolahnya.

“Artinya, ketika mereka mendapat perlakuan tertentu, mereka tidak berpikiran negatif. Tidak usah khawatir, kita adalah Parmalim, kita punya ajaran sendiri, sama seperti mereka, kita harus menerima,”  Boike.

Anak-anak Parmalim menerima pengajaran agama bukan dari sekolah. Hal ini lantaran sekolah mereka biasanya tidak memiliki guru keagamaan untuk Parmalim.

“Ini berlaku juga untuk Kristen, Budha, ketika sekolah tidak menyediakan pelajaran agama tersebut, maka anak didik akan dikembalikan kepada agama masing-masing,” imbuh Boike.

Parmalim ugamo malim
Anak-anak Parmalim sedang mengikuti pelajaran agama sebagai ganti jam sekolah. Foto: Dokumentasi pribadi Boike Sitorus.

Boike sendiri juga berperan sebagai pengajar di tempat ibadah Cabang Punguan Parmalim Tangerang. Selain ajaran budi pekerti dalam kehidupan sehari-hari, ajaran untuk bersikap toleran kepada yang berbeda juga ia sampaikan kepada anak-anak Parmalim.

“Ada (ajaran Parmalim yang mengajarkan toleransi). Di dalam ajaran kepercayaan ini tertulis, dan kita meyakini, bahwa di dunia ini banyak agama dan kepercayaan,” sebut Boike.

Dengan memahami bahwa di dunia terdapat banyak agama dan kepercayaan beserta ajaran masing-masing, anak-anak Parmalim mampu menerima perbedaan. Mereka juga akan menyadari bahwa tidak hanya kepercayaan mereka yang eksis di dunia ini.

“Yang kedua, ada ajaran yang mengajarkan untuk menyayangi sesama manusia,” lanjut Boike.

Dua ajaran tersebut, menurut Boike, sudah menjadi pondasi yang kuat bagi seorang Parmalim untuk bersikap menghargai orang lain. Mereka menyayangi sesama manusia tanpa memandang latar belakang agama atau kepercayaan.

“Dan sejak kecil sudah kami tanamkan, kami ajarkan. Mereka (anak-anak) harus memandang sama temannya, sesama manusia,” tegasnya.

Lebih lanjut, Sinaga menambahkan bahwa agama atau kepercayaan yang dipeluk oleh seseorang juga termasuk takdir Tuhan. Manusia tidak bisa memilih untuk lahir dan besar di keluarga dengan agama dan kepercayaan tertentu.

“Kalau mungkin saya lahirnya di Israel, nggak mungkin agama saya Parmalim. Karena kebetulan saya lahir di tanah Batak, dan keyakinan nenek moyang saya Ugamo Malim, itulah yang saya tanamkan di dalam diri saya,” Sinaga menjabarkan.

Ia memungkasi, “perbedaan itu kadang bukan karena kemauan kita, tetapi karena sudah takdir.”

Perjumpaan saya dengan dua Penghayat Kepercayaan Ugamo Malim ini membuat saya semakin yakin, bahwa pada dasarnya, agama maupun kepercayaan mengajarkan kasih sayang terhadap sesama.

Semua orang dapat menjalankan agama atau kepercayaan masing-masing tanpa perlu memandang remeh, atau bahkan mengganggu, agama atau kepercayaan orang lain.

(AN)