Belajar Toleransi dari Sunan Kudus

Belajar Toleransi dari Sunan Kudus

Sunan Kudus memberikan banyak pelajaran dan contoh dalam berdakwah, termasuk toleransi dalam berdakwah.

Belajar Toleransi dari Sunan Kudus

Sunan Kudus adalah putera dari seorang Sunan juga, yaitu Sunan Undung atau Ngudung. Beliau lahir dengan nama asli Jakfar Shadiq, dan masih memiliki nasab yang sampai kepada Nabi Muhammad Saw. lewat jalur Sayyidina Ali bin Abi Thalib dengan Sayyidah Fatimah.

Kisah perjalanan mencari ilmu Sunan Kudus sedikit berbeda dengan wali-wali lainnya yang penuh dengan pengembaraan. Beliau berguru ilmu agama kepada ayahandanya sendiri. Meskipun kemudian tercatat beliau juga belajar kepada seorang ulama bernama Kyai Telingsing yang diperkirakan sebagai keturunan Cina—menurut sumber sejarah, sosok Kyai Telingsing (diduga bernama asli The Ling Sing) ini dikaitkan dengan kedatangan Laksamana Ceng-Ho.

Dari Kyai Telingsing inilah Sunan Kudus mempelajari ilmu pertukangan, perkakas, dan seni mengukir.

Corak dakwah Sunan Kudus juga dilandaskan dan berpegangan kepada Al-Quran Surat An-Nahl ayat 125, yaitu menggunakan kebijaksanaan dan kelemah-lembutan hati. Raden Jakfar Shadiq dalam menjalankan dakwahnya menggunakan metode bimbingan dan pemberian teladan kepada masyarakat setempat secara langsung.

Tidak jauh berbeda dengan model penyebaran Islam ala Sunan Kalijaga, Sunan Kudus melakukan pengabdian kepada masyarakat melalui aneka ragam bidang. Pendekatannya kepada masyarakat dijalankan melalui penciptaan teknologi terapan yang tepat guna seperti; menyempurnakan alat-alat pertukangan yang berguna untuk bekerja, membuat keris pusaka dan perkakas-perkakas, hingga merumuskan aturan undang-undang yang dapat diterapkan sebagai produk hukum di pengadilan atau musyawarah.

Sikap bijaksana dan toleransi yang dimiliki Sunan Kudus juga tercermin dalam bangunan yang kini menjadi Menara Masjid Kudus dan Lawang Kembarnya (Pintu Kembar) Masjid Kudus. Desain bangunannya menunjukkan perpaduan kompromis antara arsitektur Islam dengan arsitektur lokal yang berciri Hindu seperti lazimnya candi-candi.

Besarnya sikap toleran Sunan Kudus dapat pula dicermati dalam pewarisan tradisi lokal yang mengimbau masyarakat untuk tidak menyembelih sapi pada Hari Raya Idul Adha. Sunan Kudus menghargai betul perasaan para pemeluk agama lain yang memuliakan sapi, sehingga tidak tega hati jika menyembelih sapi di depan umat Hindu. Sebagai gantinya, kaum muslim ketika melaksanakan ibadah qurban, mereka menyembelih kambing atau kerbau.

Betapa hal itu menunjukkan keluhuran budi dan kedalaman ilmu beliau tentang teladan sikap saling menghargai dan ajakan untuk saling toleran terhadap sesama—nilai yang pada saat ini jarang dihargai dan disebarluaskan. Bahkan ajaran Sunan Kudus tersebut masih bertahan sampai sekarang, di masa postmodern yang penuh dengan perkembangan teknologi mutakhir dan banjir informasi kekinian.

Inilah yang kemudian menarik perhatian para pemeluk agama Hindu di Kudus untuk berduyun-duyun silaturrahim ke Sunan Kudus dan lantas banyak yang menjadi penganut agama Islam—agama perdamaian dan rahmatan lil-‘alamin.

Nilai toleransi lain yang diturunkan Sunan Kudus yang masih langgeng ialah bentuk pancuran atau padasan yang sampai sekarang difungsikan sebagai tempat wudlu’. Pancuran air yang berjumlah delapan tersebut mengadopsi dari ajaran Budha yaitu “Asta Sanghika Marga” (delapan jalan utama yang dijadikan pegangan hidup masyarakat pada masa itu).

Beliau sama sekali tidak menghilangkan atau menghancurkan tiap-tiap pancurannya yang dihiasi relief arca. Bagi Sunan Kudus itu bukan permasalahan yang musti dirumitkan. Malahan menjadi penambah unsur estetik (ornamen keindahan) tersendiri bagi masjid. Perangai yang lemah-lembut dan penuh toleransi menjadikan beliau panutan, suri tauladan, bagi masyarakat di Kudus sampai sekarang—ratusan tahun setelah wafatnya.

Sunan Kudus memang sudah wafat. Namun ajaran, tauladan, dan tradisi nilai-nilai toleransi, yang diwariskannya, akan tetap abadi. Tidak lekang oleh sekat-sekat ruang. Tidak lapuk oleh gempuran arus zaman. Itu karena beliau, sebagai ulama kharismatik pewaris Nabi, meneladani sang uswatun hasanah, Rasulullah Muhammad Saw.

Beliau sama sekali tidak meminta apa-apa, tidak berpamrih apa-apa, selain keselamatan, perdamaian, dan kerukunan antar-umat di tempat ia berdakwah. Sunan Kudus hanya berharap kepada Allah, bahwa cita-cita Islam—sebagai agama kasih-sayang—dapat terwujud di Bumi Nusantara ini melalui menumbuhkan cinta kasih satu sama lain.

Wejangan dari beliau yang sederhana, namun melekat di hati masyarakat kudus secara turun-temurun lewat tutur-lisan, salah satunya lagi adalah Gusjigang: Bagus, Ngaji, Dagang”. Merepresentasikan pesan Sunan Kudus tentang bagaimana hidup bahagia dan tenang di dunia-akhirat.

Pesan yang sudah melintasi angin, melampaui batas ruang dan waktu, disusun Sunan Kudus untuk mewakili kelengkapan bekal yang harus dipersiapkan dan dilakukan oleh masing-masing orang yang hidup.

Bagus menunjukkan akhlak yang harus senantiasa diperindah. Ngaji mengajak masyarakat untuk tidak henti-henti belajar, menggali ilmu semati-matinya sebelum pada akhirnya masuk ke liang lahat. Dan kata dagang diakhirkan oleh beliau, menjadi simbol bahwa urusan dunia bukanlah yang utama, namun tetap jangan sampai terlupakan. Wala tansa nashibaka minad-dunya.

Ketiganya menjadi akronim dari trilogi aspek kehidupan yang menjadi pilar-pilar penyokong bangunan kebahagiaan setiap hamba. Sunan Kudus seakan mengemas salah satu ayat Al-Quran secara apik dan mudah dikenang di hati juga pikiran masyarakat.

Beliau paham betul bahwa untuk menyampaikan suatu nilai dan ajaran, haruslah menggunakan kebijaksanaan, kelapangan jiwa serta kedalaman ilmu, agar apa yang disampaikannya tersebut menjadi awet, langgeng, bahkan abadi di hati.

Wallahu A’lam.

 

Sumber Bacaan :

  1. Agus Sunyoto, Atlas Walisongo, Depok: Pustaka IIMaN dan LESBUMI PBNU. Cet-II 2016.
  2. Wawan Susetya, Islam-Jawa, Yogyakarta: Penerbit Narasi. Cet-I 2007.
  3. Yudhi AW, Babad Walisongo, Yogyakarta: Penerbit Narasi. Cet-I 2013.