Belakangan kita makin sering membaca posting di medsos yang mencaci-maki atau menghina orang yang sudah meninggal dunia, hanya karena yang meninggal itu tidak kita sukai kelakuannya, beda pendapat dengan kita, atau bahkan karena merasa sok tahu bahwa pasti yang meninggal itu su’ul khatimah. Padahal Nabi mengajarkan dalam salah satu pesannya agar kita hanya menyebutkan kebaikan almarhum dan mendoakan agar husnul khatimah dan/atau diampuni oleh Allah.
Setiap dari kita punya kebaikan dan keburukan atau aib. Kalaupun saya, misalnya kelihatan baik, itu karena Allah menutupi sebagian besar keburukan dan aib saya. Karena itu sebelum nyawa lepas dari badan, kita tak bisa menjamin diri kita sendiri dengan ikhtiar sendiri bahwa diri akan selamat di saat sakaratul maut.
Nabi juga mengatakan “innamal a’malu bi khawatimiha,” amal itu kualitasnya akan tampak di akhir. Bisa jadi niat awal kita bagus, tapi tidak jarang di tengah-tengah perjalanan sampai akhir niat dan kelakuan kita menyimpang dari niat semula karena kita tidak tahan godaan setan dan, terutama, godaan hawa nafsu kita sendiri yang pandai menipu diri secara halus, bahkan bisa menunggangi amal-ibadah kita demi kepuasan hawa nafsu kita.
Karena itu dalam setiap rakaat shalat kita membaca ihdinashiratal mustaqim, dan dianjurkan membaca doa husnul khatimah menurut pandangan ALlah, bukan pandangan manusia.
Kesadaran semacam ini perlahan-lahan akan menempatkan kita dalam kondisi khauf dan raja’, takut dan harap.
Kita takut bahwa walau sudah beramal namun tidak diterima dan tidak diridhai karena Dia Maha Adil dan Maha Memperhitungkan, dan karena kita sadar amal masih bercampur-baur dengan nafsu-nafsu pribadi dan pamrih, masih sulit benar-benar lillahi ta’ala; dan kita sekaligus berharap bahwa amal akan diterima karena Dia adalah al-Rahman dan al-Rahim, juga Maha Menerima Taubat dan Maha Memaafkan.
Selain itu, hamba juga masih punya harapan terakhir untuk selamat: yakni mendapat syafaat dari kanjeng Nabi Muhammad.
Ini barangkali secara teori akan tampak seperti dalam kondisi ketegangan spiritual, namun para ulama yang arif mengatakan, orang yang berada dalam kondisi khauf dan raja’ kepada Tuhan dalam menjalani laku hidup ini, ia akan seperti punya sayap yang bisa menerbangkannya mendekat ke hadirat Ilahi.
Minimal, seseorang tidak akan bisa sombong, tak bisa membanggakan amalnya yang jauh lebih sedikit dan tak berarti dibandingkan karunia-Nya.
Perlahan-lahan orang seperti ini akan luruh sifat takaburnya atau kesombongannya, malu kepada Tuhan jika merasa paling benar sendiri karena selalu saja ada manusia yang sangat mungkin lebih mulia di hadapan Allah ketimbang dirinya sendiri.
Ia lalu akan sibuk tafakur dan introspeksi diri, sibuk memperbaiki akhlak-perbuatan dan mensucikan jiwa, sehingga tidak gampang membenci, menyalahkan, menghakimi dan menyesat-nyesatkan orang lain hingga pada titik di mana Allah memberinya karunia untuk melihat sifat-sifat baik dan buruk, entah itu yang terang maupun yang tersembunyi dan halus di dalam dirinya sendiri beserta dengan hubungan sifat-sifat itu dengan Qudrat-Iradat Ilahi.
Ketika seseorang mulai mengenali seluruh sifat-sifat dalam dirinya sendiri, mengenali bagaimana ketergantungan mutlak dari keseluruhan diri kepada Tuhannya, maka ia akan mulai mengenal dirinya sendiri dengan izin dan pertolongan-Nya.
Ia lalu siap merealisasikan “man arafa nafsahu faqad arafa rabbahu.”