Dalam seminar nasional dan annual meeting yang dihelat oleh asosiasi ilmu Alquran dan Tafsir se Indonesia pada 10 Desember 2016 di Pesantren Pandanaran Yogya, saya menguraikan tentang dinamika tafsir Alquran di nusantara, dari sisi bahasa dan aksara yang dipakai, asal usul tafsir, basis sosial budaya penafsir, dan kontestasi yang dilakukan. Saya juga mengemukakan bagaimana konteks tradisi dan budaya nusantara bisa dirasakan dalam karya tafsir tersebut.
Usai acara, saya didekati oleh K.H. Husein Muhammad, kiai pesantren yang alim dan bersahaja, sambil menepuk pundak saya yang kala itu rawuh sebagai pembicara di sesi yang lain. Padahal, ketika itu saya hendak ngalap berkah: mencium tangan beliau lalu selfie bareng. Dalam kesempatan itu kiai Husein bertanya tentang aktualisasi tafsir-tafsir karya ulama nusantara tersebut dalam kehidupan umat Islam di Indonesia.
Pertanyaan yang tak mudah dijawab. Pertanyaan yang sangat terkait dengan pembelajaran tafsir di madrasah, pondok, dan masyarakat umum. Pembelajaran tafsir di sejumlah pesantren secara umum memang memakai kitab tafsir karya ulama Timur Tengah sebagai bahan ajarnya, seperti Tafsir Jalalain dan Tafsir al-Baidlawi. Survei pemerintah Belanda pada 1880-an tentang kitab-kitab yang dipakai di pesantren di pesisir Jawa telah menginformasikan hal tersebut.
Tapi patut dicatat bahwa ada beberapa kiai pesantren yang menulis tafsir yang kemudian dipakai sebagai bahan ajar atau juga menjadikan tafsir ulama nusantara sebagai bahan ajar. Misalnya, K.H. Ahmad Sanusi menulis tafsir Raudlah al-Irfan (ditulis dengan aksara Pegon dan teknik makna gandul) mula mula merupakan bahan ajar di pesantren Gunung Puyuh Sukabumi. Tafsir Jami’ al-Bayan karya K.H. Muhammad bin Sulaiman Al-Soloy hingga kini dipakai bahan ajar di pesantren di Purwodadi. Tafsir Madrasi ditulis dengan bahasa Arab, karya Oemar Bakry hingga kini dipakai di pesantren Gontor. Almarhum K.H. Husein Muzakkin Pati, ketika mengajar tafsir di MA. Salafiyah Kajen, dulu juga memakai tafsir Al-Ibriz sebagai bahan ajar. Meniru kiai saya itu, di kampung dalam pengajian ibu ibu, saya membaca tafsir Al-Ibriz, sekalian ngalap berkah. Di beberapa tempat di Yogya, tafsir Al-Iklil karya K.H. Misbah Mustafa, juga dipakai bahan pengajian di pengajian kampung.
Satu lagi, tafsir yang ditulis oleh K.H. Ahmad Basyir Abdullah Sajjad, pengasuh pesantren An-Nuqayah Guluk Guluk, Sumenep, Madura. Beliau adalah Abah dari Prof. Dr. Abd A’la. Karya tafsirnya ini ditulis dengan bahasa Arab dan disesuaikan dengan audiennya. Tekniknya tidak mengacu pada tartib mushaf, juga tidak mengacu pada topik tertentu. Tapi beliau memilih ayat-ayat tertentu yang dipandang penting. Ada dua hal utama yang dilakukan, yaitu menjelaskan lafadz yang rumit dan kemudian menjelaskan makna pokok di setiap ayat yang ditafsirkan.
Tafsir ini dipakai sebagai bahan ajar di Madrasah Diniyah di pesantren Al-Nuqayah. Para santri setidaknya memperoleh tiga keuntungan. Pertama, tafsir ini ditulis secara praktis sehingga mudah dipahami. Kedua, santri sekaligus bisa belajar bahasa Arab. Ketiga, santri akan memahami kata kunci dalam ayat serta posisinya dalam siyaq al-kalam.
Inilah salah satu tradisi pesantren yang hingga kini masih hidup. Ada keprigelan yang patut dilestarikan dan ada rasa nusantara yang bisa kita cecap. Berkah dan mberkahi.