Saya pertama kali belajar ilmu fikih pada tahun 2005. Sebagai lulusan SD yang nyantri di sekolah Tsanawiyah, saya merasa cukup tersiksa. Maklum, pelajaran yang pernah saya kuasai saat SD sama sekali tidak muncul di kelas Tsanawiyah. Apalagi ilmu fikih yang saya pelajari di madrasah diniyah sore seusai SD juga berbeda dengan fikih di pesantren. Jika di madrasah diniyah yang diajarkan adalah tata cara wudlu, tata cara salat, dan tata cara mengurus jenazah, di pesantren ajarannya lebih terperinci lagi. Ini yang membuat saya cukup tersiksa. Apalagi istilah-istilah Arab yang sama sekali asing di telinga saya.
Kitab Fikih pertama yang saya pelajari ialah Fathul Qorib. Sebenarnya ada yang lebih dasar bernama Safinatun Najah, tetapi karena saya langsung Tsanawiyah, tidak ikut kelas Diniyah Ula, maka kitab kuning (turats) yang saya pelajari langsung kitab karangan Abu Syuja’ Al-Asfahani yang biasa disebut Taqrib tersebut. Saya mulai mengenal apa itu Kitab At-Thaharah, macam-macam air, hingga bab tentang perbudakan (Kitabah).
Pada awal belajar, saya hanya ingin menguasai ilmu tersebut. Saya baru paham mengenai konsep mazhab di kelas 2 Tsanawiyah. Saat itu saya mempelajari kitab Tuhfatut Thullab karya Abu Yahya Zakariya Al-Anshari. Kitab yang lebih tebal tersebut saya pelajari hingga kelas 1 Aliyah. Di sini kami mulai diperkenalkan mengenai perbedaan pandangan antar ulama yang masih satu mazhab, Syafi’iyah. Misalnya mengenai arah kiblat. Ada perdebatan antara ulama yang masih menganut pendapat lama Imam Syafii (qoul qodim) dan pendapat baru (qoul jadid).
“Ini baru mazhab Syafi’iyah. Nanti kalian akan dikenalkan dengan perbedaan yang lebih jauh antar-mazhab fikih,” ujar sang guru ketika menjelaskan. Ia sekaligus mewanti-wanti bahwa perbedaan ini bukanlah bentuk perpecahan antar-ulama salaf. Justru, perbedaan ini sebuah rahmat karena masing-masing manusia dibekali akal oleh Allah SWT sehingga perspektifnya bisa beragam.
Di kelas 2 Aliyah, saya mendapat pelajaran mengenai Muqaranatul Madzahib (perbedaan antar-mazhab). Saya cukup terkejut betapa ulama begitu kritis dalam mengkaji berbagai teks. Bagi saya yang sejak kecil ternyata diajarkan Fikih mazhab Syafii, mazhab yang banyak dianut di Indonesia dan negara Asia Tenggara pada umumnya, mengenal sumber hukum ada 4, yaitu Alquran, Hadits, Ijma’ Ulama, dan Qiyas. Sementara mazhab lain pendekatannya berbeda. Ada yang berdasar logika seperti mazhab Hanafi, atau berdasarkan kebiasaan masyarakat Madinah seperti Maliki.
“Semua metode ditujukan pada kemaslahatan,” papar sang guru. Ia menilai tidak ada yang paling baik, dan tidak ada yang salah jika meletakkan perbedaan ini sebagai sebuah keragaman. Ia sekaligus menjelaskan bahwa yang namanya bermazhab harus menganut salah satu pendapat. Jangan mencampur-adukkan, apalagi mengambil yang paling mudah di antara berbagai pendapat yang ada.
“Kenapa kitab yang dikenalkan kepada kalian adalah Syafiiyah? Karena mazhab ini yang paling dianut. Jika kalian hidup di masyarakat yang bermazhab Syafii tapi malah beda sendiri dengan bermazhab Maliki, nanti malah jadi kacau,” jelasnya..
Pengalaman belajar di pesantren ini begitu membekas di hati saya. Sewaktu guru saya mengatakan bahwa inti Ilmu Fikih bukan kebenaran, tetapi alat menuju kebenaran, saya sadar bahwa para ulama melakukan segala upaya untuk menuntut kita para awam ini menjalankan ritual ibadah dengan benar sesuai tuntunan Nabi Muhammad SAW. Karenanya tidak perlu diperdebatkan. Namun sebagai orang yang belajar agama, kita juga dituntut arif dalam mengamalkan ilmu. Jangan sampai kita membuat pembedaan di tengah masyarakat yang sudah menjalankan tuntunan ilmu dengan benar.
Dalam kasus di Indonesia yang dari dulu sudah menggunakan mazhab Syafii, maka untuk mengajari masyarakat awam tidak perlu lagi mengambil mazhab yang lain. Sebab tidak semua masyarakat bisa mencerna varian dalam bermazhab ini. Kecuali jika diterapkan untuk diri sendiri tidak ada masalah. Namun jika diajarkan, maka nilai-nilai kearifan dalam beragama penting untuk diterapkan.
Guru saya mencontohkan kasus anjing. Ia bertanya, apa hukumnya memegang anjing? Kami kompak menjawab najis mughaladhah atau najis berat. Untuk membersihkannya harus dicuci dengan air sebanyak tujuh kali dengan salah satu di antaranya diselingi dengan mengusap debu di bagian yang terkena anjing tersebut.
“Ya, itu karena kalian Syafiiyah. Bagi mazhab lain, ada yang mengatakan anjing tidak najis. Karenanya jika kalian pergi ke Mesir, ada banyak ulama ahli tafsir yang memelihara anjing di rumahnya.”
Saya terkejut dengan pemaparan itu. Sejak kecil hingga masa Aliyah tahun 2011 lalu, saya belum mengenal beragamnya mazhab Fikih dalam Islam. Bahkan hewan paling najis yang saya kenal pun, ternyata ada yang menghukumi tidak najis. Sang guru menegaskan bahwa sekali lagi kami diajari berbagai aliran fikih bukan untuk diambil enak-enaknya saja. Sebab mayoritas ulama mengatakan bahwa mencampuradukkan mazhab, lebih-lebih hanya mengambil enaknya saja, adalah dosa.
“Kalian perlu belajar ini agar tidak jadi orang yang kagetan,” pungkasnya. Ya, saya baru merasakan betapa pelajaran dulu sangat berharga. Sebab hari ini saya lihat banyak orang kagetan. Saya sangat maklum karena mereka belum berkesempatan untuk belajar tentang perbedaan dan menghargai keberagaman dalam beragama. Semoga suatu saat semua mendapat kesempatan. Semoga saja. Wallahua’lam.