Belajar Menyembunyikan Kebaikan dari Sahabat Ma’ruf al-Karkhi

Belajar Menyembunyikan Kebaikan dari Sahabat Ma’ruf al-Karkhi

Belajar Menyembunyikan Kebaikan dari Sahabat Ma’ruf al-Karkhi
Ilustrasi seseorang yang sedang merenungi diri.

Muhammad bin Manshur, suatu hari, pernah berpuasa dan mulai saat itu berniat untuk tidak memakan sesuautu kecuali yang sudah pasti kehalalannya. Ternyata Allah mengujinya dengan tidak memberinya apapun yang bisa dimakan.

Hingga ia berpuasa selama empat hari lamanya. Selama berpuasa itu, ia tidak berbuka apa-apa. Hari pertama, aman. Ia kuat melakoninya. Hari kedua, masih sama, aman. Hari ketiga. Sudah mulai tidak kuat. Tapi ia masih bisa bertahan. Hari keempat, perutnya sudah mulai berontak. Badannya lemas.

Meski demikian, Ibnu Manshur tetap pada pendirian dan niatnya di awal: hanya memakan hal-hal yang halal secara jelas. Saat itu, ia bergumam dalam hati, “Malam ini, semoga saya bisa makan di rumah orang yang makanannya disucikan oleh Allah”.

Tiba-tiba, terbesit dalam hatinya, bahwa ia harus pergi ke rumah Syaikh Ma’ruf. Selepas shalat maghrib, ia berangkat ke rumah Syaikh Ma’ruf. Setibanya di sana, ternyata Syaikh Ma’ruf masih mengerjakan shalat maghrib bersama para jamaahnya. Ibnu Manshur pun menunggu.

Setelah shalat selesai, para jamaah pulang ke rumah masing-masing. Kini, di masjid itu hanya ada Syaikh Ma’ruf, Ibnu Manshur, dan seorang lelaki. Syaikh Ma’ruf menyapa Ibnu Manshur, “Wahai Ibnu Manshur, malam ini pergilah ke rumah lelaki ini dan makan malamlah bersamanya!”

Dalam pemahaman Ibnu Manshur, kalimat tersebut bermakna perintah kepadanya untuk mendatangi rumah lelaki itu dengan membawa makanan. Makanan itulah yang nantinya akan dimakan bersama-sama.

Ibnu Manshur membatin, “Waduh, bagaimana ini, saya sudah berpuasa empat hari dan sama sekali tak bisa berbuka, kok, malah disuruh ke sana membawa makanan”. Ia pun mengutarakan bahwa ia tidak memiliki apa-apa.

“Wahai Syaikh, saya sama sekali tidak memiliki sesuatu yang bisa dimakan malam ini,” kata Ibnu Manshur berkata apa adanya.

Mendengar jawaban itu, Syaikh Ma’ruf diam sejenak dan mengulangi apa yang sampaikan sebelumnya, “Wahai Ibnu Manshur, malam ini pergilah ke rumah lelaki ini dan makan malamlah bersamanya!”

Ibnu Manshur memberikan jawaban yang sama, yakni dia tidak memiliki makanan sedikit pun. Sikap Syaikh Ma’ruf juga masih sama: diam sejenak dan memerintahnya lagi. Karena memang tidak memiliki apapun untuk dimakan, Ibnu Manshur pun tetap menegaskan bahwa ia sama sekali tak memiliki makanan.

Jawaban yang diutarakan Ibnu Manshur membuat Ma’ruf memanggilnya dan memberinya makanan, “Kesinilah!.”

Tidak makan apapun selama empat hari benar-benar membuat Ibnu Manshur tak kuat lagi untuk bergerak, bahkan hanya untuk sekadar berjalan menuju tempat Syaikh Ma’ruf yang jaraknya tidak jauh itu.

Dengan tertatih-tatih ia menuju tempat Syaikh Ma’ruf. Sejurus kemudian, Syaikh Ma’ruf memegang tangan Ibnu Manshur dan langsung memasukkannya ke dalam saku bajunya (Syaikh Ma’ruf). Di sana, Ibnu Manshur menemukan sebutir buah, sejenis buah pir, namun ada bagiannya yang sudah digigit. Buah itu langsung ia makan.

Buah itu enak sekali dan langsung bisa membuat badan Ibnu Manshur terasa segar. Tak hanya itu, sangking begitu segar dan enaknya, setelah memakan buah itu, Ibnu Manshur tak lagi membutuhkan minum. Subhanallah.

Kisah ini diceritakan langsung oleh Ibnu Manshur kepada para jamaah pengajiannya dalam satu kesempatakan. Mendengar kisah ini, ada salah satu jamaah yang bertanya, “Apakah itu benar-benar Anda yang mengalaminya?”

“Iya. Bahkan, hingga kini, kalau akan makan sesuatu, rasa buah itu masih aku rasakan. Selama aku masih hidup, aku mohon kepada kalian untuk tidak menceritakannya kepada siapapun. Cukup kalian saja yang mengetahui,” jawab Ibnu Manshur memberi wasiat.

***

Selain tentang keberkahan dan karamah Syaikh Ma’ruf al-Karkhi, lewat kisah yang ditulis Ibnu Jauzi di atas kita juga bisa belajar tentang bagaimana merahasiakan kebaikan. Ia (rahasia) hendaknya hanya diceritakan kepada mereka yang benar-benar bisa menjaganya. Terbaca dalam kisah di atas, Ibnu Manshur hanya bercerita kepada para jamaahnya, yang ia yakini akan bisa menjaga rahasia tersebut.

Allah berfirman:

قَالَ يَا بُنَيَّ لَا تَقْصُصْ رُؤْيَاكَ عَلَى إِخْوَتِكَ فَيَكِيدُوا لَكَ كَيْدًا إِنَّ الشَّيْطَانَ لِلْإِنْسَانِ عَدُوٌّ مُبِينٌ

“Dia (ayahnya) berkata, “Wahai anakku!, Janganlah engkau ceritakan mimpimu kepada saudara-saudaramu, mereka akan membuat tipu daya (untuk membinasakan)mu. Sungguh, setan itu musuh yang jelas bagi manusia.” (QS. Yusuf [12]: 5)

Lewat terjemah ayat di atas, kita membaca bahwa sang ayah (Ya’qub) melarang anaknya (Yusuf) untuk menceritakan mimpi yang ia alami kepada saudara-saudaranya. Menurut Wahbah al-Zuhaili, salah satu pelajaran yang bisa didapatkan dari ayat ini adalah tentang menyembunyikan nikmat. Yakni disembunyikan dari orang-orang yang dikhawatirkan akan berbuat kelicikan dan hasud.

Selain rawan menyebabkan sifat hasud bagi yang mendengarnya, menceritakan nikmat kepada pihak lain, juga rawan menyebabkan hati kita terjangkiti rasa sombong. Harus diakui, memang di sisi yang berbeda, dalam beberapa kondisi, kita disarankan untuk juga menceritakan kebaikan yang kita alami kepada orang lain. Tujuannya agar bisa membuat mereka terdorong untuk juga menirunya.

Walhasil, kebaikan adalah rahasia kita dengan Allah SWT. Kita diberi peluang untuk melakukan dua hal: menceritakan atau menyembunyikannya. Keduanya memiliki dampak dan resiko masing-masing. Semua tergantung kita. Wallahu a’lam.

 

Sumber:

Al-Zuhaili, Wahbah bin Musthafa. Tafsir al-Munir. Damaskus: Dar al-Fikr al-Ma’ashir, 1418.

Ibn al-Jauzi, Jamaluddin Abi al-Farj bin. ’Uyun al-Hikayat. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 2019.