Belajar Menyelesaikan Konflik dari Gus Dur

Belajar Menyelesaikan Konflik dari Gus Dur

Belajar Menyelesaikan Konflik dari Gus Dur

Belum lama ini telah terjadi penembakan di Papua tepatnya di Kabupaten Nduga Provinsi Papua. Korban tewas dari masyarakat sipil dan prajurit berjumlah 20 orang dengan 19 dari para pekerja sipil dan 1 orang dari pihak aparat, seperti dilansil bbc.com/indonesia. Pemerintah melalui Presiden Joko Widodo sudah menyatakan sikap bahwa para pelaku adalah kelompok kriminal bersenjata (KKB) yang akan ditumpas hingga ke akar-akarnya.

Dalam menghadapi konflik dengan orang Papua, kita patut belajar dari Presiden ke-4 RI, Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, sapaan akrabnya. Dialah Presiden pertama yang mengganti nama Irian Jaya dengan Papua, memperbolehkan pengibaran bendera bintang kejora bersama dengan bendera merah putih, dan membuka dialog dengan orang-orang Papua. Suatu kemewahan yang sebelumnya tidak pernah dirasakan ketika wilayah ini dijadikan daerah operasi militer (DOM).

Menanggapi jejak Gus Dur dalam penyelesaian konflik dengan masyarakat Papua, Sinta Nuriyah, istri mendiang Gus Dur sekaligus mantan Ibu Negara, memberikan uraian lengkap sebagaimana dimuat dalam kata pengantar buku Karya Ahmad Suaedy Gus Dur, Islam Nusantara, & Kewargaan Bineka: Penyelesaian Konflik Aceh & Papua 1999-2001.

Selain memosisikan KKB sebagai masyarakat sipil, menurut Sinta, Gus Dur juga menggunakan fikih dan tasawuf sebagai basis penyelesaian konflik. Kaidah yang dijadikan pijakan Gus Dur adalah tasharruf al-imam ‘ala al-ra’iyyah manuthun bi al-maslahah (kebijakan pemimpin atas rakyat harus didasarkan pada kemaslahatan). Gus Dur sebagai kepala Negara saat itu berusaha keras agar tidak terjadi kontak senjata dan pertumpahan darah di Papua, baik dari pihak prajurit TNI/Polri maupun dari OPM (organisasi papua merdeka). Karena walau bagaimana pun, penyelesaian konflik dengan baku tembak, akan menimbulkan dampak traumatik bagi semua pihak. Yang menjadi korban terutama adalah masyarakat sipil di sekitar konflik.

Sinta Nuriyah mengatakan bahwa konsep al-daruriyat al-khams (lima kebutuhan dasar) yakni kebebasan beragama (hifz al-din), mencerdaskan kehidupan bangsa (hifz al-‘aql), penegakan hukum dan keamanan (hifz al-nafs), perlindungan keluarga (hifz al-nasl), dan kesejahteraan ekonomi (hifz al-mal) dalam perspektif Gus Dur adalah tugas Negara yang wajib ditunaikan untuk menyelesaikan konflik.

Gus Dur, dalam keterangan Sinta, juga menerapkan ajaran tasawuf yaitu kesetaraan makhluk di hadapan Tuhan. Selaku kepala Negara, Gus Dur tidak gengsi untuk melakukan dialog secara personal dengan para aktivis OPM dan GAM pada waktu itu. Ia hadir sebagai pribadi, dengan melepaskan segala atribut kepresidenannya, yang berbincang bersama orang yang oleh sebagian pihak dianggap sebagai musuh Negara. Menurut Sinta, atas dasar inilah kemudian rasa saling percaya dan rasa kebangsaan terbangun di antara kelompok ini.

Melalui sepak terjang Gus Dur ini, Sinta menambahkan, kita mendapatkan pelajaran berharga untuk selalu merawat dan menjaga rasa kebangsaan dengan prinsip-prinsip kemanusiaan. Penulis sendiri menganggap bahwa pembangunan di Papua perlu melibatkan orang-orang Papua. Hal ini semata-mata agar pembangunan selalu memperhatikan akar kebudayaan Papua. Apa yang telah terjadi, tetap perlu diselesaikan secara elegan oleh Negara dengan melibatkan seluruh pihak terkait.

Selengkapnya, klik di sini