Alkisah, pada suatu ketika Kanjeng Nabi SAW, bersama beberapa sahabat melakukan sebuah perjalanan. Salah seorang dari sahabat kebetulan ada yang membawa bekal seekor kambing. Di tengah perjalanan, Kanjeng Nabi SAW, dan para sahabat singgah untuk sekedar melepas lelah dan penat.
Entah itu karena saking lelah dan lapar, seorang sahabat tiba-tiba saja nyeletuk, “Aku akan menyembelih kambing ini”. Mendengar celetukan tersebut, salah seorang sahabat pun menimpalinya, “Kalau begitu aku yang akan mengulitinya nanti”, tak selang begitu lama salah seorang sahabat lanjut menimpalinya jua, “Ya sudah kalau begitu aku yang nanti akan memasaknya.”
Mendengar sahabat-sahabat yang saling sahut ihwal kambing untuk dapat berbakti kepada Kanjeng Nabi SAW, lantas Kanjeng Nabi SAW, tersenyum dan lalu menimpali.
“Ya sudah kalau begitu aku yang akan mengumpulkan kayu bakar” sela Kanjeng Nabi.
Para sahabat yang mendengar perkataan Kanjeng Nabi lantas saling lempar pandangan, dan para sahabat berkata, ”Wahai Rasulullah, sudahlah, cukup kami yang melakukan semua ini, engkau istirahat saja.”
Lantas Kanjeng Nabi menimpali, ”Aku tahu kalian akan mencukupiku, tetapi aku membenci bila aku dilebihkan di antara kalian. Sesungguhnya Allah membenci hamba-Nya yang menginginkan diperlakukan istimewa di antara sahabat-sahabatnya.”
Nah, dari kisah sederhana di atas kita menjadi paham, meski sebagai pemimpin, bahkan sebaik-baiknya manusia, beliau tidak ingin dirinya terkesan khusus dari sesamanya. Demikianlah seorang pemimpin seharusnya. Setiap pemimpin perlu, bahkan harus meneladani pola zikir, pola fikir, dan pola sikap kepemimpinan Kanjeng Nabi SAW.
Beliau selalu berusaha populis, merakyat. Juga, sebagai pemimpin beliau tidak hanya sebagai pemegang komando, ”tukang perintah”, tetapi beliau turut serta bekerja, berbaur bersama rakyatnya.
Shalawat dan salam bagimu Kanjeng Nabi. Kami selalu berkata “kami mencintaimu”, namun sayangnya kami masih saja tertatih-tatih, terseok-seok untuk bisa mencintai dengan sungguh-sungguh dengan meneladani akhlakmu. Semoga di musim semi pertama ini –bulan Rabi’ul Awwal– percikan syafaatmu dapat membasuh rasa penat umatmu yang terseok-seok ini.
(Sumber bacaan: Aniisul Mu’minin, karya Syaikh Shafwak Sa’dallah al-Mukhtar)