Perbedaan pendapat biasa terjadi sejak dahulu hingga sekarang. Begitu juga dengan para Ulama’ terdahulu, terkadang beliau-beliau memiliki perbedaan pendapat antara yang satu dengan yang lainnya. Demikian pula yang terjadi terhadap keempat Imam Madzhab yang hari ini paling banyak diikuti oleh umat muslim.
Terkadang para Imam Madzhab ini memiliki sudut pandang yang berbeda dalam menghadapi suatu kasus. Meski mendapati perbedaan di antara mereka, para Imam ini tetaplah saling menghargai satu sama lain.
Dalam sebuah riwayat diceritakan, pada suatu hari Imam Syafi’i datang ke Madinah dengan tujuan untuk menuntut ilmu kepada Imam Malik. Imam Malik pun memuliakannya sebagaimana ia memuliakan orang berilmu lainnya.
Kemudian di hadapan Imam Malik, Imam Syafi’i melantunkan bait-bait al-Muwaththa’ dengan cara menghafal dan sungguh fasih. Bacaannya membuat Imam Malik terkagum-kagum sambari memujinya, sambil meminta Syafi’i untuk memperbanyak lagi hafalannya.
Saat Imam Syafi’i tinggal di Irak, beliau mulai menyusun kitab qadim(lama)nya yang berjudul Al-Hujjah. Di dalam kitab Al-Hujjah inilah, beliau banyak memasukkan fatwa-fatwa atau ajaran-ajaran dari imam-imam sebelumnya, yakni imam Abu Hanifah dan Imam Maliki.
Dalam kisah yang lain diceritakan saat Imam Syafi’i dan Imam Maliki saling berkunjung ke rumah masing-masing, Imam Syafi’i yang dalam ajarannya mensunnah–ab’adkan qunut dan setiap mendirikan solat subuhnya beliau selalu menggunakan qunut.
Namun, tiba saat beliau menginap di rumah Imam Malik lantas ketika solat subuh diminta menjadi Imam, beliau tidak menggunakan qunut, sebab Imam Maliki dikenal dalam ajarannya tidak pernah memakai qunut dalam solat subuhnya.
Begitu juga saat Imam Maliki menginap di rumah Imam Syafi’i, dan diminta untuk mengimami solat subuh maka Imam Maliki akan menggunakan qunut dalam solat subuhnya untuk menghormati Imam Syafi’i yang sedang berposisi sebagai ma’mun.
Sekalipun ada beberapa perbedaan antar Imam Madzhab yang satu dengan yang lain, namun tidak akan mengurangi rasa saling menghormati di antara mereka. Hal inilah yang menjadi tauladan bagi kita, saling mencintai, menghargai, dan mengasihi di dalam perbedaan.
Jangan jadikan perbedaan sebagai alasan untuk kita saling membenci dan terpecah-belah, namun jadikanlah mereka sebagai alat pemerkuat ikatan keislaman kita.
Contoh baru lagi, selain menghormati dan menghargai Imam Malik, Imam Syafi’i juga mengagumi Imam Abu Hanifah. Sekalipun mereka tidak pernah bertemu secara langsung, tetap Imam Syafi’i sangat menghargai Abu Hanifah dengan cara mempelajari ajaran-ajaran Abu Hanifah melalui kitab-kitab dan murid beliau.
Imam Syafi’i pernah berdialog dengan salah satu murid Imam Abu Hanifah yakni Muhammad bin al-Hasan, untuk mendalami ajaran-ajarannya. Dalam syair-syair karya Imam Syafi’i juga membuat sebuah gubaha syair khusus untuk mengagung-agungkan Abu Hanifah.
Imam Ahmad bin Hambal juga pernah menceritakan, bahwa suatu hari beliau pernah bertanya kepada ayahnya, “Wahai ayahku, kedudukan apakah yang dimiliki Syafi’i? Karena aku sering mendengarmu mendoakannya.”
Ayahnya menjawab, “Wahai putraku, Syafi’i itu bagaikan matahari bagi dunia, dan laksana ‘afiyat (kesehatan) bagi manusia. Perhatikanlah, apakah keduanya ini memiliki pengganti atau penerus?”
Seperti itulah sikap-sikap para Imam Madzhab, mereka saling mengagumi dan memuji sekalipun terkadang muncul perbedaan pendapat. Selama perbedaan itu hanya masalah furu’iyah (masalah cabang, bukan masalah pokok), mereka akan saling menghormati dan menghargai.
Kita sebagai umat muslim setelah beliau, sudah seharusnya meneladani sikap dan sifat para Imam Madzhab tersebut dalam menghadapi perbedaan. Dengan saling mengasihi tanpa rasa benar sendiri, dengan saling mencintai tanpa ada rasa membenci, dengan saling menghormati tanpa saling mengguri, dan dengan saling menyayangi tanpa mencurigai.