Belajar Mengenal Diri Sendiri dari Kisah Iblis

Belajar Mengenal Diri Sendiri dari Kisah Iblis

Belajar Mengenal Diri Sendiri dari Kisah Iblis

Suatu hari, iblis berkata, “Apa-apaan ini? Tidak adil! Apa pun yang dilakukan manusia, hal buruk apa pun yang terjadi, mereka selalu menyalahkan aku. Memangnya apa salahku? Aku tidak bersalah! Begini saja, akan aku tunjukkan kepadamu bagaimana aku selalu dituduh atas semua hal-hal buruk yang terjadi.”

Di sana ada seekor domba jantan yang sangat kuat, yang lehernya diikat dengan tali ke sebuah pasak yang menancap di tanah. Iblis menggoyang pasak itu, kemudian berkata, “Nah. Cuma itu yang kulakukan. Hanya itu.”

Domba itu menanduk-nanduk sehingga pasaknya tercabut dari tanah. Pintu pemilik sedang terbuka, dan di dinding ruang masuk ada sebuah cermin antik yang indah. Domba itu melihat bayangannya sendiri di kaca sehingga ia merunduk, mengambil ancang-ancang dan berlari menyeruduk. Cermin itu pun pecah berantakan, berkeping-keping.

Terkejut, nyonya rumah segera lari menuruni tangga dan menemukan cermin indahnya telah hancur berkeping-keping. Cermin itu merupakan warisan keluarganya, telah ada bersama keluarga mereka sejak bertahun-tahun lamanya. Ia berteriak ke para pelayan,

“Potong leher domba itu! Sembelih!”

Para pelayan pun segera memotong leher domba jantan itu.

Domba itu adalah binatang kesayangan suaminya, yang disuapi rumput dengan tangannya sendiri sejak domba itu masih sangat kecil. Ia sampai di rumah dan menemukan bahwa domba kesayangannya tidak lagi berkepala. Ia murka.

“Siapa yang membunuh dombaku? Siapa yang berani melakukan perbuatan sekeji ini?”

Istrinya balas membentak, “Aku yang menyembelihnya. Kubunuh karena dia menghancurkan cermin antik warisan orang tuaku.”

Suaminya yang sangat marah itu membalas, “Kalau begitu, sekarang kau kuceraikan!”

Kepada kakak si istri, para tetangga bergunjing bahwa dia diceraikan suaminya hanya gara-gara “potong kambing”.

Semua kakak dan adik si istri menjadi sangat marah. Mereka segera mengumpulkan seluruh sanak saudara dan segera memburu si suami, lengkap dengan senapan, pistol, dan parang. Si suami mendengar kabar tentang kedatangan mereka, dan ia pun segera memanggil seluruh kerabatnya untuk membelanya.

Dua keluarga besar itu pun memulai pertempuran besar mereka, mengakibatkan jatuhnya banyak korban terbunuh, dan banyak rumah-rumah mereka habis terbakar.

Kata iblis, “Kau lihat? Memangnya apa yang aku perbuat? Aku kan cuma menggoyang pasak. Kenapa semua hal buruk yang mereka lakukan jadi salahku? Aku hanya sedikit melonggarkan pasak.”

***

Kisah di atas disadur dari salah satu Bab dalam buku “Love is The Wine : Talks of a Sufi Master in America”. Buku ini berisi kumpulan ceramah-ceramah yang disampaikan oleh Syaikh Muzaffer Ozak Al-Jerrahi Al-Halveti, selama jangka waktu kurang lebih lima tahun.

Berawal dari kunjungan beliau ke California pada tahun 1980 dan 1981, termasuk juga kunjungan-kunjungannya secara berkala setiap musim semi dan musim gugur ke wilayah pantai timur Amerika. Syaikh Muzaffer sendiri wafat pada tahun 1985.

Materi-materi dalam buku ini dikompilasikan oleh salah satu muridnya, atau lazim disebut dengan istilah darwis, Syaikh Ragip Frager, Ph.D.

Seluruh kisah dalam buku ini merupakan tradisi lisan yang terus diriwayatkan turun-temurun dari seorang guru sufi kepada para muridnya, yang mana hal ini sudah berlangsung sepanjang ratusan tahun lamanya. Buku Love is The Wine yang diterbitkan oleh Philosophical Research Society ini memang menyajikan warna baru dalam pemahaman sufisme dan bisa dianggap sebagai salah satu pengantar yang baik dalam memahami esensi Islam maupun tasawuf itu sendiri. Salah satunya soal kisah Iblis sebagaimana yang disampaikan di atas.

Iblis atau setan seringkali dianggap sebagai pangkal kejahatan yang dilakukan manusia. Sering kita dengar bahwa banyak orang mengatakan bahwa ia telah terhasut atau termakan godaan setan sehingga melakukan perbuatan dosa atau maksiat.

Pada bulan Ramadhan ini, dikatakan bahwa iblis dan setan dibelenggu sehingga tidak bisa lagi menggoda manusia. Khusus hanya di bulan suci ini saja.

Maka boleh dikatakan bahwa pada bulan Ramadhan ini, seharusnya menjadi momen yang tepat bagi kita untuk mengenali diri sendiri.

Apabila di bulan suci ini, bulan ketika manusia diperintahkan untuk menunaikan ibadah puasa supaya mencapai derajat ketakwaan, kita masih saja berbuat dosa atau maksiat, maka sesungguhnya hal itu datang dari diri kita sendiri.

Saat kita berbuat zina di bulan Ramadhan, maka itu berasal dari hawa nafsu kita sendiri. Saat kita mencuri atau berbuat korupsi di bulan suci ini, rasanya kurang pantas kalau lagi-lagi kesalahan ditimpakan kepada godaan setan atau iblis.

Di kalangan sufi sendiri, dikenal hadis qudsi (walaupun diperdebatkan otentitasnya) yang berbunyi Man Arafa Nafsahu Faqod Arafa Rabbahu, yang artinya ‘Barangsiapa mengenal dirinya maka ia mengenal Rabbnya, Tuhannya’. Proses mengenal diri ini bukan hanya perkara mengenal potensi atau bakat yang ada dalam diri masing-masing. Melainkan juga termasuk mengenal hawa nafsu yang melekat dalam diri pribadi dan harus dikendalikan. Hal ini adalah hal yang penting dan esensial dalam proses pertaubatan, proses perjalanan kembali menuju Allah.

Sehingga, mau tidak mau akan timbul pertanyaan menggelitik. Apakah dengan absennya kehadiran iblis dan setan di bulan Ramadhan ini, sesungguhnya mereka telah ‘membantu’ manusia untuk mengenali diri sendiri?

Wallahu’alam