Belajar Mencintai Guru dari Para Guru Bangsa

Belajar Mencintai Guru dari Para Guru Bangsa

Bagaimana para Guru Bangsa ini mencintai guru mereka

Belajar Mencintai Guru dari Para Guru Bangsa

Ketika mengunjungi Museum Alat Kebesaran Diraja, di Bandar Seri Begawan, Brunei Darussalam, 6 November 2018 silam, saya mencermati kemegahan dan kemewahan berbagai benda milik Sultan Hassanal Bolkiah. Semua terasa luar biasa. Maklum, seorang raja. Tapi, ada sesuatu yang menarik.

Dalam sebuah kolom kaca, ada foto sepasang pria dan wanita setengah badan saja. Di tengah-tengahnya, ada mushaf. Dari keterangan di bawah foto, saya akhirnya tahu jika pria dan wanita sepuh di dalam foto tersebut merupakan guru sultan belajar al-Qur’an. Di bawah bimbingan keduanya Sultan Hassanal Bolkiah belajar mengeja huruf hijaiyah, lancar membaca al-Qur’an, hingga beberapa kali khatam.

Setelah berkeliling museum tersebut, saya jadi paham jika di dalamnya tidak ada foto orang lain, kecuali foto Sultan dan Permaisuri, ayah sultan almarhum Sultan Omar Ali Saifuddin II, dan dua guru ngajinya. Saya lupa tidak mencacat nama keduanya. Tapi pemandangan ini tidak bisa saya lupakan. Sultan demikian menghargai guru al-Qur’annya dengan membuatkan bagian khusus berisi foto keduanya.

Di ruangan lain, Sultan memajang berbagai seragam pasukan militer Inggris, karena dia merupakan alumni akademi militer Sandhurst. Tapi dia tidak memajang foto para perwira yang menjadi pendidiknya. Kesan yang saya tangkap, pemimpin Brunei itu sangat mencintai pendidik yang mengajarinya membaca al-Qur’an sekaligus menampilkan pesan tersirat agar rakyatnya senantiasa menghormati gurunya.

Jika dicermati, setiap pembesar senantiasa memberi ruang di hatinya bagi para guru di masa kecilnya, maupun mereka yang menempa jiwanya saat menjelang dewasa. Sukarno, misalnya, sangat terkesan dengan wong cilik yang mengasuhnya ketika kecil. Namanya Sarinah.

Dia hanya orang desa yang menjadi pembantu di rumah ayahnya. Tapi justru dari situ, Sukarno merasakan sentuhan pendidikan karakter sejak dini. Nama Sarinah sangat membekas di benak Sang Proklamator hingga kelak dia menulis berbagai kolom seputar perempuan lalu menerbitkannya dengan judul “Sarinah: Kewajiban Wanita dalam Perjuangan Republik Indonesia”. Nama Sarinah juga diabadikan oleh Sukarno dalam bentuk pusat perbelanjaan modern di awal 1960-an di Jakarta.

Bisa saja Bung Karno menamai bangunan monumental maupun buku berdasarkan nama salah satu istrinya, misalnya. Tapi tidak, Putra Sang Fajar tidak melakukannya. Dia ingin mengabadikan sosok sederhana di masa kecilnya melalui karya intelektual dan karya monumental. Sarinah demikian bermakna dalam hidupnya, sebagaimana dia mengagumi HOS. Tjokroaminoto. Nama terakhir ini yang membentuk karakter Bung Karno, memahat jiwanya, membentuk gugus pemikirannya, sekaligus nenempa mentalnya.

Tak jauh beda dengan Bung Karno, Gus Dur juga mengosongkan ruang di hatinya semata-mata untuk diisi dengan sosok para gurunya. Dia mengingat dengan baik nama Bu Rubiah, guru bahasa Indonesianya yang mengenalkan Gus Dur pada buku-buku berbahasa asing. Dia juga mengingat Iskandar Willem Buhl, muallaf Jerman santri ayahnya, yang mengajarkannya bahasa Beanda sekaligus memercikkan kecintaan terhadap musik klasik.

Soal guru-guru di kalangan para ulama, tak terhitung jumlahnya. Sebab, Gus Dur senantiasa belajar kepada mereka. Namun, yang paling mempengaruhi Gus Dur saat remaja hingga menjelang keberangkatan ke Mesir, bisa dihitung: KH. Khudlori, Tegalrejo, Magelang yang memberi warna tasawuf dan kecintaan terhadap kebijaksanaan para sufi agung; KH. Bisri Syansuri dalam kajian fiqh; KH. A. Wahab Chasbullah yang memercikkan visi nasionalisme-relijius dan KH. A. Fattah Hasyim dalam sentuhan kepesantrenan.

Ketika mondok di Krapyak, Yogyakarta, di bawah asuhan KH. Ali Ma’shum, selain belajar kitab Gus Dur juga banyak membaca cerita silat klasik. Misalnya cersil yang ditulis oleh Asmaraman Kho Ping Hoo. Menurut Gus Dur, sebagaimana dikutip Greg Barton, terdapat banyak falsafah Tiongkok yang mempengaruhi cara berpikirnya,
Misalnya, salah satu tema klasik yang terdapat dalam cersil Tiongkok adalah kesetiaan seorang murid kepada gurunya. Dalam kisah-kisah seperti itu, si murid belajar dari gurunya, baik pengembangan jiwa dan pembentukan karakter maupun keterampilan bersilat. Dalam dunia silat, kesetiaan kepada seorang guru dan tindakan mengejar kebajikan seringkali mengalami banyak cobaan, namun pada akhirnya berakhir happy ending.

Dalam banyak hal, dunia cerita silat, walaupun sepenuhnya mewakili dunia Tiongkok, sejajar dengan dunia pesantren. Di pesantren, kesetiaan dan rasa hormat kepada kiai, atau guru spiritual, merupakan hal yang paling penting. Di dunia pesantren, pembentukan watak merupakan bagian terpenting dari dunia pendidikan (Greg Barton, 2002: 55).

****

Dengan segala keterbatasan, kekurangan dan kelebihannya, seorang guru wajib dihormati. Bahkan Sayyidina Ali Karramallahu Wajhah pernah berkata, aku adalah hamba (budak) dari orang yang telah mengajariku walaupun hanya satu huruf. Ungkapan mulia dari pribadi yang luar biasa.

Demikian vitalnya posisi seorang guru, para ulama juga membuat istilah, Al ‘Ilmu ruhun tunfakh, la masailu tunsakh. Artinya, ilmu ini adalah ruh yang ditiupkan (oleh guru yang berrantai sanad ke dalam jiwa murid), bukan semata kumpulan masalah yang ditulis (di buku). Oleh karena itu, tidak heran jika para ulama senantiasa bersyukur memiliki seorang guru yang membimbing jiwanya dan memahat karakter pribadinya.

Seorang mahaguru ulama Nusantara, Syekh Mahfudz Attarmasi, memiliki Tsabat (kodifikasi sanad/matarantai intelektual) berjudul “Kifayah Al-Mustafid li Ma Ala Asanid”. Tsabat (yang berarti hujjah), kita tahu, adalah sebuah buku yang memuat matarantai intelektual penulisnya. Bagi ulama wilayah Timur, ini disebut “Tsabat”, di Barat (ahlul maghrib) disebut sebagai “Fahras”.

Dalam buku tipis yang diverifikasi oleh ‘Allamah al-Muhaddits Syaikh Yasin bin Isa al-Fadani, ulama keturunan Minangkabau, ini tertulis semua matarantai intelektual Syaikh Mahfudz. Nama para guru yang mengajarinya sebuah kitab, nama gurunya para guru, terus bersambung ke atas, hingga ke penulis kitab.

Dengan cara ini, Syekh Mahfudz bukan hanya mencatat nama guru mulia yang telah mengajarinya sebuah kitab maupun cabang ilmu, namun juga membuktikan apabila matarantai keilmuan itu sangat penting dalam kajian keilmuan Islam. Sebagaimana para pembuat keris di Jawa dan pembuat pedang di Jepang, jika diurut ke atas mereka memiliki guru/master tempatnya belajar teknik metalurgi. Tidak ujug-ujug membuat produk. Bisa gagal dan fatal akibatnya.

Di sinilah pentingnya sebuah matarantai keilmuan. Pentingnya memilih seorang guru yang bukan hanya memahami jalinan kasing sayang guru-murid (silaturrahim), melainkan pula pertautan jiwa (silaturruh). Andaikata tidak ada matarantai keilmuan, setiap orang merasa berhak bicara apapun tanpa mengetahui kualitas dirinya. Tentu, ini sangat berbahaya dan harus diakui telah sekarang menjadi trend di dunia “dakwah” di Indonesia.

Tradisi mencatat nama guru beserta silsilah keilmuan juga tetap dipegang teguh seorang Begawan fiqh Indonesia, KH. Muhammad Ahmad Sahal Mahfudz. Sanad keilmuan penggagas Fiqh Sosial itu tertera dalam kitab karangannya, “Faidh al-Hija fi Syarh Nail al-Raja fi Manzhumah Safinah al-Naja”. Dengan cara ini pula Kiai Sahal mendidik para santrinya agar senantiasa berpegang teguh pada rel keilmuan yang telah terwariskan secara turun temurun dari para salafus saleh dan teruji dinamika zaman.

Dari berbagai pembesar yang telah saya sebut di atas, mereka memiliki satu ciri yang sama, yaitu kerendahan hatinya mengabadikan nama para guru yang telah menempa jiwanya. Mereka tahu, di antara ciri orang yang tidak tahu diri adalah mereka yang melupakan jasa para gurunya.
Wallahu A’lam Bisshawab