“Kiai,” tanya sejumlah santri, “sesungguhnya agama itu apa?”
Tak ada jawaban. Suasana sejenak hening. K.H. Ahmad Dahlan lalu mengambil biola yang ada di sampingnya dan menggesek biola itu. Para santri heran tetapi takjub. Takjub mendengar suara biola yang melengking merdu. Komposisi nadanya menari-nari, membuai, menghanyutkan, dan mendamaikan. Jiwa terasa melayang, terasa terangkat naik dari bumi kerendahan.
Setelah menghentikan permainan biolanya, Kiai bertanya, “Apa yang kalian rasakan tadi?”
“Indah, Kiai,” ujar salah seorang santri.
“Seperti mimpi,” kata santri kedua.
Santri lain diam saja. Dia masih hanyut dan terkantuk-kantuk.
“Itulah agama,” terang Kiai, “Orang yang beragama merasakan keindahan, kedamaian, dan ketenteraman. Hatinya cerah. Agama itu seperti musik.”
“Sekarang, coba kamu mainkan biola ini.” K.H. Ahmad Dahlan menyodorkan biola kepada salah seorang santri.
“Maaf Kiai, saya tidak bisa.”
“Coba saja dulu.”
Demi mematuhi perintah guru, santri yang ditunjuk pun menggesek biola. Suara terdengar sumbang. Parau. Lebih jelek daripada teriakan gagak. Kawan-kawannya merasa terganggu dan tak nyaman. Ada juga yang tertawa. Karena malu, akhirnya santri itu menyerah. Biola berhenti digesek.
“Apa yang kalian rasakan?”
“Kacau, Kiai,” celetuk seorang santri.
“Nah,” simpul sang kiai, “begitu pula agama. Kalau tidak dipelajari dengan benar, agama akan membuat resah lingkungan dan jadi bahan tertawaan.”
Anekdot populer tersebut dikutip dari majalah Suara Muhammadiyah. Kisah itu juga menjadi salah satu adegan yang mengesankan dalam film Sang Pencerah. Sebagaimana lazimnya anekdot sufi, anekdot tentang K.H. Ahmad Dahlan ini mengandung banyak hikmah dan pelajaran. Salah satunya tentang makna agama.
Agama bagaikan musik. Bukan sembarang musik, melainkan musik yang indah. Saat mendengarkan musik yang indah, lebih-lebih musik yang dihasilkan dari biola yang dimainkan musisi ulung, kita seakan masuk ke dalam dunia lain yang damai, tenteram, tenang, dan sejuk.
Hati dipenuhi keindahan. Semua penderitaan dan masalah seolah hilang. Dalam dunia yang seperti mimpi itu, kita hanya merasakan kebahagiaan. Hati puas sekali. Tak menginginkan apa-apa lagi. Bukankah begitu gambaran surga?
Kalau memang demikian gambaran surga, maka artinya jelas: agama adalah jalan indah menuju keindahan, agama adalah jalan damai menuju kedamaiana agama adalah jalan bahagia menuju kebahagiaan. Keindahan, kedamaian, dan kebahagiaan yang dituju tidak berada jauh di ujung sana tetapi sudah bersama kita di sini saat masih berjalan ke tujuan tersebut.
Kiranya, hal inilah yang disebut Nabi Muhammad sebagai aroma surga. Hamba-hamba yang akan menjadi penghuni surga sudah mencium aroma surga ketika mereka masih hidup di dunia.
Di dunia ini, mereka sudah menghayati akhlak penghuni surga. “Siapa yang bercahaya pada permulaannya,” kata Syaikh Ibnu ‘Athaillah al-Sakandarany dalam kitab al-Hikam, “tentu bercahaya pula pada kesudahannya.”
Hati orang-orang yang mencium aroma surga saat masih hidup di dunia sudah seperti hati penghuni surga. Bagaimana hati penghuni surga itu? “Wahai jiwa yang tenang,” firman Tuhan dalam Q.S. al-Fajr (89): 27-30, “pulanglah ke pangkuan Tuhanmu dalam keadaan rida dan diridai. Masuklah ke dalam barisan hamba-hamba-Ku dan masuklah ke dalam surga-Ku.”
Penghuni surga memiliki dua kualitas hati yang pokok, yaitu tenang/tenteram dan rida. Jiwa yang tenang dan rida tidak mungkin kotor. Tidak lagi menyimpan rasa benci, dengki, marah, dendam, sombong, serakah, kikir, dan segala karakter tercela lain.
Dengan demikian, saat hidup di dunia, dia tidak suka mengganggu, mengancam, menyiksa, apalagi melukai orang lain. Kecuali diancam dengan kematian, tidak masuk akal bila dia menjadi teroris. Itulah buah dari agama yang dipelajari dan dijalani secara benar.
Bila agama tidak dipelajari dengan benar, misalnya dipelajari bukan dari ahlinya, maka agama itu akan dijalani secara tidak benar pula. Akibatnya, alih-alih menenteramkan, mendamaikan, dan menghamoniskan, agama malah menimbulkan kerusuhan dan kerusakan. Alih-alih memberikan kenyamanan dan ketenangan, agama justru mengganggu dan mengusik.
Agama menjadi alat untuk mengancam, mengintimidasi, menyakiti, melukai, bahkan membunuh. Agama, yang pada hakikatnya memusuhi terorisme, menjelma sebagai senjata kaum teroris. Agama yang semula hadir demi memperbaiki keadaan (al-ishlah) malah menghancurkan apa yang sudah tertata (al-ifsad). Agama seperti itulah yang dianut kaum teroris.
Kaum teroris tidak merasa bersalah sedikit pun walaupun sudah menyerang, melukai, dan membunuh pihak-pihak yang tidak bersalah. Mereka merasa benar. Mereka berpikir bahwa aksi teror yang mereka jalankan sepenuhnya dibenarkan agama. Mereka merasa memperbaiki kehidupan walaupun apa yang mereka lakukan merusak kehidupan.
Dengan bahasa yang halus, karakter ironis para perusak ini sudah dikecam al-Quran. “Dan bila dikatakan kepada mereka,” kata Tuhan dalam Q.S. al-Baqarah (2): 11, “janganlah kalian membuat kerusakan di muka bumi, mereka malah berkata, ‘sesungguhnya kami hanyalah orang-orang yang memperbaiki keadaan’.”
Dalam konteks ini, pesan K.H. Hasyim Asy’ari untuk bersikap kritis, teliti, dan selektif dalam mencari guru agama harus kita simak dan renungkan kembali. Dalam kitab Adab al-‘Alim wa al-Muta’allim, perintis Nahdhatul Ulama itu mengutip nasihat ulama salaf: “Ilmu agama ini merupakan agama juga. Maka, perhatikanlah dari siapa kalian mempelajari agama kalian.”
Sebelum belajar kepada seorang guru agama, hendaknya kita menelusuri rekam jejak keilmuan dan akhlaknya. Kita perlu berhati-hati dengan guru-guru agama yang menggunakan agama untuk merebut kekuasaan dan kekayaan.
Demikianlah, pesan keagamaan K.H. Ahmad Dahlan dan K.H. Hasyim Asy’ari ternyata saling melengkapi dan saling menopang. Menurut yang satu, agama adalah musik indah yang memberikan kedamaian dan ketenteraman. Tapi, bila dipelajari secara salah, agama hanya akan mengganggu dan mengacaukan harmoni kehidupan, termasuk kehidupan sosial. Agama yang dipelajari secara salah akan menjadi paham yang sesat dan menyesatkan.
Menurut yang lain, agar berhasil dalam mempelajari agama—artinya agar berhasil menghayati hakikat agama—kita harus bersikap kritis, teliti, dan selektif dalam mencari guru agama.
Wallahu A’lam.