Belajar Kepada Setan

Belajar Kepada Setan

Setan kerap ditakuti, tapi bisa tampak jenaka ketika kita mampu manipu mereka. Bagaimana caranya?

Belajar Kepada Setan

Seorang kawan bercerita tentang keheranannya terhadap jawaban Prof. Quraisy Shihab ketika ditanya oleh seorang mahasiswanya terkait bolehkah kita sebagai umat Islam mengambil ilmu kepada orientalis. Kawan ini menuturkan, “Beliau (Prof. Quraisy Shihab) menjawab, “bagaimana pendapat Anda kalau setan mengajarkan sebuah kebaikan untuk Anda, maukah Anda mengikutinya.?” Si mahasiswa yang bertanya itu pun diam sembari berpikir dan menganalogikan jawaban tersebut agar sesuai dengan pertanyaannya.

Akhirnya dia menyimpulkan bahwa jangankan dengan orientalis, dengan setan sekalipun jika ia mengajarkan sebuah kebaikan kita diperbolehkan untuk mengikutinya.

Ilustrasi singkat di atas mengingatkan kita kepada sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam kitab Shahih-nya. Riwayat tersebut menceritakan kisah seorang pencuri yang menyusup ke sebuah lumbung zakat yang disiapkan untuk kaum muslimin pada bulan Ramadan.

Selama dua malam berturut-turut pencuri tersebut melakukan aksinya, mencuri bahan-bahan makanan yang terdapat dalam lumbung yang pada malam itu kebetulan tengah dijaga oleh Sahabat Abu Hurairah. Abu Hurairah berhasil menangkapnya, akan tetapi saat ia akan melaporkannya kepada Rasulullah, pencuri tersebut berdalih kalau perbuatan tersebut terpaksa dia lakukan untuk memenuhi kebutuhan keluarganya yang sedang kelaparan dan ia berjanji untuk tidak akan mengulanginya lagi.

Namun pada malam ketiga, ia kembali melakukan aksi pencurian seperti malam-malam sebelumnya. Lagi-lagi aksinya diketahui oleh Abu Hurairah dan dengan tegas tanpa ampun akan membawa pencuri tersebut kepada Rasulullah. Tanpa diduga sebelumnya, tiba-tiba saja sang pencuri mengatakan bahwa ia akan mengajarkan sebuah kalimat yang kalau seandainya dibaca oleh seorang muslim sebelum tidur maka Allah akan menjaganya hingga pagi menjelang.

Abu Hurairah pun tertarik dengan omongan pencuri tersebut dan bertanya kalimat apa gerangan yang ingin dia ajarkan. Lalu ia katakan, “bacalah ayat kursi sebelum tidur, niscaya kamu akan dilindungi Allah dari gangguan setan hingga pagi hari”.

Beberapa saat kemudian pencuri tersebut raib entah ke mana. Sahabat Abu Hurairah menceritakan peristiwa tersebut kepada Rasulullah. Rasul pun menjawab bahwa pencuri tersebut adalah setan yang menyamar menjadi manusia. Rasulullah juga menambahkan bahwa apa yang diajarkannya kepada Sabahat Abu Hurairah adalah benar namun ia telah berhasil mengelabui Abu Hurairah dengan menggondol beberapa bahan makanan yang sedianya akan diberikan kepada mereka yang membutuhkannya. Begitulah setan, dibalik kesesatannya terdapat secuil pengetahuan yang mungkin saja bisa diamalkan oleh manusia selama isinya sesuai dan tidak bertentangan dengan ajaran al-Qur’an dan Hadis.

Selain fakta tersebut, kita juga menjumpai beberapa ulama Islam yang dengan terang-terangan mengambil ilmu dari orang-orang non muslim. Sejarah menyebutkan bahwa pada masa Daulah Abbasiah terjadi proses transformasi keilmuan besar-besaran dalam Islam, khususnya pada masa Khalifah Harun al-Rasyid. Beliau mendirikan bayt al-hikmah, sebuah lembaga khusus yang berfungsi sebagai sarana penerjemahan buku-buku filsafat Yunani –yang sebagian besar penulisnya adalah non muslim- ke dalam bahasa Arab agar dipelajari dan dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kejayaan Islam. al-Farabi, seorang filosof muslim terkenal abad ke-3 hijriah konon dikabarkan juga mempunyai guru dari orang-orang non muslim.

Imam al-Tirmidzi dalam kitabnya Sunan al-Tirmidzi juga meriwayatkan sebuah hadis yang bersumber dari Zaid ibn Tsabit di mana beliau pernah diperintahkan oleh Rasulullah Saw untuk mempelajari Bahasa Suryani yang tidak lain merupakan bahasanya orang-orang Yahudi –non muslim-. Tentunya Zaid ibn Tsabit mempelajari bahasa tersebut kepada mereka secara langsung, karena secara logika kalau umat Islam sudah ada yang menguasainya, maka Rasulullah tidak perlu lagi memerintahkan Zaid untuk mempelajarinya secara khusus sebagai duta Rasulullah dalam menjalin komunikasi dengan orang-orang Yahudi.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa kebenaran pada hakikatnya bisa diperoleh dari sumber manapun, tidak terkecuali dari orang-orang non muslim, orientalis ataupun bahkan setan sekalipun sebagaimana yang terdapat dalam riwayat di atas. Kebenaran tidak memandang tua atau muda, miskin atau kaya, awam ataupun alim.

Selama informasi tersebut sesuai dengan ajaran Islam, al-Qur’an dan Hadis, maka itu adalah kebenaran yang bisa diterapkan dalam rangka memajukan Islam dan kaum muslimin. Barangkali prinsip seperti ini sekaligus bisa menjadi alternatif dari pertanyaan Amir Syakib Arselan dalam sebuah judul bukunya Kenapa Umat Islam Mundur dan Umat Lainnya Maju.?

Sebagai penutup dari tulisan ini, penulis ingin menukilkan sebuah ungkapan dari Ibn Rusyd –seorang filosof muslim abad ke-6 hijriah- dalam sebuah bukunya Fashl al-Maqal mengungkapkan bahwa tidak mungkin seorang manusia dapat menguasai ilmu secara menyeluruh. Masing-masing mempunyai kelebihan yang tidak dimiliki oleh yang lain, baik dalam ilmu keagamaan maupun ilmu umum yang berbasis penelitian.

Ibn Rusyd menegaskan jika ilmu dari orang-orang terdahulu itu (baik muslim maupun bukan) sesuai dengan konsep-konsep kebenaran maka ilmu tersebut dapat saja kita terima, sementara jika ilmu tersebut berseberangan dengan kaedah-kaedah kebenaran yang ada (dalam al-Qur’an dan Hadis) maka ilmu tersebut harus kita tolak serta berhati-hati dalam mempelajarinya. Allahu A’lam. []

Yunal Isra adalah Peneliti Hadis di el-Bukhari Institute dan Mahasiswa Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta