Belajar Kearifan dari Ulama NU

Belajar Kearifan dari Ulama NU

Belajar Kearifan dari Ulama NU

Ini kisah lama yang sudah biasa diceritakan Gus Dur dan warga NU biasanya familiar dengan cerita ini. Saya mau berbagi kisah ini disini karena banyak jamaah Facebook yang tentunya bukan NU dan non-Muslim. Begini, dulu ada dua ulama besar pendiri NU yang berbeda pendapat tentang sesuatu tapi saling menghargai satu sama lain. Kedua ulama itu adalah Mbah Kiai Hasyim Asy’ari, kakeknya Gus Dur yang juga pendiri dan sekaligus “panglima tertinggi” NU yang pertama dan Kiai Faqih Maskumambang, pendiri NU juga sekaligus jadi wakil ketua, mendampingi Mbah Hasyim.

Kedua ulama ini merupakan sahabat dekat. Sangat dekat. Keduanya pernah sama-sama mondok di pesantren seorang kiai-wali kharismatik: Syaikhona Kholil Bangkalan. Keduanya juga dulu pernah bareng belajar di Makah. Seperguruan lagi. Misalnya sama-sama belajar dengan Kiai Mahfudh Termas yang ahli Hadis. Bukan hanya itu saja. Mbah Hasyim pernah mengambil mantu keponakan Kiai Faqih. Jadi persahabatan mereka betul-betul sejati.

Meski bersahabat, keduanya pernah berbeda pendapat dan berpolemik sengit sekali tentang hukum menggunakan kentongan sebagai “panggilan salat”. Kiai Hasyim ngotot haram memakai kentongan karena tidak ada dalilnya. Sedangkan Kiai Faqih ngotot membolehkan menggunakan kentongan. Untuk menguatkan pendapat, masing-masing menulis sebuah kitab. Keren kan? Dengan menulis buku, perbedaan pendapat itu jadi bernilai akademik. Saya melihat para ulama dulu mentradisikan penulisan buku untuk mengekspresikan pendapat atau sebagai sanggahan terhadap pendapat seseorang.

Meskipun berpolemik tajam, keduanya saling menghargai dan menghormati. Pernah suatu saat, Kiai Faqih memerintahkan para kiai di Gresik untuk menurunkan kentongan di masjid-masjid dan langgar-langgar sebagai pengormatan kepada Kiai Hasyim karena beliau hendak mengisi ceramah di pesantren Kiai Faqih. Subhanallah. Indah sekali, kan?

Meskipun mereka sengit berbeda pendapat tapi sama sekali tidak pernah saling menyesatkan, menyalahkan, apalagi mengkapirkan. Coba bandingkan kearifan beliau berdua, para ulama besar yang keilmuan keislamannya luar biasa dalamnya ini, dengan perilaku sejumlah kaum Muslim “unyu-unyu” dewasa ini yang hanya karena berbeda pendapat dikit saja sudah ngamuk, ngumpat, menyumpah-serapahi “lawannya” dan bahkan menggeruduk dengan membawa pentungan segala.

Selama kita berada di dunia, maka perbedaan pendapat tak pernah sirna. Benar menurut kita, belum tentu benar menurut orang lain. Salah menurut kita, belum tentu salah menurut orang lain. Yuk, kita belajar dari kearifan Mbah Hasyim dan Mbah Faqih. Malu kan dilihat umat lain, jenggotnya sudah panjang kok masih nakal ngamukan…