Belajar dari Vonis Harvey Moeis, Bagaimana Syarat dan Kriteria Menjadi Hakim?

Belajar dari Vonis Harvey Moeis, Bagaimana Syarat dan Kriteria Menjadi Hakim?

Kasus Harvey Mouis belakangan banyak menjadi perbincangan karena putusan tersebut dianggap terlalu ringan. Masyarakat bertanya-tanya, apakah hakim dalam kasus ini sudah menjalankan tugasnya dengan adil?

Belajar dari Vonis Harvey Moeis, Bagaimana Syarat dan Kriteria Menjadi Hakim?

Keadilan adalah harapan utama setiap masyarakat terhadap lembaga peradilan. Namun, bagaimana jika keadilan justru dipertanyakan akibat keputusan seorang hakim? Permasalahan utama dalam sistem hukum kita tercermin dalam kasus Harvey Mouis yang belakangan banyak menjadi perbincangan karena putusan tersebut dianggap terlalu ringan. Masyarakat bertanya-tanya, apakah hakim dalam kasus ini sudah menjalankan tugasnya dengan adil?

Dalam pandangan Islam, hakim adalah representasi keadilan yang tidak boleh dipengaruhi oleh kepentingan pribadi, tekanan politik, maupun godaan materi. Selain menegakkan hukum, hakim bertugas menjunjung tinggi nilai-nilai ketuhanan yang mendukung keadilan. Islam menetapkan standar yang ketat dan jelas bagi hakim, memastikan bahwa setiap keputusan mewakili keadilan secara akurat.

Ada dua topik penting yang akan dibahas dalam artikel ini. Pertama, bagaimana standar hakim dalam Islam dapat menjamin keadilan dalam setiap putusannya? Kedua, apa dampak ketimpangan dan lemahnya sistem hukum terhadap kehidupan masyarakat menurut kaca mata Islam?

Dalam Islam, profesi sebagai hakim bukanlah suatu profesi yang mudah. Selain dituntut untuk memiliki kemampuan intelektual yang tinggi dan pengetahuan yang luas, seorang hakim juga dituntut untuk memiliki status sosial yang baik dan netralitas yang tinggi. Sebab, profesi tersebut sangat erat kaitannya dengan masyarakat dan obyektivitas dalam memutuskan putusan hukum. Akan tetapi di balik ketatnya kualifikasi dan besarnya tanggung jawab profesi sebagai hakim, Rasulullah menjanjikan balasan pahala yang besar bagi seorang hakim yang adil. Sebaliknya, Rasulullah SAW memperingatkan dengan ancaman neraka bagi hakim yang jahil dan khianat. Beliau bersabda:

القُضَاةُ ثَلَاثَةٌ: قَاضِيَانِ فِي النَّارِ، وَقَاضٍ فِي الجَنَّةِ، رَجُلٌ قَضَى بِغَيْرِ الحَقِّ فَعَلِمَ ذَاكَ فَذَاكَ فِي النَّارِ، وَقَاضٍ لَا يَعْلَمُ فَأَهْلَكَ حُقُوقَ النَّاسِ فَهُوَ فِي النَّارِ، وَقَاضٍ قَضَى بِالحَقِّ فَذَلِكَ فِي الجَنَّةِ  

“Hakim itu ada tiga (macam): dua di neraka dan satu di surga. (Pertama), hakim yang memutuskan hukum dengan curang, sedangkan ia mengetahuinya, maka ia di neraka. (Kedua), hakim yang tidak memiliki kompetensi (jahil), sehingga ia menghilangkan hak-hak orang lain, maka ia juga di neraka. (Ketiga), hakim yang memutuskan hukum dengan haq (kebenaran), maka ia di surga. (HR. At-Tirmidzi No. 1322)

Al-Shan‘ani menjelaskan dalam kitab Subul As-Salam bahwa seorang hakim harus benar-benar memiliki kompetensi dalam memutuskan hukum. Apabila seorang hakim yang jahil memutuskan putusan hukum, sekalipun sesuai dengan kebenaran, maka ia termasuk dalam kategori hakim jahil yang masuk neraka. Sebab ia dianggap telah memutuskan hukum dengan dasar ketidaktahuan/kejahilan dan termasuk golongan hakim yang masuk neraka sebagimana disebutkan di dalam hadis. Al-Shan’ani melanjutkan, hadis di atas juga menjadi dalil larangan bagi pemerintah untuk memberikan otoritas kehakiman kepada orang yang tidak memiliki kualifikasi dibidang perhakiman.

Dalam hadis lain, Rasulullah SAW memberikan peringatan bagi umatnya yang menjabat sebagai hakim, sebab profesi hakim memerlukan seseorang yang benar-benar bersedia untuk bertanggung jawab dunia dan akhirat. Bahkan Rasulullah menggambarkan bahwa seseorang yang menjadi hakim, berarti ia telah mengambil risiko dirinya tersembelih. Rasulullah SAW bersabda:

مَنْ جُعِلَ قَضَيًا بَيْنَ النَّاسِ فَقَدْ ذُبِحَ بِغَيْرِ سِكِّينٍ

“Barang siapa yang menjabat sebagai hakim di antara manusia, maka sungguh ia telah disembelih tanpa menggunakan pisau” (H.R Ahmad No. 8777)

Sebagian ulama menjelaskan bahwa istilah “tersembelih” dalam hadis tersebut memiliki makna metaforis, yaitu tekanan berat tanggung jawab dunia dan akhirat yang harus ditanggung seorang hakim. Kerena, jika seorang hakim mengambil keputusan hukum yang benar, maka ia akan bersusah payah di dunia akibat dituntut untuk mempertahankan kebenaran, berada bersama pihak yang bertikai, dan berusaha menjaga netralitas agar tidak terjadi pilih kasih diantara keduanya dalam neraca keadilan; Dan jika seorang hakim salah dalam mengambil keputusan, maka ia akan menanggung beban dosa yang akan dipertanggungjawabkan kelak di akhirat.

Lalu, bagaimana kriteria hakim yang ideal dalam konteks peradilan Islam?

Difinisi hakim -yang juga disebut Qadhi- adalah individu yang diberikan kewenangan oleh penguasa atau pemerintah untuk memutuskan perkara yang diperselisihkan dan disengketakan [Wahbah bin Musthafa az-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islamiy Wa adillatuhu, (Damaskus: Dar al-Fikr), ed.4]

Dalam khazanah fikih klasik, kajian tentang spesifikasi yang menjadi syarat legalitas pemangku jabatan hakim dalam konteks peradilan Islam masih terjadi perbedaan di antara para ulama yang berkaitan dengan jumlah dan batasnya.  Namun, poin terpenting yang kerap menjadi sorotan adalah seorang hakim diharuskan memiliki jiwa netralitas yang tinggi, yakni sifat adil dan tidak diskriminatif, yaitu memperlakukan sama semua manusia di hadapan hukum tanpa memandang status apapun baik sosial, politik, dan mayarakat. Sehingga keputusan hukum yang dikeluarkan tidak terkontaminasi oleh hal-hal yang tidak memiliki kaitan dengan putusan hukum. Artinya, tidak tumpul ke atas, tajam ke bawah.

Ketimpangan hukum membawa dampak serius bagi masyarakat dan negara, seperti krisis kepercayaan, ketidakstabilan yang dapat memicu konflik, diskriminasi, korupsi, hingga terhambatnya pertumbuhan ekonomi yang berujung pada kehancuran. Penyebab terjadinya ketimpangan hukum dibebabkan oleh beberapa faktor utama, yakni penegak hukum yang tidak berkualitas dan minim kompetensi, intervensi pihak lain, deskriminasi, dan kelemahan sistem hukum. Oleh karena itu, jauh-jauh hari  Rasulullah telah memperingatkan bahwa ketimpangan hukum berkonsekuensi pada kehancuran suatu bangsa/negara.

Rasulullah bersabda:

فَقَالَ أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّمَا أَهْلَكَ الَّذِينَ قَبْلَكُمْ أَنَّهُمْ كَانُوا إِذَا سَرَقَ فِيهِمْ الشَّرِيفُ تَرَكُوهُ وَإِذَا سَرَقَ فِيهِمْ الضَّعِيفُ أَقَامُوا عَلَيْهِ الْحَدَّ وَايْمُ اللَّهِ لَوْ أَنَّ فَاطِمَةَ بِنْتَ مُحَمَّدٍ سَرَقَتْ لَقَطَعْتُ يَدَهَا

Artinya: “Wahai sekalian manusia, yang menjadi penyebab binasanya orang-orang sebelum kalian adalah, ketika orang-orang yang memiliki kedudukan mulia dari mereka mencuri, mereka membiarkannya, sementara jika orang-orang rendah/lemah dari mereka mencuri, mereka menegakkan hukuman had. Demi Allah, sekiranya Fatimah binti Muhammad mencuri, sungguh aku sendiri yang akan memotong tangannya.” (HR Muslim No. 1688)

Dalam menghadapi tantangan sistem peradilan, kriteria hakim yang ideal sebagaimana diajarkan dalam Islam menjadi pedoman penting untuk menjamin keadilan. Integritas, kompetensi, dan netralitas adalah elemen utama yang harus dimiliki oleh setiap hakim. Belajar dari kasus-kasus yang ada, sudah saatnya kita memperkuat sistem hukum dengan memastikan bahwa hakim yang bertugas benar-benar memenuhi standar yang tinggi ini. Dengan demikian, keadilan yang hakiki dapat tercapai, dan kepercayaan masyarakat terhadap institusi peradilan dapat kembali ditegakkan. Sekian.