Belajar dari Tjokroaminoto: BerIslam tidak Harus dengan Simbol

Belajar dari Tjokroaminoto: BerIslam tidak Harus dengan Simbol

Sebelum Pancasila muncul, Tjokroaminoto telah terlebih dahulu memiliki ide brilian dalam hal Islam dan negara.

Belajar dari Tjokroaminoto: BerIslam tidak Harus dengan Simbol
Foto: alvin/islamidotco

Tjokroaminoto (1882-1934) merupakan salah satu tokoh ulama pergerakan rakyat Indonesia. Ia mendapat pendidikan dari Pangreh Praja di Magelang dan Pendidikan Umum di Surabaya.

Di samping bekerja pada Instansi Pemerintah, ia juga mempunyai cara dalam mempertahankan ekonomi dasarnya, yaitu membuka kost di rumahnya, yang dihuni oleh pemuda-pemuda seperti Soekarno, Alimin, Muso, dll.

Tercatat, ia sempat menjadi Komisaris Serikat Islam (1911) dan menjadi Ketua SI pada tahun 1914. Di bawah kepemimpinannya, SI tampak maju dengan pesat dan menjadi Organisasi Politik terbesar kala itu. Beliau adalah seorang ahli pidato (orator) ulung dan kharismatik hingga menjadi anggota Volksraad tahun 1918.

Rakyat di pedesaan menjulukinya sebagi Ratu Adil meski ia tidak mau dipanggil dengan sebutan itu. Banyak di antara kaum pergerakan kala itu yang menganggap bahwa beliau akan menjadi Presiden Indonesia, hingga suatu ketika Tjokroaminoto pernah dijebloskan ke dalam penjara lantaran dianggap melakukan propaganda, hingga membuat keberadaan Serikat Islam mengalami pasang surut tak menentu.

H.O.S Tjokroaminoto adalah salah satu tokoh pergerakan kebangkitan Islam di Jawa yang telah melahirkan pemimpin-pemimpin muda bangsa Indonesia menuju kemerdekaannya dengan beberapa variasi pemikirannya.

Dalam pandangan Muhadi Herlambang (2013), gerakan SI saat itu memang sangat disambut oleh rakyat sebagai kebangkitan kembali Islam. Meskipun, rakyat belum memahami sepenuhnya ajaran Islam. Hal ini disebabkan karena SI lebih merakyat daripada gerakan Boedi Oetomo yang merupakan gerakan priyayi yang elitis dan terkesan menjauh dari rakyat.

Ada beberapa karakteristik yang dapat menjelaskan sisi ketokohan dari Tjokroaminoto. Pertama, ia adalah tokoh politik dan sebagai pelopor lahirnya gerakan kaum muda Indonesia. Gagasan pokoknya adalah kebebasan berpolitik serta perlunya membangkitkan kesadaran akan hak-hak kaum pribumi. Bukti bahwa ia merupakan tokoh politik adalah ketika kongres SI di Madiun pada 1923 yang saat itu SI berubah menjadi Partai Politik Serikat Islam.

Beliau menginginkan bangsa Indonesia memiliki pemerintahan tersendiri dan terbebas dari jeratan Belanda. Setidaknya bangsa Indonesia mampu menyalurkan aspirasinya dalam masalah politik, misalnya melalui pembentukan sebuah parlemen sebagai perwujudan dari prinsip demokrasi.

Gagasannya lalu terwujud ketika pada tahun 1918 pemerintah Kolonial Belanda bersedia membentuk Dewan Rakyat (Volksraad). Tjokroaminoto dan tokoh SI lainnya seperti Abdul Muis dan Agus Salim terpilih menjadi anggota Dewan saat itu.

Kedua, cara pandang Tjokroaminoto di kala muda sangat kental dengan nasionalisme. Ia mulai melakukan pembaruan pemikiran dan menggagas bagimana Islam dapat menjadi sudut pandang untuk mewujudkan cita-cita nasionalismenya.

Substansinya adalah perjuangan dalam bentuk ide dan pemikiran yang bercorak pengusiran imperialisme Belanda. Semangat yang dikobarkan pada masyarakat adalah dengan memahamkan umat Islam agar dapat bersatu dalam agenda untuk melawan keterbelakangan dan kebodohan akibat penjajahan.

Ketiga, begitu menginjak usia tua, pemikirannya beralih menjadi sosialisme-religius yang lebih mengetengahkan Islam dengan sebutan pan-Islamisme. Ia juga menulis buku tentang hubungan antara sosialisme dan Islam, sebagai bentuk dari pergolakan pemikirannya yang semakin matang.

Sintesa yang menggambarkan pemikirannya adalah bagaimana menggabungkan nasionalisme dan sosialisme yang berasaskan pada kesamaan nilai-nilai Islam. Ia menekankan sisi perikemanusiaan yang berpangkal pada ajaran Islam dan berunsur dari keyakinan terhadap Allah. Karenanya, misi kemerdekaan dan persaudaraan telah menjadi tonggak pemersatu idenya untuk ke-Islaman-ke-Indonesiaan.

Pandangan Islam baginya merupakan dasar dan pondasi keutuhan nilai untuk menciptakan Indonesia. Hal ini bisa ia buktikan melalui pergulatannya dalam memperjuangkan ideologinya di mana ketika ia menjadi pemimpin kongres Islam, yang hal itu didukung oleh H Agus Salim, para tokoh Muhammadiyah, dan Al-Irsyad. Karena itulah ide pemikirannya terlahir lewat Federasi Permufakatan Perhimpunan-Perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia (PPPKI).

Meneladani Tjokroaminoto

Bagi kita yang hidup jauh setelah Tjokroaminoto, apa sebenarnya yang perlu dipetik dari ketokohan dan pemikiran beliau? Agar pemikirannya dapat menjadi jalan dalam memecahkan berbagai problem kebangsaan hari ini.

Menurut saya, hal penting yang perlu kita petik dari beliau adalah bagaimana kita dapat mensinergikan Islam dan nilai-nilai keindonesiaan yang telah ada.

Dulu, Pancasila dan demokrasi belum ada, karena Tjokroaminoto hidup dan meninggal ketika Indonesia belum merdeka. Tetapi ia telah mampu merumuskan berbagai ideologi seperti mengintegrasikan antara nasionalisme-sosialisme-Islamisme, yang titik pangkalnya adalah Islam. Sebagai ulama, beliau tidak pernah berpikir tentang membangun negara Islam atau suatu negara yang berdiri atas nama agama.

Tjokroaminoto telah mengajarkan kepada kita semua bahwa menjadi seorang Islamis bukan harus dengan simbol-simbol Islam, baik dalam kehidupan pribadi, sosial, maupun bernegara.

Justru ia mengajarkan tentang berbagai nilai yang perlu disatupadukan agar terpancar suatu kemapanan dalam pemikiran dan sistem ideologi yang dapat mengantarkan Indonesia menjadi bangsa yang kuat dan mandiri.

Karenanya penting bagi kita untuk meneladani pemikiran beliau agar Indonesia terselamatkan dari ideologi Islamisme sepihak, yang dalam berbagai bentuknya justru dapat meruntuhkan Indonesia yang telah sebegitu mapan seperti sekarang. Kita tidak butuh mendirikan negara Islam sebab masyarakat kita, nilai-nilai yang dianut, dan sistem yang dijalankan, telah sejalan dengan prinsip-prinsip agama Islam.

Rohmatul Izad. Alumni Pascasarjana Ilmu Filsafat UGM Yogyakarta.