Syahdan, masa kekhalifahan Ali bin Abi Thalib adalah masa kekhalifahan yang bisa dikatakan paling genting dibanding masa kekhalifahan lainnya. Jika masa khalifah Abu Bakar disibukkan dengan peredaman gejolak pengikut nabi palsu dan para pembangkang zakat, masa khalifah Umar bin Khattab disibukkan dengan ekspansi (fath) hingga sampai wilayah al-Quds, masa khalifah Utsman bin Affan RA disibukkan dengan pembukuan Al-Quran dan peredaman isu nepotisme, maka masa kekhalifahan Ali lebih banyak dihabiskan untuk meredam gejolak politik yang terjadi antar Sahabat Nabi.
Satu persoalan besar yang harus dihadapi oleh Ali di awal kepemimpinannya ialah penyelesaian persoalan qishash pembunuhan Utsman yang tidak segera disidangkan. Ali yang merasa harus mengutamakan stabilitas kekhalifahan terkesan menomorduakan hal tersebut. Maklum, saat itu masih banyak gubernur yang masih belum loyal terhadap pemerintahan Ali, seperti Amr bin Ash di Mesir, dan tentu saja, Muawiyah.
Pemindahan ibukota kekhalifahan dari Madinah ke Kufah ternyata tidak cukup untuk meredam gejolak yang ada. Aisyah, istri tercinta Nabi, termasuk di antara yang tidak terima dengan keputusan Ali menunda persidangan perkara pembunuhan Utsman. Bersama dengan Sahabat Nabi yang lain dan diiringi pasukan perang, pihak Aisyah memerangi Ali dan loyalisnya. Saat itu, Aisyah menaiki kendaraan unta, yang dalam bahasa Arab disebut sebagai jamal. Terjadilah perang Jamal yang dimenangkan oleh pihak Ali.
Belum habis lelah sesudah menghadapi perang Jamal, pihak Ali kemudian harus menghadapi gabungan pasukan pimpinan Amr bin Ash dan Muawiyah dengan tuntutan yang sama namun lebih terkesan politis. Bertemulah kedua pihak pasukan dipisahkan oleh sungai Furat atau Eufrat. Pasukan itu terdiri dari barisan-barisan atau Shaf dalam bahasa Arab. Maka terjadilah perang Shiffin.
Sejatinya, peperangan hampir saja dimenangkan oleh pihak pasukan Ali, namun sebuah siasat ciamik hadir dari kubu pasukan Muawiyah. Mereka yang terdesak kemudian menempelkan mushaf Al-Quran di ujung tombak mereka. Sebuah isyarat bahwa mereka menginginkan negosiasi atau perundingan damai. Melihat gelagat tersebut, sebagian pasukan Ali ada yang ingin menghentikan peperangan demi menghormati kesucian Al-Quran, namun ada juga sebagian pasukan Ali yang ingin melanjutkan peperangan, karena tahu belaka bahwa itu Cuma siasat dari pihak yang terdesak. Ali, sang pemimpin pasukan akhirnya memutuskan untuk menghentikan peperangan.
Maka dilangsungkanlah perundingan damai antar kedua belah pihak yang bertikai. Pihak Muawiyah mengirimkan Amr bin Ash, sang politikus ulung sebagai juru runding, dan di seberang sana, pihak Ali mengutus Abu Musa al-Asyari, seorang pakar hukum. Kedua juru runding kemudian bersepakat bahwa mereka sama-sama tidak mengakui kepemimpinan Ali maupun Muawiyah, dan kepemimpinan akan ditentukan kemudian. Tibalah saat diumumkannya keputusan tersebut pada khalayak, Abu Musa al-Asy’ari berkata apa adanya sesuai hasil keputusan, namun tidak demikian halnya dengan Amr bin Ash. Ia mengumumkan bahwa ia menolak kepemimpinan Ali namun mengakui kepemimpinan Muawiyah.
Oleh banyak orang, peristiwa tersebut disebut sebagai tahkim atau arbitrase. Sebuah peristiwa yang memantik munculnya paham keagamaan yang kita kenal sebagai Khawarij, yang menganggap bahwa Ali, Amr bin Ash dan Muawiyah telah melakukan dosa besar karena telah berhukum dengan selain hukum Allah. Mereka berdalil: “Barangsiapa yang tidak berhukum dengan apa yang telah diturunkan Allah, maka mereka adalah orang dzalim, fasik, dan kafir”.
Khawarij inilah yang kemudian menginisiasi serangkain pembunuhan-pembunuhan, diantara yang berhasil ialah Abdurrahman ibn Muljam yang membunuh Ali bin Abi Thalib, Sahabat terbaik, sepupu, sekaligus menantu Nabi SAW.
Banyak pihak yang kemudian menyebut rangkaian kejadian ini sebagai fitnah kubro. Terbunuhnya Ali kemudian disusul dengan Hasan bin Ali yang diracun hingga wafat dan Husein bin Ali yang dipenggal di padang Karbala.
Yang menarik dari kejadian perang shiffin ini ialah fakta bahwa dari 10 ribu Sahabat Nabi yang hidup pada saat itu, dalam Minhaj as Sunnah (juz VI, hal. 237) disebutkan bahwa yang ikut serta tidak lebih dari 30 Sahabat. Mayoritas Sahabat memilih untuk tidak ikut dalam konflik tersebut dan menempuh jalan suci yakni fokus pada pegembangan kajian keilmuan seperti periwayatan hadits. Bagi mereka, Ali adalah menantu Nabi, Aisyah adalah istri Nabi, Muawiyah dan Amr bin Ash adalah sahabat Nabi.
Lantas apa relevansi cerita tersebut dengan kondisi sekarang? Sebagaimana kita rasakan, bahwa suhu perpolitikan di negeri ini sedang memanas dimana kedua belah kubu masing-masing mengklaim memiliki kedekatan dengan ulama. Satu pihak menyatakan menggandeng ulama sebagai pemimpin, di pihak lain menyatakan sebagai pemimpin yang didukung ulama. Di lapisan bawah pun terjadi pemisahan yang terlalu kentara, ini kubu si A, dan ini kubu si B.
Tidak, penulis tidak sedang secara apple to apple menyamakan kejadian di tanah air sekarang ini dengan kejadian perang shiffin. Naudzubillahi min dzalik. Penulis sama sekali tidak mengaharapkan akan terjadi pertumpahan darah antar sesama anak bangsa. Penulis hanya sedang mengajak para pembaca yang budiman untuk meneladani sikap para Sahabat saat itu yang memilih diam dan tidak memihak salah satu sambil mencela pihak yang lain.
Bukankah saat ini gejalanya pun sama? Masing-masing pihak mengklaim yang paling mengakomodir suara ummat islam, para pengikutnya yang saling sindir, dan keadaan anak bangsa yang digiring untuk berpihak kepada salah satu kubu?
Bukan, penulis bukan menganjurkan untuk golput di pilpres mendatang. Penulis hanya menyatakan bahwa diantara kubu A dan kubu B yang saling sindir di media sosial, ada mayoritas anak bangsa yang tidak ingin menunjukkan keberpihakannya, bukan berarti secara politis dia tidak ingin memilih. Dia, mayoritas anak bangsa ini, punya pilihan, namun tidak ingin larut dalam suasana panas dengan saling sindir apalagi saling caci. Biarlah pilihan nanti ditentukan di bilik suara saat Pemilu, yang penulis yakin masih memiliki slogan Langsung, Umum, Bebas dan Rahasia (LUBER).