Penggunaan ayat suci sebagai topeng untuk melakukan pemberontakan terhadap pemerintah yg sah, termasuk pemerintahan yg berbentuk khilafah Islamiyah, sudah terjadi sejak zaman khulafaur rasyidin. Seperti terlihat pada sejarah terbunuhnya khalifah Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib.
Tersebutlah nama Abdullah bin Saba’, seorang oposan dan pemberontak yg terus melakukan provokasi pada ummat Islam unt melakukan makar dan melawan semua kebijakan khalifah Utsman. Prpvokasi dilakukan dg menggunakan ayat2 qur’an.
Seperti di catat oleh para ahli sejarah Islam, ketika khalifah Utsman mengeluarkan kebijakan membuat ladang khusus unt onta2 sedekah yg terlarang unt umum, para oposan ini menentang dengan menggunakan QS. Yunus 59 sbg alat legitimasi.
Berlagak sbg pembela Islam dan penegak ayat suci mereka mendatangi khalifah Utsman. Dengan suara lantang dan garang mrk berkata: “Engkau membuat tanah terlarang yg dibatasi. Apakah engkau telah mendapatkan izin dari Allah unt melakukan hal ini? Engkau telah melakukan tindakan yg mengada ada thd hal yg tdk ditentukan Allah”
Dengan tenang Khalifah Utsman menjawab: “ayat tsb diturunkan dalam konteks yg lain, bukan dalam masalah spt ini. Umar bin Khatthab sdh melakukan hal ini sebelumnya. Dia membatasi tanah khusus unt onta2 zakat lalu aku menambahnya unt onta sedekah yg semakin banyak”.
Para oposan yg sdh terpenjara teks dan mabok kekuasaan ini tdk dapat menerima penjelasan yg diberikan oleh khalifah Utsman. Mrk terus mengobarkan permusuhan dan fitnah pada pemerintah yg sah dg mengobral ayat2 qur’an, meski pemerintahan sdh berbentuk khilafah. Fitnah dan provokasi ini berujung pada pembunuhan khalifah Utsman.
Hal yg sama juga terjadi pada khalifah Ali bin Abi Thalib. Beliau wafat di tangan Abdurrahman ibn Muljam. Seorang muslim yg digambarkan oleh sejarawan Islam, Adz-Dzahabi, sbg sosok ahli ibadah, hafal dan ahli baca qur’an, hingga mendapat julukan al-Muqri’.
Pemahaman keagamaan yg tekstual skriptulis telah menimbulkan sikap keras pada diri Ibn Muljam, shg menganggap sayyidina Ali sbg org kafir yg layak dibunuh krn tdk menjalankan hukum Islam.
Semangat membunuh sayyidina ali ini makin berkobar ketika dia bertemu seorang perempuan cantik yg juga berniat makar krn demdam pada klalifah Ali.
Perempuan cantik ini bernama Qathami binti Syijnah. Dia dendam pada sayyidina Ali krn suadaranya terbunuh dlm perang Nahrawan.
Perempuan ini mau dinikahi ibn Muljam dg syarat dia hrs membunuh sayyidina Ali.
Dengan semangat keislaman yg tekstual puritan dan didorong oleh semangat cinta yg membara, ibn Muljam semakin mantap niatnya “berjihad” membunuh sayyidina Ali yg dianggap kafir krn tdk menerapkan hukum Allah. Pemahaman ibn Muljam ini bersasar pd ayat; “barangsiapa yag tdk menggunakan hukum sesuai dg apa yg diturunkan Allah (qur’an/syari’at Islam), maka mereka itulah orang2 kafir (QS al-Maidah; 44)
Dalam kitab sejarah Islam disebutkan, saat membunuh Ali bin Abu Thalib ibn Muljam berkata: ‘tdk ada hukum kecuali hukum Allah, hukum bukan milikmu dan orang2mu (wahai Ali). Kemudian dia mengutip QS Al-Baqarah, 207: “Dan diantara manusia ada org yg mengorbankan dirinya karena mencari keridlaan Allah, dan Allah maha penyantun pd hambaNya”.
Dengan mengutip ayat ini ibn Muljam merasa bahwa tindakannya membunuh sayyidina Ali meruoakan pengorbanan diri unt mendapat ridha Allah dan menjadi hamba yg disantuni Allah.
Tindakan ini menjadi cikal bakal tidak kekerasan yg dilakukan oleh kaum radikal intoleran. Mrk menggunakan ayat2 suci unt makar dan melakukan tindak kekerasan thd klpk lain yg tdk sepaham. Tindakan ini terus berulang dalam sejarah Islam hingga saat ini.
Para ulama telah melakukan upaya membendung politisasi ayat yg melahirkan sikap intoleran dan destruktif ini. Mereka menyusun berbagai argumen dan pemahaman teologis yg juga bersumber dari al qur’an dan hadits untuk melawan tindakan kekerasan atas nama agama ini.
Paham keagamaan tekstual puritan yg radikal dan intoleran ini terus menggerogoti pemikiran dan kesadaran ummat Islam. Spt virus dan racun menggerogoti saya tahan tubuh.
Seperti halnya melawan virus dan racun dlm tubuh, maka untuk melawan pemahaman tekstual puritan yag intoleran dan penuh kekerasan diperlukan daya tahan diri yg kokoh melalui penanaman ideologi Islam yang rahmatan lil’alamin.
Hal ini bisa dilakukan dengan cara mensosialir secara massif pemahaman keagamaan yg toleran, manusiawi dan penuh kedamaiaan.
Kedua, membangun keaadaran kritis masyarakat terhadap penggunaan simbol, ritual dan ayat ayat suci dalam praktek politik melalui data2 sejarah. Sebagaimana disebutkan di atas scr historis ayat2 dan simbol agama sangat rentan dimanipulasi dan dijadikan topeng unt memenuhi ambisi politik dan tindak kekerasan.
Ketiga, melakukan tindakan tegas thd upaya penyebaran virus dan racun kekerasan agama. Ini perlu dilakukan sedini mungkin, sebelum virua dan racun ini menyebar ke masyarakat shg sulit dikendalikan.
Dalam konteks masyarakat Indonesia yg plural, tindakan deteksi dini dan memberangus virus ini merupakan keniscayaan. Karena virus radikal dan intoleran yg penuh dg tindakan kekerasan ini tdk saja mengancam kebhinekaan tetapi juga kemanusiaan.
Tindakan tegas perlu dilakukan sebelum bangsa ini hancur terjebak konflik yg tdk terkendali.