Belajar dari Perdebatan Ulama Besar

Belajar dari Perdebatan Ulama Besar

Belajar dari Perdebatan Ulama Besar

Imam al-Ghazali dan Syaikh Ibn Rusyd dulu berdebat dengan saling mengeluarkan karya yang sampai sekarang jadi kajian para pelajar filsafat yang serius. Bukan nyuruh-nyuruh umat untuk jangan hadir di majelis lawannya.

Itu adab ulama. Adab para penulis kitab besar.

Imam al-Ghazali mengeluarkan karya berjudul Tahafut al-Falasifah atau “Kerancuan para Filsuf” yang isinya mengkritik habis-habisan kelompok filsuf Islam saat itu. Meski sebuah kritik terhadap filsafat, sesungguhnya Imam al-Ghazali justru sedang “menawarkan” metode filsafat baru yang non-Aristotelian, mazhab filsafat yang paling populer saat itu.

Gema dari pemikiran al-Ghazali di buku tersebut ternyata berkesesuaian dengan pemikiran David Hume, filsuf dari Skotlandia. Mereka berdua sama-sama mempertanyakan hukum sebab-akibat yang ditengarai hanyalah sebuah konsistensi urut-urutan kejadian. Misal, A selalu diikuti B. Menurut hukum sebab akibat, dua gejala tersebut dapat dikatakan sebagai sebuah kausalitas di mana A dianggap menyebabkan B. Hume dan al-Ghazali menyebutkan bahwa boleh jadi sebenarnya itu hanya mind-set manusia saja. Yang faktual adalah sekedar sampai di “A beriringan dengan B”.

Apakah ada sebab akibat? Itu cuma penafsiran manusia. Demikian Hume dan al-Ghazali. Bedanya, al-Ghazali menyandarkan fakta tersebut sebagai perbuatan ilahiah, bahwa A dan B berturutan semata-mata karena Allah menghendakinya. Sementara Hume, tentu saja menjelaskan secara lebih “sekuler”. Menurut Hume, kita hanya bisa menyatakan bahwa secara empiris A akan diikuti B. Tapi, kita tidak dapat benar-benar membuktikan bahwa A adalah penyebab B. Dengan kata lain, sebab-akibat itu hanyalah ilusi atau paling jauh kesimpulan belaka, bukan realita.

Para filsuf modern menganggap bahwa baik al-Ghazali dan Hume menemukan prinsip filsafat yang sangat radikal. Mereka nekat menohok logika ilmiah di salah satu pusat kekuatannya: hukum kausalitas. Mempertanyakan apakah sebab-akibat itu sendiri memang benar-benar ada…

Ketika Tahafut al-Falasifah dikeluarkan, tak lama kemudian Syaikh Ibnu Rusyd mengeluarkan sanggahannya berjudul, “Tahafut at-Tahafut” atau Kerancuan Buku “Tahafut (al-Falasifah)”. Ibnu Rusyd membela pemikiran-pemikiran para filsuf Islam yang menghidupkan kembali gagasan-gagasan filsafat Yunani khususnya yang dikeluarkan oleh Aristoteles. Di buku tersebut dengan gigih Ibnu Rusyd membantah semua argumen al-Ghazali. Beliau memperinci satu persatu argumen al-Ghazali dan mengeluarkan argumen sanggahannya.

Ibnu Rusyd sendiri mendapat penghormatan yang tinggi di kalangan para filsuf dunia. Beliau banyak memberikan sumbangsih untuk perkembangan filsafat antara lain dengan memberikan kajian-kajian filsafat Yunani yang menjadi acuan banyak filsuf di masa modern. Beliau juga membuat buku kedokteran yang dengan segala keterbatasan teknologi masa itu, mengandung banyak informasi yang akurat. Judulnya, Al-Kulliyat fit at-Thib.

Yang menarik, banyak orang yang mengira bahwa Ibnu Rusyd ada di sisi sekular (karena terlampau dekat dengan pemikiran filsafat Yunani) dan al-Ghazali ada di sisi yang lebih Islamis (karena banyak menghasilkan buku bercorak agamis). Tidak demikian adanya, keduanya adalah ulama atau ilmuwan pada masanya yang bekerja sekuat tenaga untuk memperjuangkan pemikiran-pemikirannya, baik di ranah yang dapat dikenali sebagai sebuah sistem filsafat, maupun di bidang ilmu-ilmu agama.

Ibnu Rusyd sendiri juga seorang ahli fiqih yang karyanya justru banyak dirujuk oleh ulama-ulama fiqih setelah masa beliau. Jadi, Ibnu Rusyd sama sekali bukan ilmuwan yang jauh dari agama. Beliau mengarang buku Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid yang merupakan karya besar di bidang fiqih. Banyak pesantren, yang saya dengar, menjadikan buku ini rujukan utama di samping buku-buku empat imam mazhab, sebelum mempelajari kitab-kitab fiqih yang lebih terperinci. Di sisi lain, al-Ghazali pun mengeluarkan buku fiqih berjudul al-Wajiz yang menguraikan pemikiran Imam Syafi’i di bidang syari’at.

Dengan reputasi keilmuan yang sedemikian besar, kedua ulama ini berjihad dengan tinta mereka dan perdebatan mereka memberi manfaat besar bagi peradaban Islam dan juga dunia filsafat pada umumnya.

Bagaimana dengan ulama hari ini?