Belajar dari Paus

Belajar dari Paus

Belajar dari Paus

Di hari Paskah kemarin,  Paus Fransiskus mencuci kaki dua belas migran yang di antaranya adalah muslim, Kristen, dan Hindu. Tidak hanya mencuci, sang Paus bahkan mencium kaki para migran tersebut. Hati siapa yang tidak bergetar?

Peristiwa tersebut tentu sangat mengharukan. Terlebih dilakukan beberapa hari selepas tragedi bom Brussels yang menewaskan 34 orang dan membuat ratusan lainnya terluka. Ketika beberapa kalangan menggunakan isu terorisme tersebut untuk mengembangkan islamophobia, Paus justru memberikan pesan bahwa terorisme tidak terikat dengan agama apapun di dunia.

Tindakan Paus dalam menghormati pemeluk agama lain hendaknya menjadi teladan bagi semua orang, tak terkecuali umat Islam. Kaum muslimin mendapat tugas untuk berjihad dalam arti sesungguhnya, yakni memberikan rasa aman bagi semesta alam. Apalagi Allah SWT menegaskan dalam AlQur’an bahwa tugas manusia di bumi adalah untuk menjadi khalifah (QS 02:30) dan menyeimbangkan segala sendi kehidupan.

Dari asal katanya, Islam berarti kedamaian. Mengatasnamakan agama Islam berarti menampilkan unsur-unsur perdamaian. Pengakuan teroris bahwa mereka berjuang di jalan Allah tentu saja tidak bisa dibenarkan, karena hal itu sangat tidak berdasar. Bahkan bertentangan dengan agama, seperti yang diutarakan Gus Dur, “Kita butuh Islam ramah, bukan Islam marah’.

Rasulullah dan Kisah Bersama Yahudi

Mengobarkan semangat toleransi dan mengasihi pengikut agama lain adalah ajaran Rasulullah dan para sahabatnya. Hal ini ditunjukkan oleh Nabi dalam berbagai kesempatan. Misalnya adalah tentang pelayanan Rasulullah kepada seorang Yahudi yang buta.

Setiap hari ada hal yang tidak pernah beliau ditinggalkan, yaitu pergi ke pasar dan menyuapi si Yahudi buta. Ketika menyuapi orang tersebut, Rasulullah acap mendengar sumpah serapah darinya menjelekkan Rasulullah Bukannya marah, beliau justru semakin menunjukkan keramahan dan rasa sayangnya. Ketika beliau wafat, hal tersebut dilanjutkan oleh Abu Bakar.

Merasa ada yang aneh, si Yahudi berkata bahwa seseorang yang menyuapinya saat  ini bukanlah orang yang biasa memberikan makan kepadanya tersebut. Sahabat Abu Bakar pun mengiyakan, dan menjelaskan bahwa yang biasa menyuapinya adalah Muhammad, sosok yang selalu menjadi bahan cacian si Yahudi. Penjelasan Abu Bakar itu membuat hati si Yahudi tersebut tersentuh, dan kemudian ia menemukan hidayahnya.

Kisah pelayanan Rasulullah kepada orang Yahudi itu menjadi contoh yang tak terbantahkan bahwa Islam mengajarkan toleransi, bahkan kepada orang yang sangat membencinya.

Kebencian ibarat bara api. Jika kebencian dilawan dengan kebencian, yang terjadi justru kobaran api yang sangat dahsyat. Dan yang mampu memadamkan api kebencian adalah salju bernama kasih sayang.

Peristiwa teror di Brussels dan banyak tempat lainnya adalah buah dari kebencian yang terus dipelihara oleh sebagian orang. Ia akan terus membesar apabila disikapi dengan kebencian yang lain. Sebagai agen muslim yang baik, sudah menjadi kewajiban kita untuk memadamkan bara api itu dengan ajaran agung sang Rasulullah yaitu ajaran damai yang berasaskan cinta, kasih, dan sayang.

Rasulullah telah mencontohkan, saatnya kita meneruskan. Pertanyaanya kemudian, siapkah kita menjadi agen muslim yang baik? Saya sih siap. []

Sarjoko, aktif di Jaringan Gusdurian.