Sebagai makhluk sosial, seseorang tidak mungkin bisa terlepas dari sebuah kesalahan terhadap orang lain. Pepatah arab mengatakan: “al insanu mahallul khatha’ wa al-nisyan” (manusia itu tempatnya salah dan lupa). Dan memaafkan adalah sebuah kata kunci untuk menciptakan kerukunan antar sesama, terutama bagi masyarakat Indonesia yang berlatar beragam.
Dengan saling memaafkan, perselisihan pun bisa dihindarkan baik dalam skala pribadi maupun antar kelompok. Lebih dari itu, hanya dengan modal memaafkan, keharmonisan dan perdamaian pun akan dapat dengan mudah terwujud.
Berkaitan dengan sikap untuk memaafkan, banyak sekali tokoh yang bisa diteladani dan salah satunya adalah Gus Mus, seorang figur Kyai nyentrik asal Rembang Jawa Tengah yang kapasitas intelektual dan kealimannya tidak perlu dipertanyakan. Sebagaimana yang pernah diteladankan oleh beliau ketika beliau dihina oleh seorang pemuda melalui akun twitter beliau dengan kata-kata kasar.
Terang saja, banyak netizen yang menghujat sosok penghina beliau ini. Namun ketika sang pemuda ini menyadari kesalahannya dan kemudian sowan ke kediaman Gus Mus bersama keluarganya. Gus Mus tidak marah. Apalagi membalas hinaan serupa kepada sang pemuda tersebut. Sebaliknya, beliau dengan ramah menjamunya sembari ngobrol tertawa, tanpa ada sekat, dan tanpa ada rasa benci. Inilah implementasi ajaran Islam sebenarnya.
Tidak hanya sampai di situ, beliau malah mencoba untuk bermuhasabah diri. Gus Mus bertanya kepada pemuda tersebut, adakah cuitan yang menyakiti hatinya? Sungguh sikap yang sangat terpuji dan mulia, mengingat figur beliau sebagai salah satu tokoh panutan, guru bangsa dan ulama yang sudah jelas dihina oleh seorang anak muda yang bukan siapa-siapa. Namun, beliau malah mencoba untuk introspeksi diri barangkali beliau sendiri yang menjadi pemicu pemuda tersebut untuk marah dan menghina beliau.
Dan ketika pemuda itu menjawab bahwasannya tidak ada perkataan beliau yang menyakiti hatinya dan menjawab bahwasannya dia hanya stres dengan pekerjaanya, Gus Mus malah menunjukkan kepedulian dan perhatian beliau sebagai sosok orang yang lebih tua kepadanya dengan mengatakan “Kamu kerja dari jam berapa sampai jam berapa? Jangan diforsir, biar tidak gampang marah-marah. Kamu membuat ibumu repot saja. Nomorku dicatat ya. Kalau kamu ingin marah atau berkata-kata kasar padaku, tinggal WA. Jadi orang lain tidak ada yang tahu.” (detik.com. 27/11/2016).
Demikian halnya Gus Dur, presiden keempat Republik Indonesia. Dalam sebuah wawancara talkshow salah satu stasiun TV nasional, ketika ditanya tentang sikapnya terhadap orang-orang yang telah memperlakukannya secara tidak adil, beliau menjawab bahwa beliau sudah memaafkan mereka.
Dengan kebesaran jiwa, beliau mengambil sikap untuk memaafkan meskipun beliau tidak melupakan perbuatannya. Menurut penulis, sikap untuk tidak melupakan kesalahan yang diambil Gus Dur adalah bentuk dari sebuah pernyataan bahwa bagaimanapun tindakan yang salah tetap lah salah, tidak ada alasan sama sekali untuk membenarkan. Persolan memaafkan, lain lagi ceritanya.
Sebagai umat beragama, sikap saling memaafkan haruslah mulai kita tumbuhkan dalam diri kita. Dalam ajaran Islam misalnya, tidak sedikit perintah dan ajaran untuk memaafkan. Sebagaimana firman Allah dalam Q.S. Asy Syuro [42]: 40 yang menyatakan “Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa, maka barangpsiapa memaafkan maka pahalanya atas (tanggungan) Allah, …”
Prof. Quraish Shihab. dalam Tafsir Al Misbah, menyebutkan bahwa memang balasan suatu perbuatan buruk adalah hal yang setimpal ukurannya. Namun jika seseorang bersedia untuk memaafkan, atas dasar cinta, dan memperbaiki hubungan baik, maka baginya adalah pahala yang hanya Allah semata yang mengetahui kadarnya. Hal ini menjunjukkan bahwa begitu besarnya pahala yang diberikan kepada orang yang bersedia untuk memberi maaf sehingga Allah sendiri yang menentukan reward.
Dengan memaafkan, kita tidak sekedar merajut hubungan baik kembali dengan orang lain pada saat ini, namun memaafkan juga menjadi sebuah investasi kebaikan jangka panjang untuk meredam rasa kebencian dan dendam yang berpotensi terus berkembang. Secara tidak langsung, dengan memaafkan, sejatinya kita telah mengupayakan terciptanya perdamaian dan kehidupan yang harmonis di masa depan.
Akhir kata, mari kita belajar untuk saling memaafkan sebagaimana yang telah diteladankan oleh Gus Dur, Gus Mus dan para guru bangsa lainnya untuk merajut kembali ikatan persaudaraan kita. Wallahu a’lam.
Aminuddin Hamid, penulis adalah pegiat aktif di komunitas Gusdurian Jogja.