Belajar dari Kasus Meilliana dan Polusi Media Sosial

Belajar dari Kasus Meilliana dan Polusi Media Sosial

Meiliana dan hukuman yang ia terima membuktikan media sosial sudah jadi polusi

Belajar dari Kasus Meilliana dan Polusi Media Sosial

Meiliana, tersangka kasus penistaan Agama di Medan, ditetapkan bersalah dengan hukuman 8 bulan kurungan adalah sebuah langkah mundur kita sebagai bangsa Indonesia dalam merawat kebhinekaan. Para founding father bangsa ini sebenarnya sudah melegasikan Pancasila untuk menjadi panduan buat berbangsa dan bernegara yang baik. Pancasila sudah diterima dengan baik oleh semua suku, ras  dan agama dan bahkan ditambahkan dalil-dalil yang ada dalam agama masing-masing, untuk memantapkan Pancasila sebagai nilai utama dalam berbangsa.

Sekarang ini perjalanan merawat kedamaian dalam beragama dipercaya sedang mengalami ujian yang cukup pelik. Sebab saat isu agama digunakan untuk menggoyang salah satu calon presiden pada saat pemilihan presiden tahun 2014, isu agama terus mengalami klimaks saat di pilkada 2017 karena pilkada DKI Jakarta saat itu diikuti oleh salah satu calon dari kelompok agama yang minoritas. Isu agama diakui atau tidak menjadi salah satu isu paling sering “digoreng” sejak pilkada 2017 kemarin. Sejak kasus penistaan agama yang menimpa Basuki T. Purnama atau Ahok di Kepulauan Seribu menjadi titik mulai agama menjadi arus utama dalam perbincangan masyarakat di Indonesia.

Wadah yang paling sering digunakan untuk menggoreng isu agama adalah media sosial. Mengapa media sosial dijadikan wadah paling potensial untuk menyebarkan isu agama? Menjawab pertanyaan ini memang tidak akan pernah tuntas, sebab banyak hal yang berkelindan dalam persoalan agama dalam media sosial apalagi dibumbui dengan isu politik maka isu agama semakin seksi dan bisa mempengaruhi banyak orang. Kembali ke pertanyaan di atas, media sosial adalah media yang dipercaya paling efektif dalam menyebarkan sebuah isu termasuk isu agama, karena media sosial adalah media yang menyediakan dua hal paling penting dalam penyebaran isu agar lebih efektif yaitu penyebaran yang lebih cepat dan jangkauan yang lebih luas.

Isu soal penangkapan imam Masjidil Haram di Arab Saudi misalnya, bisa diketahui hanya dalam hitungan detik oleh masyarakat yang hidup di Indonesia, yang jauhnya ribuan kilometer dari tempat kejadian. Kemudian isu tersebut bisa dibagikan dan terus menyebar melalui media sosial tanpa ada yang bisa menghentikannya. Arus informasi dan isu yang begitu deras dan datang dari berbagai penjuru, kemudian tidak diimbangi dengan kesiapan dari masyarakat dalam menyerap dan menyaring informasi dan isu yang membanjiri kehidupannya.

Dunia media sosial yang kita hadapi sekarang ini sudah sampai level polusi akut sehingga hidup kita sebagai manusia semakin sulit, sebab kebencian akan mereka yang berbeda dari perbedaan suku, ras, agama hingga pilihan politik selalu menghiasi linimasa media sosial kita semua. Inilah yang membuat nilai-nilai kemanusiaan seakan makin hilang di dunia media sosial. Namun, kita tersentak kemarin oleh perilaku seorang atlet pencak silat yang juga membuat media sosial riuh membincangkannya, yaitu keputusan Hanifan untuk memeluk dua bakal calon presiden di Pilpres 2019, yaitu Joko Widodo dan Prabowo Subianto yang kebetulan hadir bersama dalam pertandingan untuk menonton langsung Hanifan tampil di final cabang pencak silat.

Pelukan bersama tersebut diinisiasi oleh atlet bernama lengkap Hanifan Yudani Kusumah, yang tampil sebagai juara setelah mengalahkan Nguyen Thai Linh di cabang pencak silat kelas C 55-60 kg, diakuinya aksi untuk mengajak kedua tokoh berpelukan adalah simbol bahwa kita hidup sebagai bangsa Indonesia yang damai dan bahagia. Atlet yang akrab dipanggil Hanifan juga menambahkan bahwa aksinya tersebut didasari saat melihat banyaknya kebencian dan kemarahan yang terjadi di media sosial, sehingga menampilkan Indonesia yang rusuh dan tidak aman sekali karena isinya caci maki dan ujaran kebencian pada mereka yang berbeda dapat ditemui dengan sangat mudah.

Kembali ke masalah hukum Meliana yang diputus kemarin, kasus ini menjadi bahan bakar baru untuk memperlihatkan agama Islam dalam posisi dihinakan dan ditindas. Disosialisasikannya Peraturan Kementerian Agama soal pelantang suara (baca:TOA) di masjid seakan menempatkan Islam adalah agama yang terus diawasi karena banyak anggapan bahwa peraturan tersebut dibuat untuk menekan kebebasan ekspresi keagamaan umat Islam dan menjalankan ibadah oleh pemerintahan Jokowi sekarang ini. Menempatkan Islam dalam posisi tertindas membuat banyak dari masyarakat Indonesia yang mayoritas muslim merasa hidup dalam keadaan terancam. Saat rasa tidak aman dan selalu dalam keterancaman ini memperparah banyak rasa kepanikan yang dihadapi selama ini dihadapi oleh banyak masyarakat Indonesia. Kepanikan akan kehilangan pekerjaan, barang-barang yang semakin mahal dan kehidupan yang seakan semakin jauh dari Tuhan ini membuat kehidupan masyarakat terus merasa tidak nyaman, sehingga mudah sekali dimanfaatkan oleh politisi untuk merebut suara untuk kekuasaannya.

Perilaku politik dalam memanfaatkan sebuah situasi untuk mengeruk keuntungan dari masyarakat disebut dengan political spin. Perilaku seperti ini biasanya menyajikan sebuah interpretasi data yang bias dari sebuah situasi untuk membentuk sebuah opini publik yang mendukung atau menolak sebuah organisasi atau tokoh politik. Orang yang menggunakan taktik political spin di era media sosial seperti sekarang ini, biasanya akan didukung oleh buzzer atau dengan bantuan teknologi, semacam robot virtual, untuk menyebarkan data bias tersebut. Kelompok buzzer biasanya ada diisi oleh beberapa orang yang ditugasi untuk terus menjaga isu atau data yang bias tersebut terus berada dalam jaringan (baca:viral), ini yang saya sebut dengan Hooligan politik, sebuah kelompok fans atau buzzer politik yang merujuk pada pendukung garis keras sebuah tim sepakbola yang sering melakukan provokasi, membuat kerusuhan, perundungan, dan vandalisme.

Ryan Mcgrady dan Jeremy Packer dalam buku Encyclopedia of Social Media and Politics menuliskan bahwa perilaku merusak, provokasi, perundungan, dan vandalisme juga terjadi media sosial. Mereka menggunakan istilah Cyber-Vigilantism untuk menggambarkan bahwa perilaku vandalisme yang terjadi di dunia maya. Kejahatan seperti ini menurut mereka biasanya mempunyai metode yang bisa mempermalukan dan merundung mereka dengan data yang bias atau sepenggal. Framing ini kemudian dibagikan oleh fans politik yang ingin membuat opini publik yang bisa menguntungkan bagi mereka. Oleh sebab itu, sekarang ini linimasa dari banyak provider banyak dijejali oleh isu-isu yang bisa dipelintir, dikreasi dan dibuat ulang untuk membentuk opini yang menguntungkan pihak yang membuat, dan mengkerdilkan semua permasalahan utama dalam kehidupan manusia.

Saya menilai kondisi di Indonesia sebenarnya tidak separah apa yang terjadi di dunia maya khususnya media sosial, masih ada sebuah titik cerah dalam kehidupan kita di Indonesia. Ada sebuah usaha pengkerdilan masalah dari sebuah kompleksitas kehidupan yang dihadapi oleh masyarakat saat di dunia maya. Polusi yang diakibatkan oleh narasi agama yang terus disandingkan politik identitas dan kebencian sebenarnya sudah sampai level mengkhawatirkan, seharusnya politisi yang sering membuat gaduh di media dan mengabaikan persoalan utama masyarakat seharusnya malu mendengar keluhan Hanifan yang dengan lantang menyuarakan kemuakkannya akan isi media sosial sekarang ini cuma kebencian dan caci maki.

Kalau tidak, maka akan terus berjatuhan korban seperti Meiliana yang kasusnya tidak cuma berdampak pada dirinya namun juga membuat kerusakan banyak tempat ibadah dan ketidakamanan di masyarakat Indonesia.