Satu Bapak, satu Ibu, satu guru, namun berbeda. Itulah Gus Dur dan Gus Sholah. Mereka adalah putra dari KH. A Wahid Hasyim, juru kunci piagam Jakarta sekaligus cucu pendiri Nahdhatul Ulama (NU), yakni Hadhratus Syaikh Hasyim Asy’ari. Dua sosok ulama, negarawan, juga guru bangsa yang pernah dimiliki Republik ini. Apa yang menarik dari keduanya?
Saya tergelak menemukan catatan bahwa kedua panutan umat tersebut pernah berbantah-bantahan dengan cukup seru di Koran Media Indonesia, tepatnya sepanjang tahun 1998. Keduanya berpolemik soal-soal kebangsaan, utamanya tentang relasi pancasila, Islam dan Negara, untuk menyambut Pemilihan Umum pada Bulan April 1999.
Polemik itu berawal dari tulisan Gus Dur tertanggal 8 Oktober 1998 berjudul “A. Wahid Hasyim, Islam dan NU”. Jamak kita tahu, beliau KH A Wahid Hasyim wafat pada usia yang cukup muda, yakni 39 tahun. Hal tersebut membuat generasi selanjutnya, bahkan termasuk Gus Dur dan Gus Sholah, mengalami kesulitan untuk menafsir dengan tepat pandangan-pandangan politik Islam ayahandanya. Namun, justru di sanalah letak penting yang akan kita pelajari.
Dalam artikelnya itu, Gus Dur menulis tentang Soewarno, seseorang yang pernah menjadi ajudan Panglima Besar Jenderal Soedirman. Kesempatan itu membuat Soewarno berkesempatan untuk menyimak beberapa situasi, termasuk interaksi antara Pak Dirman, Dr. Soekiman (pimpinan Masyumi) dan Mbah Wahid Hasyim. Soewarno menuturkan bahwa Mbah Wahid Hasyim pernah berujar tentang hukum Islam yang harus bersandar kepada Pancasila sebagai dasar Negara, atau dengan kata lain, Hukum syariat Islam tidak lebih tinggi kekuatannya dari Pancasila.
Gus Dur juga mengulas, ketika Mbah Wahid Hasyim menjadi Menteri Agama, beliau membuat kebijakan yang memperbolehkan perempuan mendaftar pada Sekolah Guru Hakim Agama Negeri (SGHAN). Kebijakan ini membuat Gus Dur meyakini bahwa pandangan politik Mbah Wahid Hasyim merupakan pandangan politik sekuler.
Alasan Gusdur adalah sebagaimana syariah telah menetapkan empat syarat bagi kedudukan hakim Islam, termasuk seorang wanita yang tidak boleh menjadi hakim agama. Jika Mbah Wahid Hasyim menjadikan syariat sebagai landasan hukum positif Negara, seharusnya perempuan tidak boleh belajar di SGHAN sebab lulusan dari sekolah itu kelak akan menjadi guru hakim atau hakim agama.
Syahdan, gagasan Gus Dur tersebut ditanggapi oleh Gus Sholah di Koran yang sama pada 17 Oktober 1998 dengan judul “KH A Wahid Hasyim, Pancasila dan Islam”.
Gus Sholah mengajukan bantahan tegas terhadap pandangan politik sekuler yang diajukan Gus Dur. Gus Sholah mengulang fakta sejarah bahwa persetujuan Mbah Wahid Hasyim atas dihapuskannya tujuh kata kunci dalam piagam Jakarta hingga terangkum dalam sila “Ketuhanan Yang Maha Esa” adalah simbol keteguhan tauhid dalam kehidupan berbangsa dan negara. Artinya, negara tidak boleh sekuler. Gus Sholah juga mengingatkan keberpihakan Mbah Wahid Hasyim pada siding konstituante tahun 1967 bersama Masyumi memperjuangkan syariat Islam sebagai jiwa Pancasila dan hukum-hukum positif di Indonesia.
Dialektika ilmiah tersebut terus berlanjut. Pada 23 Oktober 1998. Media Indonesia menerbitkan gagasan Gus Dur berjudul “Terserah Suara Rakyat”. Gus Sholah menjawab bantahan kembali dengan artikel berjudul “Pancasila, Jalan Tengah Kita”. Gus Dur, kemudian menjawab artikel tersebut dengan gagasan berjudul “Menghindari Negara Berasumsi Agama”. Dan, kembali dijawab oleh Gus Sholah dengan gagasan “Biarkan Sejarah yang Menilai”.
Dari penafsiran awal tentang ucapan Mbah Wahid Hasyim, Gus Dur kemudian mendongengkan relasi Islam dengan Aceh, Minang, Goa hingga Jawa, untuk mendukung tesis beliau tentang pemisahan Pancasila dan Islam. Gus Dur juga konsisten berpandangan bahwa kemajuan dalam tubuh Pemuda NU ditandai semacam modernisme dalam berpikir yang dalam hal ini lebih progresif dari pemuda Muhammadiyah.
Sedangkan Gus Sholah juga konsisten menjaga pesan Rais Aam NU dari masa ke masa, tentang Indonesia yang bukan Negara agama namun juga bukan Negara sekuler, untuk membuktikan bahwa Pancasila tidak bertentangan dengan Islam, dan oleh karenanya dapat berjalan beriringan, saling menghormati dan saling melengkapi asal tetap pada kaidah fiqih siyasah yang memperjuangkan keadilan.
Saya membaca artikel-artikel yang secara ide sangat jelas terlihat jurang perbedaannya, namun tetap santun dan sesuai kaidah-kaidah diskusi dalam Islam, yakni bil hikmah, mauidzatil hasanah, dan mujadalah bil ahsan. Gus Sholah sebagai adik sangat santun dalam berbahasa kepada kakaknya. Sebaliknya, Gus Dur juga tidak anti-kritik, dengan terus berdialektika dalam posisi yang demokratis dan setara pada mimbar yang dapat dipertanggungjawabkan, yakni media massa.
Di masa sebelumnya, pada kurun 1930-an, kita pernah menyimak “Islam Sontoloyo” ala Soekarno yang berbantah pada kutub yang sama-sama radikal dengan teks-teks Mohamad Natsir. Namun, sejarah berbantah ideologi ala Gus Dur dan Gus Sholah di atas tentu tak kalah penting untuk disimak. Bahwa, sepasang kakak beradik yang derajat intelektual, “keislaman”, serta lahir dari rahim yang identik, yakni Nahdhatul Ulama, ternyata sama-sama teguh dalam memperjuangkan keyakinan atas pandangan politik masing-masing.
Baik Gus Dur dan Gus Sholah, dibalik pertentangan pendapatnya tentang nilai-nilai macam apa yang mesti menjadi ruh Pancasila, tetaplah dua tokoh yang memposisikan negara sebagai prioritas utama yang harus dijaga, sehingga polemik yang ada merupakan pertarungan intelektual terhormat yang tetap menjaga kepentingan Jam’iyat dan seluruh bangsa. Pola-pola sejenis juga muncul pada tokoh-tokoh lain seperti Nurcholish Madjid, Endang Saifuddin Anshari, hingga Amien Rais. Mereka semua menafsir serta memperjuangkan progresifitas bangsa dan Negara, tanpa kehendak untuk berbuat makar, terror, atau mengganti dasar Negara.
Akhirnya, kita semua sebagai generasi muda wajib berkaca akan sejauh mana ikhtiar kita untuk mencari sebuah keyakinan pandangan kedirian tertentu? Semumpuni apa pengetahuan dan pengabdian kita kepada masyarakat hingga kita mampu tegas menentukan sebuah keberpihakan? Dan, sanggupkah kita tetap rendah hati dalam memperjuangkan pandangan agama dan politik kebangsaan yang kita yakini agar ia tetap anggun membingkai segala perbedaan yang ia temui? []
Kalis Mardiasih adalah penerjemah dan penulis lepas. Bisa ditemui di