Agenda Konferensi Internasional yang diselenggarakan oleh Jam’iyyah Ahlit Thariqah Al-Mu’tabarah Annahdliyyah (Jatman), pasa 27-29 2016, di Pekalongan, menjadi peneguh betapa Islam tidak mengajarkan teror dan kebencian. Gagasan-gagasan yang disampaikan oleh para kiai, syaikh dan ulama yang berkiprah di level internasional, dalam agenda yang diayomi oleh Ndoro Habib Luthfi bin Yahya, merupakan jembatan untuk menegaskan Islam sebagai agama cinta, agama perdamaian. Islam yang diwejang oleh para kiai sufi, sebagai Islam yang memiliki roh nasionalis, bersendikan semangat juang dan kecintaan tanah air.
Bagaimana para kiai sufi memahami cinta tanah air? Bagaimana ulama sufi menggelorakan semangat bela negara? Tentu saja, gagasan bela negara tidaklah hanya diartikan sebagai perjuangan di medan peperangan atau perlawanan militer. Bela negara tidak hanya menjadi tugas pasukan keamanan, barisan militer yang selama ini menjadi garda depan pertahanan. Sejatinya, seluruh warga negeri ini juga harus menjadi barisan dari pertahanan negara, memainkan peran dalam bela negara dengan kondisi struktural-kultural masing-masing.
Kecintaan terhadap negara menjadi basis fundamental atas konsep bela negara. Jika selama ini masyarakat mencintai negerinya, memahami basis nilai utama yang membentuk bangsanya, tentu tidak akan mudah dipecah belah oleh kelompok atau bangsa lain. Indonesia membutuhkan persatuan sekaligus kesatuan di tengah keragaman kebudayaan dan kekayaan tradisi yang menjadi kaki penguat peradaban bangsa kita.
Nilai Islam Kebangsaan
Semangat kebangsaan Indonesia tidak lepas dari prinsip utama untuk mempertahankan kemandirian warga. Dalam narasi sejarah, dalam sepanjang masa kolonial, sejatinya warga Indonesia tidak pernah tunduk dalam satu irama kekalahan. Justru, di beberapa fase zaman, warga negeri ini mengobarkan perjuangan dengan perlawanan-perlawanan di berbagai titik lokasi dan simpul pergerakan.
Para kiai dan santri, yang menjadi simpul gerakan sufi, menggerakkan perlawanan terhadap rezim kolonial. Prinsip ‘hubbul wathan minal Iman’ (cinta tanah air merupakan bagian Iman) yang digelorakan Kiai Wahab Chasbullah, menjadi bagian utama untuk menguatkan ruhul jihad (semangat perjuangan) warga muslim negeri ini. Kaum sufi dan jaringan pesantren bersatu untuk melawan rezim kolonial, menghalau setiap penetrasi penjajahan.
Gerakan-gerakan perlawanan yang dimotori kaum sufi inilah yang menyambungkan mata rantai perjuangan kelompok Islam tradisionalis, di abad 17 hingga awal abad 20. Mereka juga tampil sebagai garda depan dalam perjuangan kemerdekaan hingga perlawanan 10 November 1945 di Surabaya.
Para kiai pesantren, yang menjadi tulang punggung pergerakan nasional, mengamalkan sufi sebagai laku batin dalam gerak kehidupan mereka. Jaringan guru-murid yang didominasi geraka tarekat, menguatkan basis moral, sosial dan pergerakan nasional yang diinisiasi kaum santri.
Sufisme dan Bela Negara
Konsep bela negara telah menjadi perhatian utama dari ulama sufi Nusantara, terutama yang diinisi oleh Habib Luthfi bin Yahya. Rumusan bela negara sebagaimana yang termaktub dalam Konsensus Bela Negara, Januari 2016 lalu, menguatkan fondasi ekonomi, pendidikan, pertanian, budaya, teknologi informasi dan politik. Selain itu, bela negara juga melibatkan kontribusi setiap warga, dengan empat pilar utama, yakni kuatnya pemerintahan, ilmuan, ekonomi dan media.
Inilah sumbangsih dari kaum sufi untuk meneguhkan rasa cinta tanah air. Kesetiaan dan kecintaan pada bangsa, yang dipadukan dengan kekuatan jejaring dan kejernihan spiritual kaum sufi, menjadi sumbangsih utama untuk bangsa. Terutama, dalam lingkup yang luas, menjaga perdamaian dan rasa aman di pelbagai belahan dunia. Nilai-nilai keislaman yang dipraktikkan kaum sufi, dengan sikap tasamuh (toleransi) dan cinta, menjadi pilar utama menjaga kedamaian dunia.[]
Munawir Aziz adalah Wakil Sekretaris Lembaga Ta’lif Wan Nasyr (LTN) PBNU, Penulis buku ‘Pahlawan Santri: Tulang Punggung Pergerakan Nasional’ (Pustaka Compass, 2016).