Begini Tampang Ulama Menurut Islam

Begini Tampang Ulama Menurut Islam

Begini Tampang Ulama Menurut Islam

Baru-baru ini ramai di media sosial sekumpulan anak muda yang menamakan diri mereka sebagai ulama muda Indonesia, yang kemudian dikomentari oleh salah satu tokoh nasional sebagai kelompok yang mengaku ulama, namun sama sekali tidak memiliki “tampang” ulama.

Menarik sekali untuk dikaji, bagaimana sesungguhnya “tampang” atau ciri-ciri ulama menurut syariat Islam, dan siapa saja yang orang-orang yang bisa digolongkan sebagai “ulama”.

Secara tata bahasa Arab, kata “ulama” merupakan bentuk jama’ atau plural dari kata “alim” yang artinya orang yang mengetahui, terlepas dari pengetahuan tersebut berupa pengetahuan agama ataupun lainnya. Di dalam Al-Quran, kata علماء disebutkan sebanyak dua kali, yakni:

وَمِنَ النَّاسِ وَالدَّوَابِّ وَالْأَنْعَامِ مُخْتَلِفٌ أَلْوَانُهُ كَذَلِكَ إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ غَفُورٌ

“Dan demikian pula di antara manusia dan binatang-binatang yang melata serta binatang-binatang ternak, ada yang berlainan jenis dan warnanya? Sebenarnya yang menaruh bimbang dan takut (melanggar perintah) Allah dari kalangan hamba-hamba-Nya hanyalah orang-orang yang berilmu. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa, lagi Maha Pengampun.” (QS: Fathir, 28)

Jika kita melihat pada keterangan ayat di atas, bisa kita pahami yang dimaksudkan sebagai ulama ialah orang-orang yang ahli mengambil pelajaran (ibroh) dari keberadaan alam semesta ciptaan Allah SWT.

Pada ayat lain disebutkan:

أَوَلَمْ يَكُنْ لَهُمْ آيَةً أَنْ يَعْلَمَهُ عُلَمَاءُ بَنِي إِسْرَائِيلَ

“Dan tidakkah menjadi satu keterangan kepada mereka bahawa pendeta-pendeta agama Bani lsrail mengetahui akan kebenaran Al-Quran itu?” (QS: al-Syu’ara, 197)

Dari ayat di atas, bisa kita pahami bahwa kali ini, yang dimaksudkan sebagai ulama ialah para Rahib Bani Israil, yakni mereka yang merupakan pakar ilmu agama. Dengan demikian, Al-Quran mengakomodir dua macam pemaknaan kata “ulama”, yakni ulama sebagai pakar ilmu sains dan ulama sebagai pakar ilmu agama.

Dalam bahasa Indonesia sendiri, KBBI menyebutkan bahwa kata “ulama” bermakna orang yang ahli dalam hal atau dalam pengetahuan agama Islam.

Lantas bagaimanakah ciri atau tampang ulama?

Tentu saja yang dimaksud sebagai ulama disini bukan sekedar orang-orang yang mengetahui saja, namun mengamalkan apa yang mereka ketahui tersebut atas dasar ketakwaan.

Al-Quran menyebutkan bahwa salah satu ciri ulama ialah mereka yang takut kepada Allah SWT sebagaimana disebutkan dalam QS Al-Fathir ayat 28 diatas. Imam Ibnu Mas’ud pernah menyatakan bahwa, “Keilmuan tidak dinilai dari banyaknya hadis, namun dinilai dari ketakutan kepada Allah SWT”.

Hal inipun diamini oleh Imam Hasan al-Bashri yang berkata, “Seorang alim ialah dia yang takut kepada Allah, Dzat Yang Maha Rahman, dalam kondisi tak terlihat, dan mencintai apa yang dicintai Allah, serta membenci apa yang dibenci oleh Allah”.

Ciri berikutnya dari seorang ulama ialah, dia tidak meminta upah duniawi atas apa yang dia sampaikan, karena yang dia harapkan, semata adalah upah alhirat yang telah ditanggung oleh Allah SWT:

وَمَا أَسْأَلُكُمْ عَلَيْهِ مِنْ أَجْرٍ إِنْ أَجْرِيَ إِلَّا عَلَى رَبِّ الْعَالَمِينَ

“Dan aku tidak meminta kepada kamu sebarang upah mengenai apa yang aku sampaikan (dari Tuhanku); balasanku hanyalah terserah kepada Allah Tuhan sekalian alam.” (QS: Al-Syu’ara, 109)

Ciri berikutnya dan yang terpenting ialah bahwa ketika seorang telah mengetahui dan mengamalkan pengetahuannya, tentunya ia akan memiliki ciri sebagai “kekasih” Allah sebagaimana tertera dalam Al-Quran:

أَلَا إِنَّ أَوْلِيَاءَ اللَّهِ لَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ

“Ketahuilah, sesungguhnya para kekasih Allah, tidak ada ketakutan pada diri mereka dan mereka tidak pernah merasakan susah”. (QS: Yunus, 62)

Mereka adalah orang-orang yang tidak lagi merasa takut karena yang mereka takutkan hanyalah Allah SWT, dan tidak pula merasakan susah. Sebaliknya, tentu mereka bukanlah orang yang menakutkan bagi sesamanya dan bukan pula orang yang suka membuat susah pada sesamanya.

Ironisnya, banyak sekali saat ini yang mengklaim diri mereka sebagai ulama namun suka sekali menebarkan kebencian dan ketakutan terhadap sesama, bahkan cenderung menyusahkan.